Selasa, 06 Desember 2016

Musik, Himne, dan Pendidikan Kristen



Musik, Himne, dan Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.           

Pernah suatu ketika, secara spontanitas saya menghentikan penggunaan drum bass yang menghentak-hentak dalam suatu pujian di tengah kebaktian staff dan karyawan di sekolah. Entah keberanian apa yang menghinggapi saya, tapi yang jelas hal itulah yang saya lakukan ketika itu. Tradisi pujian yang lebih banyak lagu-lagu himne adalah bagian dari kehidupan gereja kami, resonansi itulah yang menggema juga dalam pelayanan pendidikan di sekolah kami.
Musik dan pujian adalah aspek penting untuk mempersiapkan hati kita bagi kebenaran Firman Tuhan. Bila mengingat kata-kata itu, seakan hati saya berada di Crowne Center, Pensacola Christian College (PCC), Florida, Amerika Serikat, sewaktu saya menjadi mahasiswa graduate student disana. Kebaktian di aula tersebut disiarkan langsung di televisi lokal merupakan kebaktian yang wajib dihadiri oleh setiap mahasiswa disana. Di tengah megahnya aula tersebut, kehikmatan ibadah semakin menyentuh nurani, apalagi ketika himne demi himne dinyanyikan bersama dengan antusias dan menyentuh hati. PCC sangat serius menangani urusan musik dan pujian. Semua pujian  dalam kebaktian hanyalah himne. Paduan himne tersebut terpadu merdu diperdengarkan dengan alat musik klasik, paduan suara, kelompok vokal, semuanya indah, hikmat, membangkitkan spiritual, dan membangunkan jiwa. Semua mahasiswa dilatih untuk menaikkan pujian dengan kebiasaan menggunakan lagu-lagu himne. Kebiasaan ini pulalah yang membekas, memberanikan saya untuk menghentikan penggunaan drum bass pada waktu kejadian tersebut di atas.
Ikatan kuat musik dan urusan spiritual sudah terkait sejak dimulainya keturunan anak manusia. Alkitab dalam kitab Kejadian menyebutkan Jubal salah satu keturunan Adam adalah orang yang menemukan harpa dan organ, dalam suatu kesempatan John Calvin menjelaskan bahwa bakat Jubal sebagai “Excellent Gifts of the Holy Spirit.” Sedangkan bagi Agustinus, musik tidak terlepas dengan kekristenan. Agustinus mendefinisikan himne sebagai “pujian yang bermakna” mengandung pujian dari Tuhan. Jika kita memuji Tuhan tanpa lagu yang bermakna, kita tidak memiliki himne. Bila kita memuji dan  tidak ada hubungan dengan kemuliaan Tuhan, bahkan jika kita menyanyikannya dengan keras sekalipun, kita tidak memiliki himne. Karenanya himne memiliki tiga elemen: lagu (song) dan pujian (praise) kepada Tuhan (God).”
Walter Savage Lander (1775 –1864), sastrawan dan penulis Inggris pernah mengatakan bahwa musik adalah pemberian Tuhan dan satu-satunya seni dari surga untuk diberikan kepada bumi dan satu-satunya seni yang dapat dibawa dari bumi ke surga. “Music is God’s gift man, the only art of heaven given to earth, and the only art of earth we take to heaven.”[1] Dalam De Musica, Agustinus menyatakan bahwa bagi umat Kristen musik harus melebihi kenikmatan melodi. Kenikmatan untaian nada tidaklah bermakna sampai kita memasukkannya ke dalam aktivitas mental dan menggunakannya ke proses kualitas jiwa menuju kemuliaan. “Sound is meaningless until we include them in our own mental activity and use their fermenting quality to turn our soul toward everything noble, superhuman, and ideal.”[2] Sedangkan dalam pandangan Aristoteles, musik dapat mencerminkan karakter, membentuk dan mempengaruhi karakter.
Musik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia, tak dapat dilepaskan dari Allah pencipta. Bagi orang Kristen, iman mereka adalah nyanyian iman. DL. Moody pernah menuliskan bahwa “singing does at least as much as preachint to impress the Word of God upon people’s mind. Ever since God first called me, the importance of praise expressed in song has grown upon me”. Para penulis pujian himne menunjukkan iman yang mempengaruhi kehidupan mereka. Para penulis melantunkan pergumulan hidup mereka dalam penyertaan bersama Tuhan, sehingga mempengaruhi musik-musik yang dihasilkan. Isaac Watt terinspirasi dalam Mazmur 98, dalam menuliskan Joy the the Lord. Karya pujian A mighty Fortress is our God merupakan pujian reformasi dari Martin Luther yang terinspirasi Mazmur 46. Melalui dukungan lagu ini, gerakan reformasi semakin kuat bergema dan gerakannya semakin meluas. George Beverly Shea menulis lagu I’d rather have Jesus terinspirasi dengan Markus 8:36, “apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya”
Lagu Himne lahir karena pengalaman hidup bersama Tuhan, dari syair yang dituliskan nyata benar bahwa kita dapat membaca pergumulan dan kehidupan bermakna dari para pejuang iman. Lagu-lagu musik himne begitu dekat dengan kitab Mazmur. Kitab Mazmur menjadi satu-satunya sumber yang paling produktif untuk teks bagi komposisi musik Barat. Kitab Mazmur telah menjadi pusat ibadah dan merupakan suatu antologi puisi yang dituls oleh berbagai penulis dalam satu periode zaman yang mencakup waktu sekitar seribu tahun, dan Daud menulis kitab Mazmur lebih dari 150 pasal Mazmur yang ada.[3]
