Senin, 19 September 2016

Literatur Sastra dan Pendidikan Kristen



Literatur Sastra dan Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
 
                Pernah baca literatur klasik "God Sees the Truth, But Waits" karya Leo Tolstoy?[1]. Cerita pendek ini mengandung pesan moral yang dikemas dengan diksi yang menggugah, latar belakang cerita yang kuat, dan penuh dengan hal tak terduga. Literatur ini merupakan salah satu karya sastra unggulan yang wajib dibaca oleh setiap murid di jenjang junior and senior high school di Amerika Serikat. Selain itu, sejumlah novel dan cerita pendek karya Leo Tolstoy menjadi bagian dari literatur para murid disana. Karya-karya sastra unggulan lainnya berbentuk novel dan menjadi bacaan wajib murid-murid disana antara lain: The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne, The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain, Moby Dick karya Herman Melville, Alice in the wonderland dari Lewis Caroll dan lain sebagainya. Buku wajib literatur di jenjang sekolah menengah pertama di Amerika Serikat seperti Of Places Literature adalah literatur yang berkisah tentang lingkungan rumah, sekolah, lingkungan masyarakat, dan alam sekitar. Sedangkan buku Themes in Literature adalah tema-tema berkaitan dengan karakter, kebenaran, kejujuran, kesetiaan, kerendah-hatian, damai, kasih, keindahan, harapan dan keteladanan karakter lainnya. Karya-karya besar penulis C.S. Lewis, T.S. Eliot, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, Leo Tolstoy dan penulis besar lainnya adalah nama-nama yang akrab di telinga mereka dalam kehidupan pembelajaran mereka.
Saya jadi teringat ketika menjadi murid di awal tahun delapanpuluhan, pada masa itu saya sudah tidak asing lagi dengan karya sastra klasik Indonesia seperti Layar Terkembang, Siti Nurbaya, Tak Putus Dirundung Malang, Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan dan lain-lain. Bacaan ini bahkan identik dengan nama-nama penulisnya Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, dan lain sebagainya. Tapi kini kemana literatur-literatur tersebut? Kenalkah murid-murid masa kini dengan karya-karya sastra unggulan ini? Lalu karya sastra apa yang mereka apresiasi kini?
Di seluruh dunia karya literatur klasik[2] menjadi fokus utama dalam pembelajaran sastra, bukan saja dari perspektif Kristen tetapi dalam perspektif sekuler. Didalam pandangan tersebut terdapat ukuran high level culture in high level novel, sebab melalui karya sastra tersebut masyarakat dunia dapat mengetahui watak dan jati diri manusia dari sebuah bangsa secara lebih transparan. Pembaca dapat mengembangkan diri ke dalam perasaan dan batin manusia dari suatu masyarakat secara lebih nyata, di dalamnya terdapat cita-cita, harapan, perjuangan, cinta, iman, tanggung jawab, keberanian, kebebasan, kehormatan, hal yang tidak mudah didapatkan dalam bacaan lain.
Di satu sisi lain derasnya arus informasi, tumbuhnya industri novel “blog”, twitter, media social facebook, roman teenlit, cerita berkomik  seakan membantu terkikisnya karya-karya klasik tersebut. Banyaknya pilihan literatur alternatif melepaskan murid  dari kewajiban akan apresiasi karya seni yang tinggi dalam baluran cerita indah nan sarat pesan moral. Mereka kini lebih banyak membaca novel populer, karya postmodern yang serba relatif dan subjektif. Mereka mendapatkan informasi, prinsip dan filsafat hidup dari akses informasi yang didapatkan dari lingkungan dan akses dunia maya. Saya jadi terusik bagaimana bangsa ini dapat memenangkan hadiah sastra Ramon Magsasay,  Alih-alih hadiah nobel sastra, kalau tontonan murid masa kini adalah sinetron, akses informasi berita, copy paste laporan, gaya komunikasi “alay”, bahasa teks SMS dan seterusnya? Mampukah murid-murid kita menghasilkan karya sastra dunia bila bacaannya hanya remeh teme seperti itu, bacaannya bukan karya klasik yang membangunkan wawasan sastranya? Mampukah mereka menghadirkan karya sastra tingkat dunia, bila mereka hanya menghidupi kesehariannya dengan serentetan kata-kata tanpa makna dalam interaksi informasi dan komunikasi diantara mereka?
Dalam perspektif Kristen, bahasa adalah anugerah Tuhan. Allah adalah Allah yang secara aktif menyatakan diri-Nya melalui wahyu. Allah yang menyatakan kebenaran-Nya melalui bahasa. Presuposisi kebenaran dibangun oleh Allah yang berbicara, dengan demikian penggunaan bahasa menjadi sangat penting karena menunjukkan  Firman menunjukkan Allah yang berbicara, Allah yang hidup, Allah yang menyatakan kasih-Nya, perintah-Nya dan berkat-Nya dengan menggunakan bahasa untuk menyatakan firman-Nya.
Bahasa adalah media dan alat bagi Tuhan untuk menyampaikan firman-Nya kepada  umat-Nya. Allah menggunakan bahasa sebagai menyatakan kasih-Nya dan ketika Tuhan mengacaukan bahasa manusia satu sama lain, manusia tidak dapat berkomunikasi dengan sesamanya, kebudayaan manusia akan kacau balau dan berantakan. “…disitulah dikacaubalaukan TUHAN, bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (Kej. 11:9).  Bahasa adalah sarana Allah menyampaikan pesan, perintah, dan berkat kepada manusia. Di sisi lain bahasa dalam era postmodernisme digunakan sebagai tools untuk menjadikan segala sesuatunya relatif dan subjektif. Dalam aliran tersebut, bahasa digunakan sebagai “media” untuk merelatifkan makna yang terdapat dalam suatu kata, ataupun meleburkan makna dari suatu kalimat.

