Buku PAK dan Komitmen Misi Injili
Dr. Khoe
Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.
Disampaikan pada konsultasi penulisan buku
Pendidikan Agama Kristen
Sekolah Kalam Kudus, 28 Maret 2016.
Saya
bersyukur dapat mendampingi guru-guru pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam memberikan
konsultasi penulisan buku pendidikan Agama untuk pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen di kalangan sekolah Kristen Kalam Kudus di seluruh Indonesia. Pembuatan
meliputi standar kompetensi lulusan, scope and sequence bahan yang diberikan,
termasuk memastikan sistematika dari penulisan buku Agama tersebut.
Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen (PAK) di Sekolah Kristen, serupa dengan keprihatinan di balik istilah
dan konsep PAK di sekolah. Di Inggris dan di banyak negara lain pendidikan
agama menghadapi masalah serupa yaitu berlangsungnya pendidikan agama seperti
pendidikan "etika". Pendidikan Agama[1] merupakan salah satu mata
pelajaran wajib di Inggris teramasuk Wales. Pendididikan Agama dialokasikan merujuk
pad satu jadwal waktu tertentu di sekolah di mana persoalan-persoalan iman hanya
dibahas secara komparatif. Dewasa ini, kendatipun banyak tekanan untuk menuntut
perubahan, agar tidak mengajarkan hanya sebatas etika dan komparatif, karena kekristenan
wajib mendapatkan perhatian khusus dalam kelas PA di sekolah negeri, sebagai
pijakan dasar sejarah budaya Inggris.
Banyak hal baik dapat dilakukan pada pelajaran
agama ketika tujuannya menggugah "pertanyaan yang menantang tentang arti dan
tujuan utama kehidupan, keyakinan akan Tuhan atau iman sejati, masalah benar
dan salah dan maknanya bagi manusia". Menurut John W. Taylor[2] model integrasi yang
terjadi dalam pembelajaran di sekolah Kristen masih berbentuk Fase Isolasi
(disjunctive), artinya pereduksian pembelajaran agama dilakukan dengan bentuk
slot jam pelajaran, ketika kehidupan kekristenan hanya diisolasikan
(terdegradasi) dalam bentuk jam pelajaran terpisah sama halnya dengan pelajarn lainnya.
Kehidupan iman murid dilakukan dalam bentuk pelajaran agama (“Bible classes”,
“worldview”), aktivitas ekastrakurikuler, ataupun weekend religious
function, sama dengan pelajaran lainnya.
Di sekolah-sekolah Kristen di Amerika Serikat,
komitmen menumbuhkembangkan iman dalam Christian
nurturing dan Christian Formation
terjadi pada intesifikasi Bible class
berbentuk devotion setiap hari dalam waktu yang lebih lama, dengan aktivitas
pemberitaan Firman Tuhan, doctrinal, pujian dan drilling ayat emas.
Terdapat dua keprihatinan substansial tentang Pendidikan Agama (PA) dalam perspektif iman Kristen. Pertama, kelompok besar religius sekuler seperti
British Humanist Association, yang
telah mereduksi makna kelas PAK menjadi sekadar program perbandingan agama agama
sebagai "mata pelajaran inklusif, tidak memihak, objektif, adil,
berimbang, dan relevan yang memungkinkan murid-murid mengeksplorasi berbagai
agama dan sudut pandang nonreligius". Pendekatan demikian bisa terjadi,
mengingat tidak adanya sifat komitmen iman dalam semua pengetahuan, tetapi itu
juga gagasan sekelompok pendidik sekuler akan gagasan bahwa semua posisi subjek pelajaran setara
dan memiliki kedudukan yang sama.