Kata kunci dalam kitab Mazmur adalah ibadah, dan ibadah ini disertai dengan latar musik sebagai penyembahan. Puisi merupakan bentuk ekspresi yang paling tepat untuk melukiskan perasaan, dan intensitas emosi akan memuncak bila ditambah dengan alunan musik yang mendukung. Kata Mazmur berasal dari kata berbahasa Yunani psalmoi yang berari “suara dawai kecapi” yang mengintatkan kita bahwa mazmur adalah sesuatu yang dinyanyikan.[4]
Banyak komponis besar dilahirkan dari anak-anak Tuhan, Johann Sebastian Bach (1685-1750) mengabdikan hidupnya untuk melayani Tuhan, melalui musik. Karya-karya besarnya adalah musik ibadah, gubahan musik, dan sejumlah kantata. Salah satunya Cantata 131 yang diambil dari Mazmur 130 yang mengambarkan penyesalan yang mengharukan.[5] Kekristenan dekat dengan karya musik klasik, yang akhirnya membawa kita untuk menghargai sejarah musik serta melihat keteladan hidup anak-anak Tuhan yang menghasilkan karya karya klasik tersebut, walaupun beberapa diantaranya anak Tuhan yang bersahaja. Mereka itu adalah Antonio Vivaldi (1678- 1741), Franz Joseph Haydn (1732-1809), Wolgang A. Mozard (1756-1791), Heinrich Schutz (1585-1672) dan Ludwig Van Beethoven (1770-1827).
Masih ingatkah dengan kisah George Frederick Handel? seorang jenius musik yang berbakat. Pada usia 17 tahun, Handel (1685–1759) telah memegang posisi organis Katedral di Halle, kota kelahirannya, setahun kemudian menjadi seorang pemain biola dan harpa di Kaiser Opera House di Hamburg. Bakat dan pertunjukkan konser-konsernya membuat ia termasyur di Eropa dan seluruh dunia. Kemasyurannya membawanya ke Inggris, dengan berbagai pertunjukan konsernya. Namun kompetisi pertunjukkan yang semakin ketat dan perubahan arah politik membuatnya mengalami banyak penolakan dan kesengsaraan. Beberapa kali ia ditemukan tanpa uang sepeserpun dan berada di ujung kebangkrutan. Masalahnya bertambah karena kesehatannya menurun. Ia mengalami kejang dan stroke yang mengakibatkan lengan kanannya lumpuh dan membuatnya putus asa. Akhirnya tahun 1741, Handel memutuskan untuk pensiun usianya baru lima puluh enam tahun. Kemudian ia membuat konser terakhir dipenuhi rasa kecewa, putus asa dan kasihan pada dirinya sendiri untuk membayar utang  yang membelitnya. Tetapi bulan Agustus pada tahun itu, seorang sahabat yang kaya raya bernama Charles Jennings mengunjunginya dan memberikan semangat untuk membuat syair opera berdasarkan kehidupan Kristus. Karya tersebut menarik hati Handel sehingga menggugahnya untuk bertindak, selama tiga minggu lebih ia menulis tanpa henti dan akhirnya dalam waktu 24 hari ia menyelesaikan naskah 260 halaman karya yang berjudul Messiah. Kini Messiah karya Handel dianggap sebagai karya monumental dari seorang komposer besar. Sir Newman Flower seorang penulis biografi Handel, mengatakan catatannya tentang oratorio Messiah, “mengingat besarnya pekerjaan itu dan waktu yang sedemikian singkat, karya itu akan tetap menjadi, mungkin selamanya, karya terbesar dalam sejarah penulisan musik.”[6]
Memberikan musik dan pujian terindah bagi Tuhan merupakan bagian dari pendidikan Kristen. Beredarnya lagu-lagu rohani adalah sesuatu anugerah untuk memuliakan Tuhan. Memperdengarkan lagu-lagu terindah bagi Tuhan merupakan tantangan tersendiri berkaitan dengan syair harus sesuai dan tepat dengan doktrin kebenaran Alkitab. Penggunaan musik himne dalam sekolah Kristen adalah suatu tantangan sekaligus merupakan suatu keputusan penting. Pendidikan Kristen harus dapat menggunakan musik himne untuk membangun relasi dengan Tuhan, pujian yang dapat meningkatkan iman manusia, karena pujian adalah nyanyian iman.
Masih ingatkah dengan lady Gaga, seorang penyanyi dengan tingkah laku dan gaya yang kontroversial. Ia sempat dicekal untuk manggung konser di Indonesia di tahun 2012. Tidak saja kelakuannya, lirik, dan musiknya seronok, sebuah judul do what U want. Dalam lagu tersebut Gaga melantunkan lirik  “So do what U want,  What U want with my body, Do what U want, Don’t stop, Let’s party”. Ground motive lagu yang dibawakan adalah kebebasan, mengumbar nafsu birahi dan sejenisnya. Sudah seharusnya musik dibuat untuk memotivasi,  meningkatkan hal yang lebih baik, Boethius dalam kalimat awal dari de Institutione Musica menyebutkan musik adalah bagian dari sifat manusia, musik dapat memiliki kekuatan untuk meningkatkan atau merendahkan karakter manusia. Dua pandangan, Boethius dan Agustinus berbeda dalam mengaitkan nilai moral dan spiritual yang melekat pada musik, namun terhadap keterkaitan antara musik dan sisi moral manusia, mereka memiliki satu pandangan, keduanya menyiratkan bahwa musik tidak bisa netral secara moral[7].

