Literatur Sastra dan Pendidikan
Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
Pernah baca literatur klasik "God Sees the Truth, But Waits" karya
Leo Tolstoy?[1].
Cerita pendek ini mengandung pesan moral yang dikemas dengan diksi yang
menggugah, latar belakang cerita yang kuat, dan penuh dengan hal tak terduga.
Literatur ini merupakan salah satu karya sastra unggulan yang wajib dibaca oleh
setiap murid di jenjang junior and senior
high school di Amerika Serikat. Selain itu, sejumlah novel dan cerita
pendek karya Leo Tolstoy menjadi bagian dari literatur para murid disana.
Karya-karya sastra unggulan lainnya berbentuk novel dan menjadi bacaan wajib
murid-murid disana antara lain: The Scarlet
Letter karya Nathaniel Hawthorne, The
Adventures of Huckleberry Finn
karya Mark Twain, Moby Dick karya Herman
Melville, Alice in the wonderland
dari Lewis Caroll dan lain sebagainya. Buku wajib literatur di jenjang sekolah menengah
pertama di Amerika Serikat seperti Of
Places Literature adalah literatur yang berkisah tentang lingkungan rumah,
sekolah, lingkungan masyarakat, dan alam sekitar. Sedangkan buku Themes in Literature adalah tema-tema
berkaitan dengan karakter, kebenaran, kejujuran, kesetiaan, kerendah-hatian,
damai, kasih, keindahan, harapan dan keteladanan karakter lainnya. Karya-karya
besar penulis C.S. Lewis, T.S. Eliot, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, Leo
Tolstoy dan penulis besar lainnya adalah nama-nama yang akrab di telinga mereka
dalam kehidupan pembelajaran mereka.
Saya jadi teringat ketika menjadi murid di awal
tahun delapanpuluhan, pada masa itu saya sudah tidak asing lagi dengan karya
sastra klasik Indonesia seperti Layar Terkembang, Siti Nurbaya, Tak Putus Dirundung
Malang, Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan dan lain-lain.
Bacaan ini bahkan identik dengan nama-nama penulisnya Sutan Takdir Alisyahbana,
Marah Rusli, dan lain sebagainya. Tapi kini kemana literatur-literatur tersebut?
Kenalkah murid-murid masa kini dengan karya-karya sastra unggulan ini? Lalu
karya sastra apa yang mereka apresiasi kini?
Di seluruh dunia karya literatur klasik[2] menjadi
fokus utama dalam pembelajaran sastra, bukan saja dari perspektif Kristen tetapi
dalam perspektif sekuler. Didalam pandangan tersebut terdapat ukuran high level culture in high level novel,
sebab melalui karya sastra tersebut masyarakat dunia dapat mengetahui watak dan
jati diri manusia dari sebuah bangsa secara lebih transparan. Pembaca dapat
mengembangkan diri ke dalam perasaan dan batin manusia dari suatu masyarakat
secara lebih nyata, di dalamnya terdapat cita-cita, harapan, perjuangan, cinta,
iman, tanggung jawab, keberanian, kebebasan, kehormatan, hal yang tidak mudah
didapatkan dalam bacaan lain.
Di satu sisi lain derasnya arus informasi,
tumbuhnya industri novel “blog”, twitter,
media social facebook, roman teenlit, cerita berkomik seakan membantu terkikisnya karya-karya klasik
tersebut. Banyaknya pilihan literatur alternatif melepaskan murid dari kewajiban akan apresiasi karya seni yang
tinggi dalam baluran cerita indah nan sarat pesan moral. Mereka kini lebih
banyak membaca novel populer, karya postmodern yang serba relatif dan
subjektif. Mereka mendapatkan informasi, prinsip dan filsafat hidup dari akses
informasi yang didapatkan dari lingkungan dan akses dunia maya. Saya jadi
terusik bagaimana bangsa ini dapat memenangkan hadiah sastra Ramon
Magsasay, Alih-alih hadiah nobel sastra,
kalau tontonan murid masa kini adalah sinetron, akses informasi berita, copy paste laporan, gaya komunikasi “alay”, bahasa teks SMS dan seterusnya?
Mampukah murid-murid kita menghasilkan karya sastra dunia bila bacaannya hanya
remeh teme seperti itu, bacaannya bukan karya klasik yang membangunkan wawasan
sastranya? Mampukah mereka menghadirkan karya sastra tingkat dunia, bila mereka
hanya menghidupi kesehariannya dengan serentetan kata-kata tanpa makna dalam interaksi
informasi dan komunikasi diantara mereka?
Dalam perspektif Kristen, bahasa adalah anugerah
Tuhan. Allah adalah Allah yang secara aktif menyatakan diri-Nya melalui wahyu. Allah
yang menyatakan kebenaran-Nya melalui bahasa. Presuposisi kebenaran dibangun oleh
Allah yang berbicara, dengan demikian penggunaan bahasa menjadi sangat penting
karena menunjukkan Firman menunjukkan Allah
yang berbicara, Allah yang hidup, Allah yang menyatakan kasih-Nya, perintah-Nya
dan berkat-Nya dengan menggunakan bahasa untuk menyatakan firman-Nya.
