Musik, Himne, dan Pendidikan
Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.
Pernah suatu ketika, secara
spontanitas saya menghentikan penggunaan drum bass yang menghentak-hentak dalam
suatu pujian di tengah kebaktian staff dan karyawan di sekolah. Entah
keberanian apa yang menghinggapi saya, tapi yang jelas hal itulah yang saya
lakukan ketika itu. Tradisi pujian yang lebih banyak lagu-lagu himne adalah
bagian dari kehidupan gereja kami, resonansi itulah yang menggema juga dalam
pelayanan pendidikan di sekolah kami.
Musik dan pujian adalah aspek penting
untuk mempersiapkan hati kita bagi kebenaran Firman Tuhan. Bila mengingat
kata-kata itu, seakan hati saya berada di Crowne
Center, Pensacola Christian College
(PCC), Florida, Amerika Serikat, sewaktu saya menjadi mahasiswa graduate student disana. Kebaktian di
aula tersebut disiarkan langsung di televisi lokal merupakan kebaktian yang wajib
dihadiri oleh setiap mahasiswa disana. Di tengah megahnya aula tersebut,
kehikmatan ibadah semakin menyentuh nurani, apalagi ketika himne demi himne
dinyanyikan bersama dengan antusias dan menyentuh hati. PCC sangat serius
menangani urusan musik dan pujian. Semua pujian dalam kebaktian hanyalah himne. Paduan himne
tersebut terpadu merdu diperdengarkan dengan alat musik klasik, paduan suara,
kelompok vokal, semuanya indah, hikmat, membangkitkan spiritual, dan
membangunkan jiwa. Semua
mahasiswa dilatih untuk menaikkan pujian dengan kebiasaan menggunakan lagu-lagu
himne. Kebiasaan ini pulalah yang membekas,
memberanikan saya untuk menghentikan penggunaan drum bass pada waktu kejadian
tersebut di atas.
Ikatan kuat musik dan urusan spiritual
sudah terkait sejak dimulainya keturunan anak manusia. Alkitab dalam kitab
Kejadian menyebutkan Jubal salah satu keturunan Adam adalah orang yang menemukan
harpa dan organ, dalam suatu kesempatan John Calvin menjelaskan bahwa bakat
Jubal sebagai “Excellent Gifts of the Holy
Spirit.” Sedangkan bagi Agustinus, musik tidak terlepas dengan kekristenan.
Agustinus mendefinisikan himne sebagai “pujian yang bermakna” mengandung pujian
dari Tuhan. Jika kita memuji Tuhan tanpa lagu yang bermakna, kita tidak
memiliki himne. Bila kita memuji dan tidak ada hubungan dengan kemuliaan Tuhan,
bahkan jika kita menyanyikannya dengan keras sekalipun, kita tidak memiliki
himne. Karenanya himne memiliki tiga elemen: lagu (song) dan pujian (praise)
kepada Tuhan (God).”
Walter Savage Lander (1775 –1864),
sastrawan dan penulis Inggris pernah mengatakan bahwa musik adalah pemberian
Tuhan dan satu-satunya seni dari surga untuk diberikan kepada bumi dan satu-satunya
seni yang dapat dibawa dari bumi ke surga. “Music
is God’s gift man, the only art of heaven given to earth, and the only art of
earth we take to heaven.”[1] Dalam De Musica, Agustinus menyatakan bahwa
bagi umat Kristen musik harus melebihi kenikmatan melodi. Kenikmatan untaian
nada tidaklah bermakna sampai kita memasukkannya ke dalam aktivitas mental dan
menggunakannya ke proses kualitas jiwa menuju kemuliaan. “Sound is meaningless until we include them in our own mental activity
and use their fermenting quality to turn our soul toward everything noble,
superhuman, and ideal.”[2]
Sedangkan dalam pandangan Aristoteles, musik dapat mencerminkan karakter,
membentuk dan mempengaruhi karakter.
Musik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
hidup manusia, tak dapat dilepaskan dari Allah pencipta. Bagi orang Kristen, iman
mereka adalah nyanyian iman. DL. Moody pernah menuliskan bahwa “singing does at least as much as preachint
to impress the Word of God upon people’s mind. Ever since God first called me,
the importance of praise expressed in song has grown upon me”. Para penulis
pujian himne menunjukkan iman yang mempengaruhi kehidupan mereka. Para penulis
melantunkan pergumulan hidup mereka dalam penyertaan bersama Tuhan, sehingga
mempengaruhi musik-musik yang dihasilkan. Isaac Watt terinspirasi dalam Mazmur
98, dalam menuliskan Joy the the Lord.
Karya pujian A mighty Fortress is our God
merupakan pujian reformasi dari Martin Luther yang terinspirasi Mazmur 46.