Penutup
Nada dan ritme yang terdapat dalam musik adalah pemberian Tuhan, bunyi natur alam, hewan, tumbuhan ciptaan Tuhan menjadi inspirasi manusia menuliskannya dalam lagu yang merdu. Martin Luther pernah menyebutkan musik sebagai karunia dari Tuhan setelah teologi “a noble gift of God next to theology” lebih lanjut sebuah anjuran bagi sekolah Kristen “we must teach music in schools; a school master ought to have skill in music… neither should we ordain young men as preacher unless they have been well exercised in music”[8]. Bagi sekolah Kristen pembelajaran musik khususnya lagu-lagu himne adalah suatu hal penting, karena kidung pujian yang terkandung dalam himne menyertai pelayanan amanat injil sarat dengan kekuatan jiwa, sarat dengan the story behind the song dalam penyertaannya bersama Tuhan.
Beberapa sekolah Kristen sangat menekankan penggunaan lagu himne dan sangat selektif terhadap musik dan lagu rohani yang populer lainnya. Mereka mengacu pada  Gospel hymn yaitu pemberitaan Firman Tuhan dalam bentuk pujian, dengan doktrin yang bersumber pada kebenaran Firman Tuhan. Sudahkah kita membangun amanat penginjilan pelayanan di sekolah dengan dukungan pujian dan musik dalam Gospel hymn ataukah hanya membangunnya dari musik rohani yang populer? Dalam confessions, Agustinus pernah menyatakan kesaksiannya “How deeply was I moved by the voices of your sweet singing Church? These voices flowed into my ears and the truth was distilled into my heart, which overflowed with my passionate devotion. Tears ran from my eyes and happy I was in those tears.”[9]