Bahasa adalah media dan alat bagi Tuhan untuk
menyampaikan firman-Nya kepada umat-Nya.
Allah menggunakan bahasa sebagai menyatakan kasih-Nya dan ketika Tuhan
mengacaukan bahasa manusia satu sama lain, manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan sesamanya, kebudayaan manusia akan kacau balau dan berantakan. “…disitulah dikacaubalaukan TUHAN, bahasa
seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (Kej.
11:9). Bahasa adalah sarana Allah
menyampaikan pesan, perintah, dan berkat kepada manusia. Di sisi lain bahasa
dalam era postmodernisme digunakan sebagai tools
untuk menjadikan segala sesuatunya relatif dan subjektif. Dalam aliran
tersebut, bahasa digunakan sebagai “media” untuk merelatifkan makna yang
terdapat dalam suatu kata, ataupun meleburkan makna dari suatu kalimat.
Dalam dimensi iman
Dalam literatur klasik "God Sees the Truth, But Waits…" karya Leo Tolstoy
dikisahkan seorang terpenjara Ivan Dmitrich Aksionov sebenarnya dapat saja
memberi kesaksian tentang upaya pelarian Makar Semyonich dari penjara Siberia, suatu
upaya yang keburu ketahuan. Ivan Dmitrich sebenarnya dapat mengungkapkan rencana
dan upaya Semyonich kepada gubernur sipir penjara, sebagai upaya balas dendam
dari fitnahan dirinya yang dituduh membunuh. Pembunuhan yang sebenarnya
dilakukan Semyonich. Kesempatan terbuka yang sebesar-besarnya bagi Ivan
Dmitrich untuk membalaskan dendam perbuatan Semyonich, perbuatan yang
mengakibatkan dirinya terpenjara seumur hidup di penjara Siberia. Namun hal itu
tidak dilakukan. Pengampunan dalam diri Ivan Dmitrich Aksionov terhadap
Semyonich di akhir cerita menjadikan perspektif Kristen terpancar dari cerita
pendek ini, suatu alur cerita yang merefleksikan kasih Allah akan dunia, penebusan
dosa manusia oleh Yesus Kristus kepada manusia lebih berkesan dan mendalam.
Dalam karya lainnya dari Leo Tolstoy "How Much Land Does a Man Need?” Dikisahkan
seorang tuan tanah desa yang bernama
Pakhom, kedatangan saudara ipar yang mengajak istri dan keluarga Pakhom untuk
hidup nyaman di daerah perkotaan. Pembicaraan yang kedengaran ini membuat
Pakhom terinspirasi untuk menguasai sebanyak mungkin tanah, sampai akhirnya ia
dapat menguasai banyak tanah di berbagai tempat. Terakhir dia dapat menguasai sejumlah
tanah lainnya, penguasaan berlanjut di daerah suku Bashkirs, Pakhom mendapatkan
perjanjian dengan Bashkirs bahwa Pakhom bisa mendapatkan tanah seluas mungkin
asalkan ia mampu membuat area yang terkelilingi dengan patok batas yang
dibuatnya sampai matahari terbenam. Karena keserakahan Pakhom yang tak pernah
terpuaskan dalam penguasaan tanah, akhirnya ia kelelahan dan meninggal dunia.
Bagi Pakhom hanya sepetak tanah yang dibutuhkan untuk pemakaman bagi dirinya.
Suatu alur cerita yang merefleksikan keserakahan yang membawa petaka, suatu
cerita yang mengandung nilai kecukupan, kesederhanaan dan bukan keserakahan
yang tak pernah terpuaskan. Suatu refleksi literatur yang menanamkan nilai
kecukupan, kejujuran, kesederhanaan, kebahagiaan dan memahami rencana Tuhan
dalam hidup manusia bagi kekekalan.
Literatur Kristen harus dapat mengungkapkan
tindakan yang harus dilakukan seorang Kristen dalam kehidupannya. Literatur ini
mampu menyajikan implementasi kehidupan dari perspektif Kristen (Christian mind) dalam menghadapi
berbagai persoalan dalam kehidupannya.
Christian mind merupakan cara
berpikir Kristen sebagai keharusan dari mandat Alkitab. Literatur Kristen
sangat penting dalam upaya "integrasi” Firman Tuhan dalam pembelajaran
sastra di kelas
literatur, integrasi harus menjadi mutatis
mutandis[3] dalam setiap pembelajaran bahasa, literatur, dan sastra dalam
perspektif Kristen. Integrasi
Alkitab mengajak kita berpikir perspektif Kristen tentang
penciptaan, doktrin mengenai dosa, penebusan dalam Yesus Kristus dan memahami rencana Tuhan dalam
kehidupan manusia.[4]
Tuhan melakukan pemberitaan kasihnya melalui kejelasan bahasa, menyatakan
kebenaran melalui bahasa dalam Firman Tuhan. Setiap orang Kristen membaca,
menganalisis, dan memahami apa yang dipesankan dalam Alkitab. melalui bahasa
dan sastra.
