Bahasa, Pemikiran Kritis, dan
Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
Percaya atau tidak? Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menempatkan bahasa dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi[1].
Padahal penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat merefleksikan suatu
tatanan sosial, geliat budaya, tata krama, etika, moral, dan gaya hidup dalam
komunitas masyarakat. Pentingnya berbahasa menurut aturan dan prinsip tata
bahasa yang ketat dan detail mengingatkan saya ketika studi di graduate studies pada Pensacola Christian College. Bagi
seorang mahasiswa pascasarjana berstatus internasional
student menyusun paper ilmiah
dengan bahasa Inggris dalam grammar
dan struktur bahasa yang ketat tidaklah mudah. Tidak ada pengecualian bagi internasional student untuk mendapat
keringanan dalam menyusun paper
tersebut. Tak heran bila kesalahan dari pernak-pernik struktur bahasa dalam paper tersebut ikut mempengaruhi
kualitas serta penilaian dari tulisan ilmiah tersebut.
Keseriusan pembelajaran bahasa di sekolah juga
mencerminkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dalam
masyarakat. Dalam rumpun bidang studi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, pengelompokkan rumpun bidang studi untuk bahasa sangat
mengejutkan. Subjek bahasa[2] ternyata
hanya dikelompokkan dalam rumpun sains dan teknologi. Wawasan pendidikan pemerintah terhadap bahasa
sudah nampak jelas, bahasa adalah subjek ilmu pengetahuan dan suatu “tools” semata, alat bantu yang diperuntukkan
meraih pemahaman sains, teknologi,
pengembangan teknologi, dan penguasaan ilmu.
Di negara maju seperti Amerika Serikat,
pembelajaran bahasa mendapat perhatian yang sangat serius terutama kualitas akademis
baik di sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Pembelajaran bahasa
meliputi grammar (penataan struktur dan
logika bahasa, menurut aturan baku), literature
(ekspresi tertulis dari budaya), reading
(pemahaman dalam isi bacaan), spelling
(pengucapan kata yang tepat), vocabulary
(kosa kata), poetry (puisi,
sastra dalam apresiasi dan ungkapan
berbahasa yang indah), dan writing (menulis
indah, menulis “sambung”, cursive writing, penmanship). Pelajaran
bahasa tidak semata mengajarkan an sich bahasa
itu sendiri, namun mengajarkan keterkaitan dengan mematuhi aturan, ketaatan,
disiplin, etika, sosial budaya, seni, keindahan, perasaan, apresiasi dan logika
berpikir.
Dalam pendidikan Kristen, bahasa harus ditempatkan
dalam rumpun tersendiri, karena bahasa bukan semata keterkaitan hubungan horizontal
antar manusia tetapi hubungan vertikal dengan Tuhannya. Bahasa satu-satunya sarana
manusia berkomunikasi dengan Allah. Melalui bahasa, Allah menyampaikan
kebenaran dalam firman-Nya. Dalam bahasa “penciptaan” Allah adalah adalah Allah
yang hidup, Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah. Dalam
bahasa “kasih” Allah menebus dosa manusia melalui karya penebusan Tuhan Yesus
Kristus. Dalam bahasa “pengenapan”, Allah menyertai kehidupan manusia dengan
menyertakan firman-Nya, dalam bentuk tertulis berbentuk Words of God.
Bahasa, sarana Tuhan
menyampaikan firman-Nya
Bahasa merupakan sarana yang digunakan
Allah untuk menyatakan kasih-Nya kepada manusia, bahasa digunakan Allah untuk
menyatakan kasih, berkat, aturan dan hukum-hukum-Nya bagi manusia. Di dalam kehidupan
religius, bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berbicara tentang Tuhan dan
agama, bahasa tersebut berfungsi sebagai bahasa religius (religious language).
John Calvin (1509-1564), tokoh reformasi Kristen, membagi bahasa religius dalam
tiga pandangan. Pandangan pertama adalah pandangan univocal, artinya orang yang membaca Alkitab akan menafsirkan
Alkitab sesuai dengan arti harafiah dalam setiap kalimat yang mereka baca.
Ketika Alkitab berkata bahwa Allah “mengacaubalaukan” bahasa manusia. Arti harafiah Alkitab benar-benar mengacaukan
bahasa manusia. Namun demikian tidak semua bagian di dalam Alkitab dapat
ditafsirkan univocal. Tuhan Yesus
jelas-jelas menggunakan banyak metafora di dalam ajaran-Nya. Pandangan kedua
adalah pandangan equivokal.
Dalam pandangan ini, semua pembahasan tentang Tuhan tidak dapat diartikan
secara harafiah. Setiap pernyataan mempunyai arti sangat berbeda dari arti
harafiahnya. Pengertian kata “baik” dalam pernyataan “Allah itu baik” mempunyai
arti yang sama sekali berbeda dengan “baik” pada manusia. Dengan demikian,
setiap pernyataan afirmatif tentang Allah selalu bersifat kiasan dan tidak
dimengerti oleh manusia. Hal ini disebabakan karena bahasa manusia terbatas
dalam pemahaman akan Tuhan yang tak terbatas. Pandangan yang ketiga adalah
pandangan analogis. Dalam pandangan suatu kalimat dapat menggunakan kata
yang sama tetapi dengan pengertian yang berbeda. Pandangan analogis dikemukanan
pertama kali oleh Thomas Aquinas (1225-1274), ia menyatakan bahwa istilah “baik” untuk
Allah dan manusia mempunyai pengertian yang sama tetapi dengan pemaknaan yang
berbeda.[3]
Bapak gereja, Agustinus dari Hippo (354
–430) menyatakan bahasa berperan
penting dalam pembentukan dan pemahaman iman. Agustinus menuliskannya dalam
sebuah buku tentang tata bahasa (De
grammatic), ia menyakini bahwa tujuan dari
bahasa untuk menyampaikan kasih dan perintah Tuhan melalui bahasa. Tugas dari kata-kata (words) yang digunakan merupakan
penanda dari sesuatu makna, “For
no one uses words except for the purpose of signifying something” (De doctrina christiana).
Agustinus membedakan sign
dalam dua kategori, yaitu natural
(naturalia) sign dan given (data) sign. Natural sign adalah tanda yang
tanpa ada keinginan dari kita untuk menebak apa arti dari tanda itu, tetapi
menyebabkan adanya hal lain yang bisa dikenali melalui tanda itu. Misalnya
adanya asap menandakan adanya api,
sedangkan given sign
adalah tanda yang digunakan sesama makhluk hidup untuk bertukar informasi,
bertukar pikiran (mind),
persepsi dalam pikiran makhluk hidup tersebut.
Manusia memiliki akal budi sehingga ia mampu
memberikan penggambaran makna dari susunan kata-kata yang dibentuk. Agustinus
mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menandakan sesuatu, kecuali
untuk mengekspresikan dan menghantarkan apa
yang ada di dalam mind
kita atau mengirimkan mind
tersebut kepada orang lain. Pengertian bahasa dari perspektif Agustinus ini
membukakan kita pada hidup yang theistik dalam wilayah bahasa. Kedaulatan Allah memimpin kita dalam kehidupan iman dalam wilayah
bahasa.
Bahasa dalam gerakan postmodernime
Bahasa menjadi salah satu fokus dari filsafat postmodernisme.
Namun pemahaman bahasa dalam filsafat postmodernisme sudah jauh menyesatkan dan
melawan kekristenan. Ludwig Wittgenstein
(1889-1951) berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan
masalah bahasa. Jacques Derrida (1930-2004), seorang ahli
filsafat postmodernisme asal Perancis, mengemukakan teori dekonstruksi, setiap orang dapat memberikan
makna yang berbeda terhadap makna yang ada. Dekonstruksi makna artinya setiap
orang dapat memaknakan kembali makna teks yang sudah ada atau memberikan makna
baru dari bahasa yang ditemukan. Filsafat dekonstruksi telah memberikan
guncangan terhadap keyakinan dan iman kehidupan orang Kristen. Karena melalui
dekonstruksi mana, tidak ada makna yang tetap, tidak ada kestabilan makna dalam
setiap teks termasuk dalam teks dalam Alkitab.
Jean-François Lyotard (1924-1998), seorang ahli filsafat postmodernisme asal
Perancis, memberikan karakteritik filsafat postmodernime, yaitu filsafat yang
terfragmentasi, tidak menentu, dan ketidakpercayaan terhadap semua pandangan
dunia yang bersifat universal, termasuk teks agung metanarasi dalam Alkitab. Semua pengesahan akan baik jika dibuktikan perannya dalam masyarakat
dan “Knowledge is produced to be sold”. Michel
Foucault (1926-1984), seorang ahli filsafat postmodernisme asal
Perancis, lebih jelas lagi menggunakan subjektivitas
bahasa dalam memberikan pengertian sosial budaya dalam masyarakat. Foucault mempublikasikan
bukunya Discipline and Punish untuk
menjelaskan pengertian sosial dan etika dengan subyektivitas bahasa. Dalam
hal pengertian kegilaan, ia mengganggap kegilaan bukanlah suatu penyakit mental namun
sebenarnya merupakan komplementer dari rasio, produk dari komitmen sosial dan
etika. Sedangkan marah hanyalah sakit ("mental" sakit) dan
membutuhkan perawatan medis.
Dalam postmodernisme, makna
bahasa tidak memiliki makna yang standar, setiap orang dapat memberikan makna yang
berbeda dari kata yang ditemuinya. Setiap orang secara subjektif dapat
memberikan makna yang berbeda. Dalam postmodernisme tidak ada standar absolut
tentang benar atau salah. Kebenaran adalah relatif dan tidak absolut, suatu
pandangan yang melawan kekristenan. Konsep kebenaran akan firman Tuhan adalah mutlak,
absolut, dan kekal. Alkitab tidak dapat disejajarkan dengan apapun, tidak
diragukan, tidak pernah salah, selalu benar dan
kekal. Calvin menyebutkan Alkitab
adalah kebenaran yang memiliki sifat otentik yang terdapat pada dirinya sendiri
(The self-authentication Character of
Bible) artinya Alkitab berarti bukan sekedar teks namun merupakan Firman
Allah melalui pewahyuan orang-orangnya Tuhan, Firman Tuhan adalah the highest authority is the Word of God.
Allah sendiri yang berbicara melalui hamb-hamba-Nya.
C.S. Lewis, seorang penulis dan ahli filsafat
Inggris banyak menuliskan sastra kekristenan yang mampu memberikan dasar-dasar
kekristenan yang doktrinal dalam keseharian kehidupan orang Kristen. Melalui
tulisannya ia mampu memberikan sumbangsih yang besar terhadap kekristenan. Salah
satu bukunya yang paling terkenal adalah Mere Christianity, tidak hanya tentang
doktrin dalam kekristenan, kehidupan kekristenan namun juga memberikan
pemikiran kritis bagi wawasan kekristenan.
Penutup:
Bahasa adalah subjek penting dalam mempelajari
logika, struktur, makna, bunyi, apresiasi seni, budaya dan sosial yang harus
dipelajari dengan ketat dan detail. Bahasa tidak melulu kalimat tetapi jauh dari
itu bahasa menjadi pertarungan pemahaman makna, pertempuran filsafat, dan
pertarungan iman. Bagi Jack Layman profesor Columbia
International University[4]
bahasa adalah pemikiran kritis yang sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan.
Subjek bahasa adalah subjek yang penting tidak saja dalam kehidupan manusia
dengan manusia, tetapi dalam kehidupan manusia dengan Tuhannya. Melalui bahasa
Allah mengungkapkan kasih-Nya dalam kehidupan manusia. Melalui Bahasa kita
memahami bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah yang berkata-kata
dalam kehidupan manusia. Allah yang menyertai setiap kehidupan manusia.
Dalam
pengantar dari Foundations of Christian School Education, filsafat
pendidikan Kristen nampak jelas, kita harus menyatakan keyakinan iman dan nilai
dan harus mengembalikan fondasi Alkitab. It
is this Biblical foundation that sets the Christian school apart and makes
Christian education different from other philosophies of education.
[1] Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat
(1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan
khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian;
kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata
pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
[2] Dalam konteks yang luas bahasa meliputi: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Fonologi adalah cabang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa
menurut fungsinya. Ada dua bagian fonologi yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik
adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap
manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan. Fonemik adalah ilmu bahasa yang
membahas bunyi – bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Cabang
kedua, morfologi adalah cabang dalam linguistik yang mengidentifikasi
satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari
seluk beluk bentuk serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik
fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Cabang ketiga, sintaksis adalah cabang
dalam linguistik yang menempatkan kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat
yang bermakna. Cabang keempat, semantik atau ilmu makna, studi tentang makna
kata. Selain itu terdapat etimologi yang sudah merupakan disiplin ilmu yang
sudah terbangun sejak lama, sedangkan semantik relatif merupakan hal yang baru.
[3]
Buletin
pillar
[4]
Dalam
video Filsafat Pendidikan Kristen