[1] Foreworth J. Strantton Shufelet dalam 101 Hym stories: The Inspiring True Stories Behind 101 Favorite Hyms, Kenneth W. Osbeck (Grand Rapids: Kregel Publication, 1982)
[2] Paul Hidermith, A composer’s World, (Cambrige, 1952), hlm. 5
[3] Jane Stuart Smith and Betty Carlson, Karunia Musik Para Komponis Besar dan Pengaruh Mereka, terjemahan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2003), hlm.2
[4] ibid., hlm.3
[5] ibid., hlm 5.
[6] John C. Maxwell, Encouragement changes everything, Dorongan Semangat Mengubah Segalanya, terjemahan (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2011), hlm. 27-28
[7] Frank E. Gaebelein, The Pattern of God’s Truth. (Chicago, Illinois: Moody Press, 1972). hlm 78
[8] Hugh Thomson Kerr, ed. A compend of Luther’s Theology (Philadelphia, 1943) hlm. 147
[9] Augustine, Conffessions 9.6.14

Minggu, 13 November 2016

Matematika dan Pendidikan Kristen



Matematika dan Pendidikan Kristen
          Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
           
Subjek apa yang paling mudah menyatakan kedaulatan Allah dalam pembelajaran kelas? Atau dengan kata lain, subjek apa yang paling mudah diintegrasikan dengan prinsip-prinsip Alkitab? Secara mendasar, subjek matematika dan sains![1], bukan subjek yang lain, keduanya bukan yang tersulit tetapi justru yang paling mudah untuk menyatakan realitas ciptaan Allah. Keberadaan alam dan berkerjanya alam dalam suatu sistem bagi kehidupan merupakan subjek yang menunjukkan kedaulatan, keberadaan, dan penyertaan sang Pencipta. Tak berlebihan bila fisikawan Paul Dirac (1902-1984) mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan perumusan matematika yang indah, “God chose to create the universe according to very beautiful mathematics.”
Blaise Pascal (1623-1662) salah satu pemikir besar matematika yang pernah ada, pada tahun 1659 menuliskan pemikirannya dalam the Mind of the Geometrician, ia menemukan bahwa terdapat kerangka dasar matematika seperti geometri dan kekristenan berada dalam kebersamaan dasar di tingkat epistemologi. Pascal menemukan bahwa geometri merupakan definisi dari “self evidence” kebenaran itu sendiri. Geometri tidak dapat memverifikasi kebenaran-kebenaran dalam alasan yang sederhana. Geometri juga berdasarkan pada benda-benda yang berada pada bagian bentuk dasar yang tidak terverifikasi. Geometri menyajikan bentuk-bentuk realitas ciptaan Tuhan, keteraturan, pola, keindahan, simetri dan ketelitian tinggi yang merupakan alasan bagi kebenaran itu sendiri. Perumusan matematika seperti segitiga Pascal, deret Fibonacci, Golden Ratio, teori bilangan, fractal, dan Mandelbrot set seharusnya dapat mengingatkan bahwa manusia tidak lebih dari ciptaan-Nya, hanya karena manusia mengetahui segalanya melalui deretan angka, pola, aturan, dan rumus-rumus. Sebaliknya deretan angka dan rumus-rumus tersebut merupakan bukti bahwa segala sesuatu telah dirancang oleh Tuhan dalam kedaulatan dan kemutlakan-Nya. Manusia hanya unfolding meaning
Keberadaan matematika tidak bisa otonomi, tidak pernah berdiri sendiri, dan tidak pernah netral. Matematika bukanlah ditujukan bagi keilmuan matematika itu sendiri. Dalam iman Kristen, perumusan matematika harus dibangun dari realitas ciptaan Tuhan. Konstruksi yang selalu berpangkal dari penciptaan Tuhan. Prinsipnya harus dibangun dari  God is Designer, Creator, and Sustainer of the Universe. Prinsip-prinsip Matematika dalam iman Kristen mengungkapkan tiga hal. Pertama Karya Agung ciptaan Tuhan dapat dipahami dengan  keteraturan dalam matematika (dalam tiga ordo Ciptaan Tuhan yaitu Creatio prima, creatio secunda, creatio tertia). Kedua, realitas ciptaan Tuhan terkait dengan aturan, dan keindahan dalam hukum keteraturan ciptaan Tuhan. Ketiga, konsep-konsep dalam matematika dalam tinjauan implementasi harus digunakan untuk menjadi berkat bagi kehidupan manusia dan bagi kemuliaan Tuhan.
Bila matematika murni digunakan bagi keilmuan teori matematika itu sendiri, akan terbentang keraguan pada sifat ilmu pastinya. Penemuan, sejarah dan kegunaan matematika dari waktu-ke waktu menunjukkan pemeliharaan Tuhan pada hidup manusia. James Nickel dalam Mathematics: Is God Silent? Menunjukkan bahwa dari suatu periode ke periode berikutnya, dari satu era ke era berikutnya, semua keteraturan, pola-pola, rumus-rumus matematika ada pada keberaturan realitas ciptaan Allah. Perumusan dan aturan yang dinyatakan dalam bentuk matematika oleh satu ilmuwan ke ilmuwan lain adalah penyertaan mandat budaya yang tidak mungkin, tanpa penyertaan Tuhan di dalamnya. Tidak mungkin tanpa kedaulatan Allah di dalamnya. Kini tulisan James Nickel tentang matematika dan kekristenan banyak mempengaruhi bidang matematika dalam perspektif Kristen, artikelnya bisa di download melalui internet. Boleh jadi ia adalah seorang pendidik Kristen yang paling banyak menulis bahan referensi bagi para guru matematika untuk topik-topik matematika berintegrasi Alkitab.
