Jumat, 17 Juli 2015

“Pesta Karnaval” Postmodernisme vs Kekristenan



“Pesta Karnaval”
 Postmodernisme vs. Kekristenan
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed

Pernah menghadiri pesta karnaval? Dalam keramaian karnaval itu banyak pertunjukan, sirkus, permainan, bazar, dan suasana riuh rendah. Budaya postmodernime dapat diibaratkan pesta karnaval, banyak pilihan termasuk pilihan berbagai worldview dan pilihan keyakinan. Kehadiran postmodernisme telah melahirkah pluralitas yang mencakup ketersediaan segala keyakinan dan perspektif yang siap dikonsumsi. Keyakinan orang beriman semakin terbias ketika postmodernisme berupaya untuk menggabungkan keyakinan dari berbagai tradisi agama menjadi satu iman.[1]
Pendidikan dalam era postmodernime melahirkan banyak pilihan berbagai produk budaya, bahasa, dan tekanan masyarakat. Dukungan teknologi informasi seperti facebook dan twitter, youtube, instagram telah mengkonstruksi bahasa dan gambar untuk membentuk pengetahuan yang sifatnya relatif. Postmodernisme menjadi pandangan filosofis yang digandrungi masyarakat karena dikemas dalam “pesta karnaval,” walaupun dasar-dasar filasafnya tidak mendasar di tengah kerelatifannya, kesubjektivitasannya serta keraguannya. Alasan-alasan postmodernisme menjadi suatu alasan dinikmati oleh masyarakan masa kini anatara lain: Postmodernisme memandang bahwa tidak ada kebenaran obyektif yang ada hanyalah bersifat relatif dan subjektif. Postmodernisme tidak membawa kita berhubungan dengan realitas karena konstruksi sosial sering menggunakan permainan bahasa dan destruksi makna.
Budaya dalam era postmodernisme sangat bertentangan dengan budaya masyarakat yang memiliki keyakinan yang telah mengakar dalam tradisi keimanan. Postmodernisme memandang bahwa tidak ada metanaratif (tradisi narasi yang berpengaruh dalam kehidupan spiritual). Budaya postmodernisme meniadakan narasi besar yang telah mengakar sebagai keyakinan yang dapat melegitimasi kedudukan dan hak khusus tradisi keimanan. Sederhananya, postmodernisme telah meniadakan narasi besar Alkitab, grandstory Allah, atau keimanan orang Kristen dengan meniadakan metanarasinya.
Alkitab dalam Kolose 2:8 menyatakan dengan tegas akan filsafat yang kosong dan palsu “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”

Tantangan
Pendidikan dalam perspektif Kristen akan banyak mengalami tantangan ketika prinsipnya harus berhadapan dengan budaya postmodernisme. Kekristenan akan menghadapi keramaian pilihan, kebisingan alternatif, pilihan berbagai praksis pendidikan dan tekanan sosial masyarakat. Kehadiran berbagai praksis pendidikan postmodernisme sudah seharusnya membuat para pendidik Kristen lebih peka terhadap praksis yang bertentangan dengan kekristenan. Beberapa diantaranya:
·      Neuro Linguistic Program
NLP atau Neuro-Linguistic Programming adalah teknik mempercayai keyakinan diri dengan memasukkan keyakinan diri (program) untuk dapat merealisasikannya. NLP mempelajari struktur internal berpikir dan mendesainnya untuk tujuan yang bermanfaat bagi orang tersebut.
·      Self-esteem adalah penghargaan diri dengan cerminan evaluasi emosional secara subjektif dan layak bagi diri sendiri. Dalam praktik pembelajarannya, pencapaian hasil belajar tidak berasal dari kemampuan diri terbaik, karena belajar sesuai kemampuan dirinya sering dimunculkan dari kemalasan dan apa adanya. Hasil belajar tidak menentukan karena “semua adalah pemenang”. Self-esteem pembelajaran sering memunculkan pembelaan terhadap diri sendiri dari  upaya seadanya menghadapi tantangan dan kesulitan dalam belajar.
·      Brain based learning adalah Pembelajaran berdasarkan penelitan otak dari sifat, struktur, dan cara kerja otak dengan berbagai varian, antara lain laterisasi otak kiri dan otak kanan, model otak tengah, model otak triune, model otak hologram dari Pribam, model otak cerebreactor dari Lipman Siler, model berpikir bisosiatif dari Koestler, peta proses mental dari  Roger Wolcott Sperry dan masih banyak yang lain.
·      Pembelajaran dengan pengenalan sidik jari, pengenalan golongan darah dan psikologi sekuler tentang gaya belajar, gaya berpikir serta personalitas dalam belajar.

Kehadiran beberapa riset tentang pembelajaran perlu disambut gembira, dengan tetap waspada terhadap filsafat dibalik penelitian tersebut. Beberapa implementasi pembelajaran seperti personalitas, emotional intelligence, multiple inteligence sebenarnya juga berasal dari perspektif Kristiani. Teori-teori itu masih dapat kita gunakan sepanjang tidak mengadopsi filsafatnya yang terkandung didalamnya dengan kasih anugerah Tuhan.