Sebenarnya, keprihatinan terbesar kita adalah konsep
PA yang melestarikan pandangan palsu bahwa ada beberapa kurikulum yang disusun
atas dasar agama dan kepercayaan dan sisanya tidak. “Ada pendidikan agama, dan
kurikulum selebihnya yang bukan pendidikan agama." Jika PA secara tidak
sadar menyimpan Pra anggapan sekuler dalam benak murid-murid, sesungguhnya itu
sama dengan memasukkan mereka pada pemahamah perspektif religius sekuler,
dengan demikian kita dapat memasukkan "etika" ke pelajaran tertentu tanpa
menimbulkan salah konsepsi. beberapa hal
dipengaruhi etika, tetapi banyak hal lainnya seperti sains, matematika, dan
kesusasteraan adalah netral secara etis.
Sekularisasi Kepemimpinan Pendidikan
Keadaan di mana sekularisme telah menjadi agama,
sudah mengakar di banyak sekolah negeri di seluruh dunia tidaklah terjadi secara
kebetulan. Keadaan tersebut merupakan tujuan yang disengaja oleh banyak bapak
pendidikan modern Horace Mann dan John Dewey telah memberikan sumbangsih besar dalam
pendidikan modern kontemporer di Amerika Utara, belahan lain dunia Barat, dan
sekarang merembet ke seluruh dunia. Beberapa kontribusi Mann dan Dewey, seperti
motivasi, dorongan semangat bertanya dalam pendidikan, sangatlah berharga.
Kendatipun demikian, keduanya merupakan pendiri pendidikan modern, bertentangan
dengan kekristenan dan secara sadar telah membawa anak-anak menjauh dari Tuhan,
menjauh dari perspektif dunia yang memuliakan-Nya.
Horace Mann aktif dalam pengembangan pendidikan di
Massachusetts dari tahun 7827 hingga ia meninggal pada tahun 1859. Meskipun ia
menentang keras sekolah swasta didanai pemerintah dan memperjuangkan pendidikan
yang dibiayai oleh pembayar pajak di sekolah milik pemerintah, ia tidak pernah
mengklaim bahwa sistem pendidikan pemerintah ini mengusung konsep netralitas
moral. Menurut Richard Baer (1987) dari Cornell University, Mann menulis dalam Common School Journal edisi 1 Agustus
1840, bahwa buku-buku yang menghilangkan petunjuk jelas tentang apa yang
diyakini penulis sebagai kebenaran itu benar-benar cacat. Mann mengklaim pesan yang
mengusung satu pemahaman tertentu sangat penting dalam bahan pendidikan, seperti
buku kewarganegaraan.
Masalah mendasar bagi umat Kristen adalah bahwa
kepercayaan dan nilai yang didukung Mann dalam sistem pendidikannya menanamkan kepercayaan-kepercayaan
yang bukan hanya berbeda dari pandangan dunia Kristen dan hidup Kristen, tetapi
secara mendasar bertentangan dengannya. Baer (1987) menanggapi bahwa: Horace
Mann dan para pendukung pendidikan umum lainnya bermaksud mereformasi
masyarakat dengan mengubah nilai anak-anak, Mann memiliki sedikit simpati pada
kaum Calvinis atau Katolik, dan ia bertekad untuk menggunakan semua sarana hukum-termasuk
kekuasaan negara dalam pendidikan-untuk memastikan bahwa anak-anak diajari
kebenaran seperti yang dipahaminya (Baer 1987, 39). Dalam beberapa dasawarsa
belakangan ini, John Dewey adalah filsuf pendidikan yang bahkan lebih
berpengaruh yang kepercayaan anti-Kristennya dianggap sebagai pelopor
perkembangan kurikulum.
Kita memang salah jika mengatakan Dewey tidak
berkontribusi pada pendidikan. Kasih anugerah dan berkat Tuhan, memampukan
Dewey menyadarkan banyak pendidik terhadap keunikan seorang pribadi dan rasa
ingin tahu sebagai bagian dari makna menjadi gambar dan rupa Allah. Kendatipun
demikian, sebagaimana yang akan kita lihat, prinsip-prinsip mendasar yang ia
dukung dan yang dewasa ini menjadi pusat praanggapan yang mengendalikan
pendidikan umum modern itu ternyata benar-benar sekuler, humanis, dan
anti-Tuhan.