John Byl[2] juga menuliskan kaitan antara Alkitab dan matematika beberapa tulisannya tentang matematika adalah “A Christian Perspective on Math”, “Does Mathematics Need a Worldview?”, “Matter, Mathematics, and God”. Byl berpendapat bahwa pengaruh sekulerisasi dalam matematika disebabkan oleh tiga aliran yang mempengaruhinya yaitu naturalistik, materialisme, dan konstruktivisme. Pandangan aliran naturalisme, telah membuat matematika menjadi penemuan manusia seperti biasanya serta menimbulkan pertanyaan tentang validitas matematika dan kebenaran. Sebenarnya tidak ada ruang bagi materialisme dalam matematika yang sifatnya universal, atau bahkan mengandung kebenaran. Di sisi lain kontruktivisme matematika tidak menghasilkan alat bantu yang cukup untuk pengembangan fisika modern. Ketidakcukupan matematika fisika adalah argumen yang kuat bagi kegagalan pandangan realisme. Sebagai anugerah Tuhan, matematika harus dapat dijustifikasi kebenarannya oleh Theistik dibanding dengan filsafat naturalisme.
Realisme matematika membutuhkan pandangan dalam worldview tentang Tuhan, kedaulatan Allah, dan Allah yang tidak terbatas. Agustinus (354-430) menempatkan dunia ideal dari kebenaran abadi (eternal truth) berada dalam akal budi Tuhan (mind of God). Dia berpendapat bahwa kebenaran abadi tidak dapat dihasilkan dari benda-benda atau pemikiran manusia yang terbatas[3]. Kebenaran matematika harus tergantung pada pikiran universal, kebenaran yang mutlak dan tidak berubah dan mencakup semua kebenaran. Kebenaran itu hanya didapatkan pada diri Allah.
Moris Kline[4] dalam Mathematics the loss of uncertainty menegaskan bahwa matematika bukanlah ilmu pasti, matematika bukanlah ilmu eksak yang kepastiannya tak diragukan dalam penalaran matematika dan dunia fisik (rejection of a divine mind). Dalam Kenyataannya, matematika memiliki beberapa konsep matematika yang saling bertentangan dan tidak bersifat universal. Dua perkembangan matematika abad ke kesembilan belas tentang geometri non-Euclidean dan quarternion memaksa para matematikawan menyadari bahwa matematika bukanlah serangkaian kebenaran self-evident tentang alam oleh penalaran tak terbantahkan.[5] Mereka mendapati beberapa geometri yang berbeda justru sesuai dalam ruang kejadian yang sama. Kenyataan yang mengejutkan mendorong para matematikawan memeriksa kembali aksioma dan penalaran yang tak tergoyahkan yang selama ini dipatuhi. Akhirnya mereka menemukan aksioma yang sembarang, bukti yang tidak memadai serta tidak mendukung satu sama lain. Moris juga menyatakan bahwa ketidakpastian akan menjadikan matematika dapat menjadi bagian dari kesesatan berpikir dalam matematika. Kurt Godel (1906-1978) matematikawan Austria pada tahun 1931, menyatakan bahwa kita tidak dapat membuktikan konsistensi dari sembarang sistem yang cukup besar dari aritmetika. Oleh karenanya kita tidak dapat dipastikan dengan validitas aritmetika, walaupun terus dikerjakan sepanjang waktu. nampaknya matematika harus dapat diterima dengan landasan iman[6] Alkitab dalam Mazmur 139:17 menyatakan bahwa Dan bagiku betapa sulitnya pikiranMu ya Allah! …  Karya penulis Kristen lainnya adalah Daniel J. Cohen dalam bukunya Equations of God, James Bradley dan Russel Howell (Mathematics through the eyes of faith), serta karya-karya dari penulis Kristen lainnya seperti Vern S. Poythress, John Lennox, Ivan Panin, ataupun Brendan Mackay.
Matematika adalah ilmu yang mempelajari struktur, bentuk, simbol, pola dan hubungannya berbentuk fungsi, termasuk di dalamnya, teori bilangan, aritmetika dan geometri. Keberpolaan matematika terlihat dari semua ciptaan Tuhan. Melalui matematika manusia mampu melihat keteraturan, keindahan, geometri, dan pola alam realitas ciptaan Tuhan. Bentuk keteraturan ciptaan Tuhan dapat ditemui pada alam semua ciptaan, salah satunya perbandingan ukuran golden ratio sebesar 1,618 atau sebesar 137,5°. Perbandingan golden ratio nampak pada perbandingan panjang tulang belulang tubuh manusia, bentuk rumah keong, buah nanas, bunga matahari, mata serangga. Segala sesuatu ditopang oleh Tuhan melalui firman Allah yang menciptakan alam dengan segala isinya dan manusia.
Penemuan perbandingan golden ratio bukanlah suatu kebetulan semata namun providensia Allah. Penyertaan dan kedaulatan Allah pada manusia menyertai keberhasilan perumusan para ilmuwan mulai dari segitiga Pascal, deret Fibbonaci, berlanjut dengan golden ratio. Dan kini hampir semua bentuk desain, arsitektur, aestetika bangunan, lukisan, bahkan nada musik yang diciptakan manusia menggunakan proporsi, keindahan dan harmonisasi golden ratio. Sesungguhnya mempelajari matemaika adalah mempelajari ciptaan Tuhan dalam kasih anugeran-Nya, mempelajari pikiran Allah di hadapan-Nya. “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan…” (Rom 1:20).