Melalui dukungan lagu ini, gerakan reformasi semakin kuat bergema dan
gerakannya semakin meluas. George Beverly Shea menulis lagu I’d rather have Jesus terinspirasi
dengan Markus 8:36, “apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya”
Lagu Himne lahir karena pengalaman hidup bersama
Tuhan, dari syair yang dituliskan nyata benar bahwa kita dapat membaca
pergumulan dan kehidupan bermakna dari para pejuang iman. Lagu-lagu musik himne
begitu dekat dengan kitab Mazmur. Kitab Mazmur menjadi satu-satunya sumber yang
paling produktif untuk teks bagi komposisi musik Barat. Kitab Mazmur telah
menjadi pusat ibadah dan merupakan suatu antologi puisi yang dituls oleh
berbagai penulis dalam satu periode zaman yang mencakup waktu sekitar seribu
tahun, dan Daud menulis kitab Mazmur lebih dari 150 pasal Mazmur yang ada.[3]
Kata kunci dalam kitab Mazmur adalah ibadah, dan
ibadah ini disertai dengan latar musik sebagai penyembahan. Puisi merupakan
bentuk ekspresi yang paling tepat untuk melukiskan perasaan, dan intensitas
emosi akan memuncak bila ditambah dengan alunan musik yang mendukung. Kata
Mazmur berasal dari kata berbahasa Yunani psalmoi
yang berari “suara dawai kecapi” yang mengintatkan kita bahwa mazmur adalah
sesuatu yang dinyanyikan.[4]
Banyak komponis besar dilahirkan dari anak-anak
Tuhan, Johann Sebastian Bach (1685-1750) mengabdikan hidupnya untuk melayani
Tuhan, melalui musik. Karya-karya besarnya adalah musik ibadah, gubahan musik,
dan sejumlah kantata. Salah satunya Cantata 131 yang diambil dari Mazmur 130
yang mengambarkan penyesalan yang mengharukan.[5]
Kekristenan dekat dengan karya musik klasik, yang akhirnya membawa kita untuk
menghargai sejarah musik serta melihat keteladan hidup anak-anak Tuhan yang
menghasilkan karya karya klasik tersebut, walaupun beberapa diantaranya anak
Tuhan yang bersahaja. Mereka itu adalah Antonio Vivaldi (1678- 1741), Franz
Joseph Haydn (1732-1809), Wolgang A. Mozard (1756-1791), Heinrich Schutz
(1585-1672) dan Ludwig Van Beethoven (1770-1827).
Masih ingatkah dengan kisah George Frederick
Handel? seorang jenius musik yang berbakat. Pada usia 17 tahun, Handel (1685–1759) telah memegang posisi organis Katedral di Halle,
kota kelahirannya, setahun kemudian menjadi seorang pemain biola dan harpa di
Kaiser Opera House di Hamburg. Bakat dan pertunjukkan konser-konsernya membuat
ia termasyur di Eropa dan seluruh dunia. Kemasyurannya membawanya ke Inggris,
dengan berbagai pertunjukan konsernya. Namun kompetisi pertunjukkan yang semakin
ketat dan perubahan arah politik membuatnya mengalami banyak penolakan dan
kesengsaraan. Beberapa kali ia ditemukan tanpa uang sepeserpun dan berada di
ujung kebangkrutan. Masalahnya bertambah karena kesehatannya menurun. Ia
mengalami kejang dan stroke yang mengakibatkan lengan kanannya lumpuh dan
membuatnya putus asa. Akhirnya tahun 1741, Handel memutuskan untuk pensiun
usianya baru lima puluh enam tahun. Kemudian ia membuat konser terakhir
dipenuhi rasa kecewa, putus asa dan kasihan pada dirinya sendiri untuk membayar
utang yang membelitnya. Tetapi bulan
Agustus pada tahun itu, seorang sahabat yang kaya raya bernama Charles Jennings
mengunjunginya dan memberikan semangat untuk membuat syair opera berdasarkan
kehidupan Kristus. Karya tersebut menarik hati Handel sehingga menggugahnya
untuk bertindak, selama tiga minggu lebih ia menulis tanpa henti dan akhirnya
dalam waktu 24 hari ia menyelesaikan naskah 260 halaman karya yang berjudul
Messiah. Kini Messiah karya Handel dianggap sebagai karya monumental dari
seorang komposer besar. Sir Newman Flower seorang penulis biografi Handel,
mengatakan catatannya tentang oratorio Messiah, “mengingat besarnya pekerjaan
itu dan waktu yang sedemikian singkat, karya itu akan tetap menjadi, mungkin
selamanya, karya terbesar dalam sejarah penulisan musik.”[6]
Memberikan musik dan pujian terindah
bagi Tuhan merupakan bagian dari pendidikan Kristen. Beredarnya lagu-lagu
rohani adalah sesuatu anugerah untuk memuliakan Tuhan. Memperdengarkan
lagu-lagu terindah bagi Tuhan merupakan tantangan tersendiri berkaitan dengan
syair harus sesuai dan tepat dengan doktrin kebenaran Alkitab. Penggunaan musik
himne dalam sekolah Kristen adalah suatu tantangan sekaligus merupakan suatu
keputusan penting. Pendidikan Kristen harus dapat menggunakan musik himne untuk
membangun relasi dengan Tuhan, pujian yang dapat meningkatkan iman manusia,
karena pujian adalah nyanyian iman.