Dewey tidak menyembunyikan intoleransinya terhadap
kekristenan. Sebagai ketua pertama American
Humanist Association, pada tahun 1933 ia menandatangani Manifesto Humanis,
yang mendeklarasikan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada tempat untuk kepercayaan
kepada apa pun di luar diri kita dengan pemikiran modern kita. Seluruh
pendekatannya terhadap pendidikan didasarkan pada kepercayaan bahwa anak, bukan
Tuhan, menjadi pusat pendidikan: “Anak adalah matahari yang menjadi pusat
perputaran semua sarana lendidikanl anak menjadi pusat penataan semua sarana
pendidikan" (Dewey 1976 (1899), 23).
Richard Riley adalah Menteri Pendidikan AS dari
tahun 1993 hingga 2001. Menurut Elliott (2072), Riley tidak menyesal menggunakan
pendidikan untuk membujuk para siswa agar berkomitmen pada sistem kepercayaan
konstruktivis non-Kristen dalam memahami dunia. "Pengetahuan hanya akan
sekadar menjadi pengetahuan jika kepemimpinan pendidikan yang bertanggung jawab
nenyatakannya sebagai pengetahuan dan dengan demikian para guru diminta untuk 'memimpin'
kaum muda menciptakan pengetahuan itu dalam diri mereka sendiri" (Elliott
2012, 5).
Richard Rorty, yang mengajar di Princeton,
Stanford, dan University of Virginia sebelum meninggal dunia pada tahun 2007, adalah
seorang posmodernisme garis keras. Ia juga menjadi tokoh terkemuka dalam
pembentukan pendidikan kontemporer. Seperti Dewey, Rorty tidak menutup-nutupi
ketidaksukaannya terhadap posisi iman yang mendukung pandangan yang jelas
tentang kebenaran, seperti Kristen Yang percaya pada Alkitab. Ia secara terbuka
menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya adalah menghilangkan perspektif
komitmen terhadap keimanan dan bekerja demi mendukung perspektif iman posmodern
dalam diri para siswa. Dalam kutipan berikut, ganti istilah
"fundamentalis" yang dipakainya dengan nama agama, seperti Kristen
atau Islam, yang percaya pada kebenaran eksternal dan Anda akan memahami
tentangan keras Rorty terhadap kekristenan dan komitmen iman dogmatisnya untuk
menyelenggarakan pengajaran dan pembelajaran di seputar iman konstruktivisme
radikal dan posmodernisasi.
Sarana komitmen iman
Tantangan yang sama dihadapkan pada sekolah Kristen
dalam Pendidikan Agama Kristen" atau kelas 'Alkitab" mereka. Perhatian
khusus diperlukan untuk memastikan bahwa perspektif dan isi materi semua
pelajaran (agama/Alkitab) mendukung dan memperkuat landasan religius setiap
mata pelajaran bukannya menurunkan mutunya sebagai pengganti yang tidak
dikehendaki atas pengakuan peran kepercayaan dalam semua bidang utama
pembelajaran dan setiap aspek kehidupan di komunitas sekolah. Sebagian karena
alasan inilah posisi Alkitab di sekolah Kristen merupakan hal penting bukan
menggantikan tetapi komitmen iman.
Pendidikan Agama Kristen di sebuah sekolah Kriten,
memegang komitmen iman dalam tujuan pendidikan Kristen, perannya semakin
penting ketika jam pelajaran yang diberikan juga berintegrasi dengan berbagai
aktivitas dan kegiatan yang memberikan spiritualisme kehidupan anak di sekolah.
Muatannya bukanlah komparasi dan pengetahuan agama, atau sekedar etika Kristen
namun penanaman iman Kristen baik doctrinal sehingga murid memahami rencana
kehidupannya dalam iman Kristen.
Referensi:
Richard J. Edlin, Hakikat Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Penabur. 2015