Dalam dimensi iman
Dalam literatur klasik "God Sees the Truth, But Waits…" karya Leo Tolstoy dikisahkan seorang terpenjara Ivan Dmitrich Aksionov sebenarnya dapat saja memberi kesaksian tentang upaya pelarian Makar Semyonich dari penjara Siberia, suatu upaya yang keburu ketahuan. Ivan Dmitrich sebenarnya dapat mengungkapkan rencana dan upaya Semyonich kepada gubernur sipir penjara, sebagai upaya balas dendam dari fitnahan dirinya yang dituduh membunuh. Pembunuhan yang sebenarnya dilakukan Semyonich. Kesempatan terbuka yang sebesar-besarnya bagi Ivan Dmitrich untuk membalaskan dendam perbuatan Semyonich, perbuatan yang mengakibatkan dirinya terpenjara seumur hidup di penjara Siberia. Namun hal itu tidak dilakukan. Pengampunan dalam diri Ivan Dmitrich Aksionov terhadap Semyonich di akhir cerita menjadikan perspektif Kristen terpancar dari cerita pendek ini, suatu alur cerita yang merefleksikan kasih Allah akan dunia, penebusan dosa manusia oleh Yesus Kristus kepada manusia lebih berkesan dan mendalam.
Dalam karya lainnya dari Leo Tolstoy "How Much Land Does a Man Need?” Dikisahkan seorang tuan tanah desa yang  bernama Pakhom, kedatangan saudara ipar yang mengajak istri dan keluarga Pakhom untuk hidup nyaman di daerah perkotaan. Pembicaraan yang kedengaran ini membuat Pakhom terinspirasi untuk menguasai sebanyak mungkin tanah, sampai akhirnya ia dapat menguasai banyak tanah di berbagai tempat. Terakhir dia dapat menguasai sejumlah tanah lainnya, penguasaan berlanjut di daerah suku Bashkirs, Pakhom mendapatkan perjanjian dengan Bashkirs bahwa Pakhom bisa mendapatkan tanah seluas mungkin asalkan ia mampu membuat area yang terkelilingi dengan patok batas yang dibuatnya sampai matahari terbenam. Karena keserakahan Pakhom yang tak pernah terpuaskan dalam penguasaan tanah, akhirnya ia kelelahan dan meninggal dunia. Bagi Pakhom hanya sepetak tanah yang dibutuhkan untuk pemakaman bagi dirinya. Suatu alur cerita yang merefleksikan keserakahan yang membawa petaka, suatu cerita yang mengandung nilai kecukupan, kesederhanaan dan bukan keserakahan yang tak pernah terpuaskan. Suatu refleksi literatur yang menanamkan nilai kecukupan, kejujuran, kesederhanaan, kebahagiaan dan memahami rencana Tuhan dalam hidup manusia bagi kekekalan.
Literatur Kristen harus dapat mengungkapkan tindakan yang harus dilakukan seorang Kristen dalam kehidupannya. Literatur ini mampu menyajikan implementasi kehidupan dari perspektif Kristen (Christian mind) dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupannya. Christian mind merupakan cara berpikir Kristen sebagai keharusan dari mandat Alkitab. Literatur Kristen sangat penting dalam upaya "integrasi” Firman Tuhan dalam pembelajaran sastra di kelas literatur, integrasi harus menjadi mutatis mutandis[3] dalam setiap pembelajaran bahasa, literatur, dan sastra dalam perspektif Kristen. Integrasi Alkitab mengajak kita  berpikir perspektif Kristen tentang penciptaan, doktrin mengenai dosa, penebusan dalam Yesus Kristus dan memahami rencana Tuhan dalam kehidupan manusia.[4] Tuhan melakukan pemberitaan kasihnya melalui kejelasan bahasa, menyatakan kebenaran melalui bahasa dalam Firman Tuhan. Setiap orang Kristen membaca, menganalisis, dan memahami apa yang dipesankan dalam Alkitab. melalui bahasa dan sastra.
Bisa jadi hanya sastrawan C. S. Lewis (1898-1963) saja yang dapat memberikan sumbangsih literatur-literatur sastra, cerita esai, novelis dan apologet yang dapat mempengaruhi kekristenan pada abad keduapuluh dalam dimensi intelektual dan dimensi iman Kristen. Time magazine dalam cover storynya tanggal 8 September 1947 memuat cover tentang C.S. Lewis yang berjudul: “His Heresy: Christianity” karena Lewis menyajikan kekristenan sebagai alasan intelektual.[5] Karya-karya sastranya yang mendunia antara lain The Screwtape Letters, The Chronicles of Narnia, The Space Trilogy, dan karya-karya apologetika Kristen antara lain Miracles dan The Problem of Pain. Karya novel menghibur dengan tujuh kisah yang banyak diterjemahkan dalam cerita radio, dan banyak difilmkan adalah The Chronicles of Narnia. Kisah pertamanya The Lion, the Witch and the Wardrobe adalah kisah antara kebaikan dan kejahatan di analogikan dengan singa pemimpin Narnia yaitu Aslan yang memenangkan pertempuran dengan ratu penyihir, karena kebesaran dan kehebatan melampaui ratu penyihir. Pertarungan antara baik dan jahat, bahkan mempengaruhi kehebatan pasukan Narnia walaupun Aslan yang tak tampak, ia adalah otoritas tertinggi di negeri Narnia.
Literatur Kristen mencakup karya puisi-puisi yang memuliakan Tuhan, berfokus pada penciptaan, penebusan, kasih Allah dan rencana Allah nampak karya-karya puisi Hellen Keller, Edward Everett Hale, Rupert Brooke, dan Phillips Brooks, termasuk menggunakan Firman Tuhan sebagai karya-karya puisi seperti dalam Mazmur 107:23-30 yang menceritakan kemuliaan dan karya Tuhan. Literatur Kristen juga menceritakan keindahan, kebenaran dan kekuatan kasih Allah seperti yang terdapat dalam  Ibrani 11:1-6 yang menyatakan doktrin tentang iman,  1 Korintus 13 tentang kasih, Matius 1:18-25 tentang kelahiran  Tuhan Yesus, Lukas 10:29-37 tentang siapakah sesama manusia itu?
Literatur Kristen juga mencakup biografi Kristen yang mengaitkan hubungan antara kehidupan penulis dan teks yang dihasilkan orang tersebut. Dalam literatur Kristen hal ini menyajikan kesempatan untuk menyediakan integrasi antara apa yang terjadi dan yang tertulis.  Respon dari pertanyaannya, apakah penulis merupakan penulis Kristen dan bagaimana kekristenan terpaparkan dalam teks yang tertulis? Murid akan menemukan hal tentang keimanan dari penulis atau sesuatu pengalaman bersama Tuhan yang dihidupi. Biografi dari Katherine Anne Porter (1890-1980) dituliskan dalam cerita pendek “Noon Wine” (1937). Dalam cerita pendek tersebut Porter tidak eksplisit menyatakan religiuisitasnya dalam hal kekristenan. Porter kurang transparan menyampaikan pesannya bila pembaca kurang mendapatkan informasi tentang latar belakangnya. Tetapi bagi mahasiswa yang belajar dari tentang Porter dan religiusitas Kristennya, kecenderungannya untuk menulis "alegori spiritual bersama karakter dan objek dengan lambang isu moral yang universal,"[6] menjadikan "Noon Wine" sepertinya berpesan spiritual universal yang lebih jelas.