Bisa jadi hanya sastrawan C. S. Lewis (1898-1963) saja yang dapat memberikan sumbangsih literatur-literatur
sastra, cerita esai, novelis dan apologet yang dapat mempengaruhi kekristenan
pada abad keduapuluh dalam dimensi intelektual dan dimensi iman Kristen. Time magazine dalam cover storynya
tanggal 8 September 1947 memuat cover tentang C.S. Lewis yang berjudul: “His Heresy: Christianity” karena Lewis
menyajikan kekristenan sebagai alasan intelektual.[5]
Karya-karya sastranya yang mendunia antara lain The Screwtape Letters, The Chronicles of Narnia, The Space Trilogy,
dan karya-karya apologetika Kristen antara lain Miracles dan The Problem of
Pain. Karya novel menghibur dengan tujuh kisah yang banyak diterjemahkan
dalam cerita radio, dan banyak difilmkan adalah The Chronicles of Narnia. Kisah pertamanya The Lion, the Witch and the Wardrobe adalah kisah antara kebaikan
dan kejahatan di analogikan dengan singa pemimpin Narnia yaitu Aslan yang
memenangkan pertempuran dengan ratu penyihir, karena kebesaran dan kehebatan
melampaui ratu penyihir. Pertarungan antara baik dan jahat, bahkan mempengaruhi
kehebatan pasukan Narnia walaupun Aslan yang tak tampak, ia adalah otoritas
tertinggi di negeri Narnia.
Literatur Kristen mencakup karya puisi-puisi yang
memuliakan Tuhan, berfokus pada penciptaan, penebusan, kasih Allah dan rencana
Allah nampak karya-karya puisi Hellen Keller, Edward Everett Hale, Rupert
Brooke, dan Phillips Brooks, termasuk menggunakan Firman Tuhan sebagai karya-karya
puisi seperti dalam Mazmur 107:23-30 yang menceritakan kemuliaan dan karya
Tuhan. Literatur Kristen juga menceritakan keindahan, kebenaran dan kekuatan
kasih Allah seperti yang terdapat dalam
Ibrani 11:1-6 yang menyatakan doktrin tentang iman, 1 Korintus 13 tentang kasih, Matius 1:18-25
tentang kelahiran Tuhan Yesus, Lukas
10:29-37 tentang siapakah sesama manusia itu?
Literatur Kristen juga mencakup biografi
Kristen yang mengaitkan hubungan antara kehidupan penulis dan teks yang
dihasilkan orang tersebut. Dalam literatur Kristen hal ini menyajikan
kesempatan untuk menyediakan integrasi antara apa yang terjadi dan yang tertulis. Respon dari pertanyaannya, apakah penulis
merupakan penulis Kristen dan bagaimana kekristenan terpaparkan dalam teks yang
tertulis? Murid akan menemukan hal tentang keimanan dari penulis atau sesuatu pengalaman
bersama Tuhan yang dihidupi. Biografi dari Katherine Anne Porter (1890-1980) dituliskan
dalam cerita pendek “Noon Wine” (1937). Dalam
cerita pendek tersebut Porter tidak eksplisit
menyatakan religiuisitasnya dalam hal kekristenan. Porter kurang transparan
menyampaikan pesannya bila pembaca kurang mendapatkan informasi tentang latar belakangnya. Tetapi
bagi mahasiswa yang belajar dari
tentang
Porter dan religiusitas Kristennya, kecenderungannya untuk menulis "alegori spiritual
bersama karakter dan
objek dengan
lambang isu moral yang universal,"[6] menjadikan "Noon Wine" sepertinya berpesan spiritual universal yang lebih jelas.
Penutup:
Literatur sastra dan bahasa,
dalam pendidikan Kristen haruslah berfokus pada anugerah Allah dalam kehidupan
manusia. Karya-karya tersebut haruslah memuliakan Tuhan dalam karya penciptaan,
karya keselamatan dan penggenapan dalam rencana grandstory Tuhan. Bahasa merupakan
presuposisi
kebenaran tentang penciptaan, kasih Allah yang dibangun oleh Allah yang
berbicara kepada umat-Nya. Imamat 1:1.
“TUHAN memanggil Musa dan berfirman kepadanya…” menyatakan bahwa Allah
adalah Allah yang berfirman dan berbicara melalui bahasa kebenaran. Kegunaan
bahasa dan literatur bukanlah merelatifkan kebenaran, merelatifkan Firman Tuhan
akan tetapi melalui bahasa Allah menyatakan kasih, perintah dan berkat-Nya bagi
manusia.
[1] Dapat di download dan dilihat pada situs www.online-literature.com/tolstoy
[2] Klasik artinya teruji waktu
dan kritikus, mengandung pesan moral yang “abadi”
[3] "Perubahan yang penting telah dilakukan". Istilah ini
digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan variabel yang berbeda.
[4] Richard A. Riesen, The academic Imperative: reassessment of
Christian Education’s Priorities (Colorado Springs: Purposeful design,
2010). hlm. 34
[5] David S.
Dockery and Gregory A. Thornbury, Shaping
A Christian Worldview (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman Publisher,
2002), hlm.92
[6] Shaping A Christian Worldview (Tennessee:
Broadman and Holman Publishers, 2002). hlm. 151