Masih ingatkah dengan lady Gaga,
seorang penyanyi dengan tingkah laku dan gaya yang kontroversial. Ia sempat
dicekal untuk manggung konser di Indonesia di tahun 2012. Tidak saja
kelakuannya, lirik, dan musiknya seronok, sebuah judul do what U want. Dalam lagu tersebut Gaga melantunkan lirik “So do
what U want, What U want with my body,
Do what U want, Don’t stop, Let’s party”. Ground motive lagu yang dibawakan adalah kebebasan, mengumbar nafsu
birahi dan sejenisnya. Sudah seharusnya musik dibuat untuk memotivasi, meningkatkan hal yang lebih baik, Boethius
dalam kalimat awal dari de Institutione
Musica menyebutkan musik adalah bagian dari sifat manusia, musik dapat
memiliki kekuatan untuk meningkatkan atau merendahkan karakter manusia. Dua
pandangan, Boethius dan Agustinus berbeda dalam mengaitkan nilai moral dan
spiritual yang melekat pada musik, namun terhadap keterkaitan antara musik dan
sisi moral manusia, mereka memiliki satu pandangan, keduanya menyiratkan bahwa
musik tidak bisa netral secara moral[7].
Penutup
Nada dan ritme yang terdapat dalam musik adalah
pemberian Tuhan, bunyi natur alam, hewan, tumbuhan ciptaan Tuhan menjadi
inspirasi manusia menuliskannya dalam lagu yang merdu. Martin Luther pernah menyebutkan
musik sebagai karunia dari Tuhan setelah teologi “a noble gift of God next to theology” lebih lanjut sebuah anjuran
bagi sekolah Kristen “we must teach music
in schools; a school master ought to have skill in music… neither should we
ordain young men as preacher unless they have been well exercised in music”[8].
Bagi sekolah Kristen pembelajaran musik khususnya lagu-lagu himne adalah
suatu hal penting, karena kidung pujian yang terkandung dalam himne menyertai pelayanan
amanat injil sarat dengan kekuatan jiwa, sarat dengan the story behind the song dalam penyertaannya bersama Tuhan.
Beberapa sekolah Kristen sangat menekankan penggunaan
lagu himne dan sangat selektif terhadap musik dan lagu rohani yang populer
lainnya. Mereka mengacu pada Gospel hymn yaitu pemberitaan Firman Tuhan dalam bentuk pujian, dengan
doktrin yang bersumber pada kebenaran Firman Tuhan. Sudahkah kita membangun
amanat penginjilan pelayanan di sekolah dengan dukungan pujian dan musik dalam Gospel hymn ataukah hanya membangunnya dari
musik rohani yang populer? Dalam confessions,
Agustinus pernah menyatakan kesaksiannya “How
deeply was I moved by the voices of your sweet singing Church? These voices
flowed into my ears and the truth was distilled into my heart, which overflowed
with my passionate devotion. Tears ran from my eyes and happy I was in those
tears.”[9]
[1] Foreworth J. Strantton Shufelet dalam 101
Hym stories: The Inspiring True Stories
Behind 101 Favorite Hyms, Kenneth W. Osbeck (Grand Rapids: Kregel
Publication, 1982)
[2] Paul Hidermith, A composer’s World,
(Cambrige, 1952), hlm. 5
[3] Jane Stuart Smith and Betty Carlson, Karunia Musik Para Komponis Besar dan
Pengaruh Mereka, terjemahan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2003), hlm.2
[4] ibid., hlm.3
[5] ibid., hlm 5.
[6] John C. Maxwell, Encouragement changes everything, Dorongan Semangat Mengubah Segalanya, terjemahan (Jakarta: Penerbit
Immanuel, 2011), hlm. 27-28
[7] Frank E. Gaebelein, The Pattern of God’s Truth. (Chicago, Illinois: Moody Press, 1972).
hlm 78
[8] Hugh Thomson Kerr, ed. A compend of Luther’s Theology (Philadelphia,
1943) hlm. 147
[9] Augustine, Conffessions 9.6.14