Penutup:
            Literatur sastra dan bahasa, dalam pendidikan Kristen haruslah berfokus pada anugerah Allah dalam kehidupan manusia. Karya-karya tersebut haruslah memuliakan Tuhan dalam karya penciptaan, karya keselamatan dan penggenapan dalam rencana grandstory Tuhan. Bahasa merupakan  presuposisi kebenaran tentang penciptaan, kasih Allah yang dibangun oleh Allah yang berbicara kepada umat-Nya. Imamat 1:1. “TUHAN memanggil Musa dan berfirman kepadanya…” menyatakan bahwa Allah adalah Allah yang berfirman dan berbicara melalui bahasa kebenaran. Kegunaan bahasa dan literatur bukanlah merelatifkan kebenaran, merelatifkan Firman Tuhan akan tetapi melalui bahasa Allah menyatakan kasih, perintah dan berkat-Nya bagi manusia.


[1] Dapat di download dan dilihat pada situs www.online-literature.com/tolstoy
[2] Klasik artinya teruji waktu dan kritikus, mengandung pesan moral yang “abadi”
[3] "Perubahan yang penting telah dilakukan". Istilah ini digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan variabel yang berbeda.
[4] Richard A. Riesen, The academic Imperative: reassessment of Christian Education’s Priorities (Colorado Springs: Purposeful design, 2010). hlm. 34
[5] David S. Dockery and Gregory A. Thornbury, Shaping A Christian Worldview (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman Publisher, 2002), hlm.92
[6] Shaping A Christian Worldview (Tennessee: Broadman and Holman Publishers, 2002). hlm. 151