Matematika sudah dikenal sejak manusia mengenal bahasa dan simbol-simbol tulisan, berbagai bangunan besar seperti Piramid, Sphinx, Partenon semuanya adalah sisa-sisa penggunaan matematika pada kehidupan manusia, walaupun saat itu belum dituliskan secara ilmiah. Filsafat matematika yang pertama dinyatakan oleh Pythagoras (570-497 BC), ia menyakini bahwa seluruh jagad raya dapat dijelaskan dalam perhitungan bilangan (rules of universe), “Bless us divine number, thou who generates god and men”[7]. Senada dengan Pythagoras, Spinoza dan Emanuel Kant menyatakan bahwa bilangan adalah kekal, “Number is eternal. Selanjutanya GW Leibnitz (1646-1716) dalam The Number World Theory menyatakan bahwa matematika menyediakan cerminan dari pengalaman dan pemikiran yang belum teramati, adanya besaran yang independen yang membuat pengamatan menjadi mungkin. “Mathematics treats the reflection in our experience and thought of a realm of unobservable, independent entities which make observable things possible”
Pertanyaan tentang matematika dan perspektif kristiani menjadi latar belakang dari pemikiran Kristen akan matematika. Dalam tahun 1948 Herman Weyl (1885-1955) salah satu dari ahli matematika abad 20 yang terkenal menuliskan kata-kata untuk menjelaskan matematika berkaitan dengan kemampuan kita memahaminya. Pertanyaan yang paling mendasar dan makna terpenting dalam matematika tetap menjadi masalah yang terbuka, kita tidak tahu ke arah mana kita akan menemukan solusinya atau bahkan menemukan tujuan akhir dengan jawaban yang dapat diduga keseluruhannya.”The question of the ultimate foundation and the ultimate meaning in mathematics remain an open problem; we do not know in what direction it will find its solution nor even whether a final objective answer can be expected at all.[8]
Sebelumnya ahli filsafat J.S. Mill (1806-1873) menyatakan bahwa setetes air ditambah dengan setetes air tetaplah merupakan tetesan air, ia menyatakan bahwa matematika merupakan persepsi dan tergantung dari indera manusia. “Mathematics views which is controlled by the perspective that says the nature of reality is exclusively sensory.” Bertrand Russell (1872-1970), ilmuwan dan matematikawan ateis pernah menyatakan bahwa matematika sama dengan atau turunan dari logika. Matematika adalah logika dan sejumlah symbol “All of math as either identical with or derivative from logic.” Russel menekankan subjek mata pelajaran matematika yang mencakup aspek observasi dan kemampuan bernalar. John Dewey (1859-1952) seorang pendidik progesif menyatakan bahwa dua ditambah dua adalah empat, namun nilai empat itu tidak berarti selama hasil dari penjumlahan itu tidak ada gunanya. Dewey yang pandangannya bertentangan dengan Firman Tuhan mempertanyakan kegunaan dari matematika, ia menekankan pragmatisme dari suatu hasil perhitungan yang diperoleh. Filsafat dari para tokoh di atas kembali mempertanyakan substansi matematika dalam kehidupan manusia.
Dalam perspektif Kristen, matematika merupakan anugerah Allah dalam kehidupan manusia. Matematika digunakan untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Tuhan menyertai dan memelihara manusia dengan berbagai keteraturan, keindahan, ketelitian, dalam berbagai ukuran, berat dan dengan bilangan. Pemahaman manusia akan matematika sudah seharusnya memberikan apresiasi kepada Allah pencipta, memberikan kemuliaan bagi karya-Nya dan bukan sebaliknya. Cobalah lihat karya keterkaitan matematika dengan kekristenan dalam situs-situs seperti christian perspective.net, transformingteachers.org, situsnya John Byl (reformation.edu/scripture-science-byl.), project Kuyers Institute[9] yang dikelola oleh Prof. David Smith, dari Calvin College (calvin.edu/kuyers/resources.php). Melalui karya-karya di atas, kita mendapatkan sumber-sumber pembelajaran matematika dari perspektif Kristen.
Pemahaman matematika sebagai subjek dalam perspektif Alkitab, antara lain: Matematika menunjukkan konsistensi kebenaran matematika dalam keteraturan, ketelitian dan keindahan ciptaan Tuhan. Pembelajaran matematika membangkitkan apresiasi kepada karya cipta Allah. Kreativitas matematika merupakan kepemilikan Allah yang menuntut manusia membutuhkan pemahaman matemtika dengan sungguh. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang kreatif. Pemahaman konsep matematika memberikan keluasan atau ekspresi dalam bidang lain dalam keseharian hidup. Berikut adalah panduan tentang pengembangan sebuah matematika dengan rujukan Alkitab.