Natur guru dari postmodern
Natur guru dalam postmodernisme adalah seorang aktivis sosial yang terbeban dalam pendidikan untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial. Seorang ahli sosiologi pendidikan, Henry A. Giroux[2] berpendapat bahwa perjuangan sosial dapat berupa perlawanan terhadap rasisme, struktur kelas sosial, dan keadilan jender. Peran yang dilakukan guru, agar mereka mau keluar dari kritik sosial menuju perubahan dan harapan. Guru dalam pandangan postmodernisme adalah generator pengetahuan, memberikan pemahaman dari ketidakpastian keseharian dalam ruang kelas. Guru harus menjadi orang yang bereaksi terhadap konteks yang terus berubah.[3]
Sedangkan natur guru Kristen adalah guru yang telah lahir baru dalam karya penebusan Yesus Kristus. Guru Kristen adalah guru yang terpanggil dalam mewujudkan mandat injili, ia memancarkan keteladan iman dalam mengajarkan jalan kebenaran dan keselamatan, memuridkan anak-anak bagi Kristus. Guru Kristen adalah rekan sekerja Allah, penatalayan dalam panggilan mengajar dan mendidik para muridnya. Guru Kristen adalah guru yang berotoritas dalam keteladanan moral dan bergantung pada rencana Allah.

Natur kurikulum dari postmodern
Perkembangan kurikulum dalam era postmodern lebih didasarkan pada pengetahuang yang sifatnya kompleks, multudimensi, eklektik, relasional, interdisipliner dan metaforik. William Doll, penulis buku A Post-modern Perspective on Curriculum[4], melakukan perbandingan kurikulum yang berbasi content-centered dan student-centered. Doll menyatakan bahwa dominasi ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan teknologi telah menisbikan arti pendidikan yang sesungguhnya. Kurikulum dikendalikan oleh ukuran yang subjektif dan terpisah-pisah. Dalam kesempatan lain ia juga menyatakan bahwa kurikulum perlu memberikan pelatihan seni kreasi cipta dan memilih, bukan hanya mengikuti dan diperintahkan. Banyak kurikulum yang membuat murid merupakan penerima pasif dan bukan pencipta pengetahuan.
“Educationally, we need to be trained in the art of creating and choosing, not just in ordering and following. Much of our curriculum to date has trained us to be passive receivers or preordained “truths” not active creators of knowledge.”
Pernyataan tentang kurikulum dalam postmodern sangat bertentangan dengan kurikulum dalam perspektif Kristen. Kurikulum pendidikan Kristen bertujuan memuridkan anak bagi Kristus, kurikulum harus menjamin perkembangan dan pertumbuhan iman murid-muridnya dalam bimbingan roh kudus. Kurikulum juga berkaitan dengan otoritas seorang guru Kristen dalam menanamkan kebenaran firman Tuhan. Murid harus memahami setiap pengetahuan berasal dari kasih anugerah Tuhan. Murid tidak pencipta pengetahuan, namun membukakan realitas ciptaan Tuhan sebagai pemeliharaan Tuhan bagi manusia. Ia memahami pengetahuan sebagai mandat budaya menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan. Bagian Firman Tuhan dalam setiap kehidupan kita, terdapat dalam Kisah 17:28 menyatakan “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.”

Natur pengetahuan dari postmodern
Bagi postmodernisme, sekolah-sekolah berfungsi sebagai agen kekuatan yang berperan sebagai konstruksi sosial dalam memanipulasi pengetahuan yang nantinya dapat mempengaruhi budaya. Tidak ada kebenaran mutlak dan kekal, semua kebenaran adalah subjektif dan relatif. Saya jadi teringat satu kalimat yang masih terngiang dalam diri saya berkenaan dengan “kesesatan” mengenai kebenaran dari perspektif postmodern. Kebenaran adalah sesuatu yang relatif, tergantung situasi, bahkan suatu pernyataan dapat benar jika diyakini benar dan dinyatakan berulang-ulang.
Dennis McCallum dalam The Death of Truth[5] menyatakan tidak ada kebenaran makna dan realitas. Ia menyatakan bahwa moral dan keyakinan iman adalah subjektif
“Now, in the late twentieth century, we are in the middle of a revolution that will likely dwarf Darwinism and its impact on every aspect of thought and culture: the revolution is postmodernism and the danger it holds in its most serious form is that truth, meaning, and objective reality do not exist, and that all religious belief and moral codes are subjective.”
Pernyataan tentang kebenaran dari perspektif postmo sangat bertentangan dengan iman Kristen. Dalam iman Kristen, Firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh 17:7) dan kebenaran itu adalah kebenaran kekal, mutlak, dan tidak berubah. Alkitab menyatakan bahwa dalam Yohanes 14:6 ‘Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.’

Penutup
            Bagi para pendidik Kristen hingar bingar karnaval postmodernisme sudah seharusnya menjadi refleksi untuk berada dalam keheningan Tuhan. Keheningan dalam pengalaman bersama Tuhan akan menguatkan panggilan pelayanan pendidikan Kristen. Panggilan dalam pemahaman pendidikan Kristen yang berdasarkan filsafat pendidikan Kristen akan memandu kita untuk dapat menjalankan mandat injili dan tidak mudah diombang ambingkan dalam kebisingan suatu pesta karnaval, atau terbawa arus ekletisme postmodern.


[1] Brian J. Walsh, The Transforming Vision: Shaping a Christian World View (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press Academic, 1984), hlm. 10

[2]   Giroux, Henri A., Pedagogy and the politics of Hope, thereto, Culture and Schooling (Boulder, CO: Westview Press 1997) p.227
[3]   Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen Meletakkan Fondasi dan Filosofi Pendidikan Kristen di Tengah Tantangan Filsafat Dunia (Penerbit: Andi, Yogyakarta, 2014), hlm 139
[4]   William E. Doll, A Post-modern Perspective on Curriculum (New York: Teacher College Press,1993) hlm.8
[5]   D. McCallum, The Death of Truth: What’s wrong with multiculturalism, the rejection of reason and the new postmodern diversity (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1996) hlm.12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar