Sabtu, 13 Februari 2016

Bahasa, Pemikiran Kritis dan Pendidikan Kristen



Bahasa, Pemikiran Kritis, dan
Pendidikan Kristen 
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed


Percaya atau tidak? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menempatkan bahasa dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi[1]. Padahal penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat merefleksikan suatu tatanan sosial, geliat budaya, tata krama, etika, moral, dan gaya hidup dalam komunitas masyarakat. Pentingnya berbahasa menurut aturan dan prinsip tata bahasa yang ketat dan detail mengingatkan saya ketika studi di graduate studies pada Pensacola Christian College. Bagi seorang mahasiswa pascasarjana berstatus internasional student menyusun paper ilmiah dengan bahasa Inggris dalam grammar dan struktur bahasa yang ketat tidaklah mudah. Tidak ada pengecualian bagi internasional student untuk mendapat keringanan dalam menyusun paper tersebut. Tak heran bila kesalahan dari pernak-pernik struktur bahasa dalam paper tersebut ikut mempengaruhi kualitas serta penilaian dari tulisan ilmiah tersebut. 
Keseriusan pembelajaran bahasa di sekolah juga mencerminkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dalam masyarakat. Dalam rumpun bidang studi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pengelompokkan rumpun bidang studi untuk bahasa sangat mengejutkan. Subjek bahasa[2] ternyata hanya dikelompokkan dalam rumpun sains dan teknologi.  Wawasan pendidikan pemerintah terhadap bahasa sudah nampak jelas, bahasa adalah subjek ilmu pengetahuan dan suatu “tools” semata, alat bantu yang diperuntukkan meraih pemahaman sains, teknologi,  pengembangan teknologi, dan penguasaan ilmu.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, pembelajaran bahasa mendapat perhatian yang sangat serius terutama kualitas akademis baik di sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Pembelajaran bahasa meliputi grammar (penataan struktur dan logika bahasa, menurut aturan baku), literature (ekspresi tertulis dari budaya), reading (pemahaman dalam isi bacaan), spelling (pengucapan kata yang tepat), vocabulary (kosa kata), poetry (puisi, sastra dalam apresiasi dan ungkapan berbahasa yang indah), dan writing (menulis indah, menulis “sambung”,  cursive writing, penmanship). Pelajaran bahasa tidak semata mengajarkan an sich bahasa itu sendiri, namun mengajarkan keterkaitan dengan mematuhi aturan, ketaatan, disiplin, etika, sosial budaya, seni, keindahan, perasaan, apresiasi dan logika berpikir.
Dalam pendidikan Kristen, bahasa harus ditempatkan dalam rumpun tersendiri, karena bahasa bukan semata keterkaitan hubungan horizontal antar manusia tetapi hubungan vertikal dengan Tuhannya. Bahasa satu-satunya sarana manusia berkomunikasi dengan Allah. Melalui bahasa, Allah menyampaikan kebenaran dalam firman-Nya. Dalam bahasa “penciptaan” Allah adalah adalah Allah yang hidup, Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah. Dalam bahasa “kasih” Allah menebus dosa manusia melalui karya penebusan Tuhan Yesus Kristus. Dalam bahasa “pengenapan”, Allah menyertai kehidupan manusia dengan menyertakan firman-Nya, dalam bentuk tertulis berbentuk Words of God.

Bahasa, sarana Tuhan menyampaikan firman-Nya
Bahasa merupakan sarana yang digunakan Allah untuk menyatakan kasih-Nya kepada manusia, bahasa digunakan Allah untuk menyatakan kasih, berkat, aturan dan hukum-hukum-Nya bagi manusia. Di dalam kehidupan religius, bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berbicara tentang Tuhan dan agama, bahasa tersebut berfungsi sebagai bahasa religius (religious language). John Calvin (1509-1564), tokoh reformasi Kristen, membagi bahasa religius dalam tiga pandangan. Pandangan pertama adalah pandangan univocal, artinya orang yang membaca Alkitab akan menafsirkan Alkitab sesuai dengan arti harafiah dalam setiap kalimat yang mereka baca. Ketika Alkitab berkata bahwa Allah “mengacaubalaukan” bahasa manusia.  Arti harafiah Alkitab benar-benar mengacaukan bahasa manusia. Namun demikian tidak semua bagian di dalam Alkitab dapat ditafsirkan univocal. Tuhan Yesus jelas-jelas menggunakan banyak metafora di dalam ajaran-Nya. Pandangan kedua adalah pandangan equivokal. Dalam pandangan ini, semua pembahasan tentang Tuhan tidak dapat diartikan secara harafiah. Setiap pernyataan mempunyai arti sangat berbeda dari arti harafiahnya. Pengertian kata “baik” dalam pernyataan “Allah itu baik” mempunyai arti yang sama sekali berbeda dengan “baik” pada manusia. Dengan demikian, setiap pernyataan afirmatif tentang Allah selalu bersifat kiasan dan tidak dimengerti oleh manusia. Hal ini disebabakan karena bahasa manusia terbatas dalam pemahaman akan Tuhan yang tak terbatas. Pandangan yang ketiga adalah pandangan analogis. Dalam pandangan suatu kalimat dapat menggunakan kata yang sama tetapi dengan pengertian yang berbeda. Pandangan analogis dikemukanan pertama kali oleh Thomas Aquinas (1225-1274), ia menyatakan bahwa istilah “baik” untuk Allah dan manusia mempunyai pengertian yang sama tetapi dengan pemaknaan yang berbeda.[3]
Bapak gereja, Agustinus dari Hippo (354 –430) menyatakan bahasa berperan penting dalam pembentukan dan pemahaman iman. Agustinus menuliskannya dalam sebuah buku tentang tata bahasa (De grammatic), ia menyakini bahwa tujuan dari bahasa untuk menyampaikan kasih dan perintah Tuhan melalui bahasa. Tugas dari kata-kata (words) yang digunakan merupakan penanda dari sesuatu makna, “For no one uses words except for the purpose of signifying something” (De doctrina christiana). Agustinus membedakan sign dalam dua kategori, yaitu natural (naturalia) sign dan given (data) sign. Natural sign adalah tanda yang tanpa ada keinginan dari kita untuk menebak apa arti dari tanda itu, tetapi menyebabkan adanya hal lain yang bisa dikenali melalui tanda itu. Misalnya adanya  asap menandakan adanya api, sedangkan given sign adalah tanda yang digunakan sesama makhluk hidup untuk bertukar informasi, bertukar pikiran (mind), persepsi dalam pikiran makhluk hidup tersebut.
Manusia memiliki akal budi sehingga ia mampu memberikan penggambaran makna dari susunan kata-kata yang dibentuk. Agustinus mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menandakan sesuatu, kecuali untuk mengekspresikan dan menghantarkan apa  yang ada di dalam mind kita atau mengirimkan mind tersebut kepada orang lain. Pengertian bahasa dari perspektif Agustinus ini membukakan kita pada hidup yang theistik dalam wilayah bahasa. Kedaulatan Allah memimpin kita dalam kehidupan iman dalam wilayah bahasa.

Bahasa dalam gerakan postmodernime
Bahasa menjadi salah satu fokus dari filsafat postmodernisme. Namun pemahaman bahasa dalam filsafat postmodernisme sudah jauh menyesatkan dan melawan kekristenan. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan masalah bahasa. Jacques Derrida (1930-2004), seorang ahli filsafat postmodernisme asal Perancis, mengemukakan teori dekonstruksi, setiap orang dapat memberikan makna yang berbeda terhadap makna yang ada. Dekonstruksi makna artinya setiap orang dapat memaknakan kembali makna teks yang sudah ada atau memberikan makna baru dari bahasa yang ditemukan. Filsafat dekonstruksi telah memberikan guncangan terhadap keyakinan dan iman kehidupan orang Kristen. Karena melalui dekonstruksi mana, tidak ada makna yang tetap, tidak ada kestabilan makna dalam setiap teks termasuk dalam teks dalam Alkitab.
Jean-François Lyotard (1924-1998), seorang ahli filsafat postmodernisme asal Perancis, memberikan karakteritik filsafat postmodernime, yaitu filsafat yang terfragmentasi, tidak menentu, dan ketidakpercayaan terhadap semua pandangan dunia yang bersifat universal, termasuk teks agung metanarasi dalam Alkitab. Semua pengesahan akan baik jika dibuktikan perannya dalam masyarakat dan “Knowledge is produced to be sold”.  Michel Foucault (1926-1984), seorang ahli filsafat postmodernisme asal Perancis, lebih jelas lagi menggunakan subjektivitas bahasa dalam memberikan pengertian sosial budaya dalam masyarakat. Foucault mempublikasikan bukunya Discipline and Punish untuk menjelaskan pengertian sosial dan etika dengan subyektivitas bahasa. Dalam hal pengertian kegilaan, ia mengganggap kegilaan bukanlah suatu penyakit mental namun sebenarnya merupakan komplementer dari rasio, produk dari komitmen sosial dan etika. Sedangkan marah hanyalah sakit ("mental" sakit) dan membutuhkan perawatan medis.
Dalam postmodernisme, makna bahasa tidak memiliki makna yang standar, setiap orang dapat memberikan makna yang berbeda dari kata yang ditemuinya. Setiap orang secara subjektif dapat memberikan makna yang berbeda. Dalam postmodernisme tidak ada standar absolut tentang benar atau salah. Kebenaran adalah relatif dan tidak absolut, suatu pandangan yang melawan kekristenan. Konsep kebenaran akan firman Tuhan adalah mutlak, absolut, dan kekal. Alkitab tidak dapat disejajarkan dengan apapun, tidak diragukan, tidak pernah salah, selalu benar dan  kekal.  Calvin menyebutkan Alkitab adalah kebenaran yang memiliki sifat otentik yang terdapat pada dirinya sendiri (The self-authentication Character of Bible) artinya Alkitab berarti bukan sekedar teks namun merupakan Firman Allah melalui pewahyuan orang-orangnya Tuhan, Firman Tuhan adalah the highest authority is the Word of God. Allah sendiri yang berbicara melalui hamb-hamba-Nya.
C.S. Lewis, seorang penulis dan ahli filsafat Inggris banyak menuliskan sastra kekristenan yang mampu memberikan dasar-dasar kekristenan yang doktrinal dalam keseharian kehidupan orang Kristen. Melalui tulisannya ia mampu memberikan sumbangsih yang besar terhadap kekristenan. Salah satu bukunya yang paling terkenal adalah Mere Christianity, tidak hanya tentang doktrin dalam kekristenan, kehidupan kekristenan namun juga memberikan pemikiran kritis bagi wawasan kekristenan.

Penutup:
Bahasa adalah subjek penting dalam mempelajari logika, struktur, makna, bunyi, apresiasi seni, budaya dan sosial yang harus dipelajari dengan ketat dan detail. Bahasa tidak melulu kalimat tetapi jauh dari itu bahasa menjadi pertarungan pemahaman makna, pertempuran filsafat, dan pertarungan iman. Bagi Jack Layman profesor Columbia International University[4] bahasa adalah pemikiran kritis yang sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Subjek bahasa adalah subjek yang penting tidak saja dalam kehidupan manusia dengan manusia, tetapi dalam kehidupan manusia dengan Tuhannya. Melalui bahasa Allah mengungkapkan kasih-Nya dalam kehidupan manusia. Melalui Bahasa kita memahami bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah yang berkata-kata dalam kehidupan manusia. Allah yang menyertai setiap kehidupan manusia.
Dalam pengantar dari Foundations of Christian School Education, filsafat pendidikan Kristen nampak jelas, kita harus menyatakan keyakinan iman dan nilai dan harus mengembalikan fondasi Alkitab. It is this Biblical foundation that sets the Christian school apart and makes Christian education different from other philosophies of education.


[1] Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
[2] Dalam konteks yang luas bahasa meliputi: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi adalah cabang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa menurut fungsinya. Ada dua bagian fonologi yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan. Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Cabang kedua, morfologi adalah cabang dalam linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk beluk bentuk serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik. Cabang ketiga, sintaksis adalah cabang dalam linguistik yang menempatkan kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat yang bermakna. Cabang keempat, semantik atau ilmu makna, studi tentang makna kata. Selain itu terdapat etimologi yang sudah merupakan disiplin ilmu yang sudah terbangun sejak lama, sedangkan semantik relatif merupakan hal yang baru.
[3] Buletin pillar
[4] Dalam video Filsafat Pendidikan Kristen