Prinsip Referensi Alkitab - Matematika
Rujukan Alkitab
Tuhan memahami semua konsep bilangan karena ia adalah pencipta, Dia menyimpan semua rahasia penciptaan termasuk semua rahasia bilangan.
Mazmur 147: 4; Lukas 12: 7
Allah memperhatikan manusia untuk tidak terlalu
mengandalkan banyaknya dalam jumlah atau ukuran
1 Samuel 14: 6; 17: 1-51; 1 Raja-raja 18: 17-41; Yohanes 6: 9-13
Allah memperhatikan bahwa perbuatan manusia dengan teliti, dan akurat, termasuk dalam penggunaan berat, ukuran dan bilangan
Imamat 19: 35-36
Konsep Jumlah berawal dari Allah.
Tuhan memulainya dari awal.
Kejadian 1, 4, 5
Pembelajaran Matematika harus menghasilkan
apresiasi terhadap karya Allah dalam ciptaan-Nya.
Mazmur 8: 3-9; Yeremia 33:22
Pemahaman konsep-konsep matematika tentang penjumlahan memberikan pemahaman kepada manusia pernyataan akan kehidupan bergantung kepada Tuhan
Penjumlahan
Matius 6:33; Amsal 3: 2-3;

Perkalian (positif)
Kisah Para rasul 6: 1-7; 12:24
Perkalian (negatif)
Mazmur 16: 4; Yesaya 59:12

Prinsip utama berdasarkan matematika
Tuhan telah memberkati ciptaan-Nya dengan kemampuan untuk menghitung, memahami waktu, dan membuat perubahan. Ini bukan hal yang kebetulan tetapi adalah cerminan dari kebaikan Allah. Sebagai murid, anak belajar menghargai karunia Tuhan tentang penjumlahan dan menggunakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bagi kehidupannya. Mereka secara bersamaan harus mengembangkan hati yang memumji dan ucapan syukur dalam matematika. Dalam Matematika siswa akan melihat kebenaran bahwa urutan segala sesuatu telah diciptakan oleh Allah. Sama seperti Alkitab mengatakan " Sebab harus ini harus itu, mesti begini mesti begitu, tambah ini, tambah itu!" (Yes. 28:10). Murid dapat membangun konsep berdasarkan  konsep penjumlahan dan pengurangan dalam matematika.

Sampai sekarang munculnya komputasi paralel, penggunaan super computer untuk perhitungan numerik semakin memungkinkan manusia untuk memproses informasi dalam membuktikan suatu dalil, peraturan, rumus, dan hukum-hukum matematika. Berkembangnya perangkat lunak pendukung dan grafis bagi komputasi numerik grafikal seperti perangkat lunak wolfram, mathematica, geogebra, menambah daya dobrak keampuhan matematika menyelesaikan persoalan manusia. Namun di balik  itu, bagaimana semua perangkat tersebut dilihat sebagai anugerah Tuhan yang dapat digunakan bagi kesejahteraan manusia dan memuliakan Tuhan.

Penutup
Tidak  ada subjek mata pelajaran yang lebih mencerminkan kemuliaan Tuhan dibandingkan matematika. Pembelajaran matematika adalah belajar tentang Tuhan, belajar tentang realitas penciptaan. Hukum-hukum matematika adalah ciptaan Tuhan dan yang benar-benar absolut dan berlaku pada semua hukum matematika. Tugas manusia adalah untuk mencari dan memanfaatkan hukum alam semesta, Keduanya mencakup aspek keilmuan dan secara matematika. matematika merupakan alat manusia mengungkapkan makna (unfolder meaning) dari karya cipta Tuhan dalam keindahan, kemuliaan dan keteratuan. Galileo Galilei (1564-1642) pernah berujar bahwa matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menuliskan alam semesta. “Mathematics is the language with which God has written the universe."











[1] Frank E. Gaebelein, The Pattern of God’s Truth: Integration of Faith and Learning (Colorado Springs: ACSI, 1968), hlm. 57
[2] John Byl dari Trinity Western University, ia tidak hanya menulis matematika dengan kekristenan, namun berbagai subjek dari perspektif Kristen. Situsnya dapat dilihat di reformation.edu/scripture-science-byl/pages/01-perspective-on-math.htm; www.csc.twu/ca/byl
[3] John Byl, A Christian Perspective on Math, Reformed perspective, vol.27 (no.4). hlm 9-13
[4] Morris Kline dari New York University, Courant Institute of Mathematical Science serta associate editor dari Mathematic Magazine dan Archive for History Exact Sciences.
[5] Matematika menggunakan aksioma yaitu hukum dasar yang  didasarkan pada himpunan kebenaran yang tak diragukan dan menggunakan prinsip self evidence.
[6] ibid., hlm 10
[7]   Cited in  Stanley L. Jaki, The relevance of Physics (Edinburgh: Scottish Academic Press, 1992)
[8]   Herman Weyl, Philosophy of Mathematics and Natural science (Princeton: Princeton University Press, 1948), hlm. 219