Fisika dan Pendidikan
Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
Pembahasan fisika selalu memberikan
gelora antusiasme tersendiri bagi saya, barangkali karena latar belakang
pendidikan dan kesenangan saya pada ilmu yang satu ini, namun semakin hari
semakin mengarahkan kekaguman saya akan “arsitektur” realitas ciptaan Tuhan
yang sulit dimengerti. Perkembangan sains dari satu penemuan ke penemuan lain,
dari satu masa ke masa lain merupakan bagian pemeliharaan dan penyertaan Tuhan
pada manusia. Perkembangan sains mengukuhkan pada keberadaan Allah yang self existence, unchanging, infinities dan atribut-atribut lainnya yang adalah maha
sebagai pencipta langit dan bumi. Kekaguman akan ciptaan Tuhan, tidak hanya
dinyatakan orang-orang beriman, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan yang tidak mengenal
Allah, seperti ahli kosmologi Inggris, Roger Penrose (lahir 1931) “Like Everest, the Mandelbrot set is just
there and there is something absolute and God Given about Mathematical truth”
Perkembangan sains yang menarik disimak adalah
ketika munculnya pandangan heliosentris yang bergulir dari satu ilmuwan ke
ilmuwan lain. Mulai dari pandangan “revolusioner” heliosentris Copernicus, dilanjutkan
perumusan orbital planet mengelilingi matahari dari Keppler, deskripsi matematis sederhana benda-benda yang bergerak
di bumi dari Galileo Galilei. Ketiganya berpadu
dengan geometri Descartes dan Fermat telah memberi batu loncatan bagi Newton
untuk membangun deskripsi numeris dari fenomena fisika dalam ruang.
Isaac Newton (1643 – 1727) mendalilkan
hukum-hukum gravitasi semesta, tiga hukum geraknya, dan penemuan kalkulus
berdasarkan material realitas ciptaan Allah. Hukum-hukum yang dinyatakan
teratur dalam keindahan dan kesederhanaan. Perkembangan ilmu fisika pada masa
itu, masih mengandalkan pengamatan fisik dari sistem benda-benda tersebut. Sejak
saat itu proses pengamatan, pengukuran merupakan bagian pada penemuan-penemuan
fisika berkaitan dengan mekanika, muatan, listrik dan magnet, materi dan energi.
Filsafat materialisme mendasari berbagai penemuan fisika dari masa ke masa,
penemuan tersebut menggunakan indera, pengukuran dan instrumen dalam hal dimensi
dan satuan untuk mengungkapkan materi, energi, perubahan dan waktu. Pengetahuan
fisika terus berkembang dengan menggunakan asumsi awal, batasan, analogi,
hubungan seperti dalam mekanika, gas ideal, kosmologi, dan seterusnya.
Materialisme dalam fisika menyangkut materi
penyusun massa suatu benda sampai kinipun menarik disimak. Pemodelan penyusun
massa dari partikel terkecil yang disebut atom, dimulai oleh filsuf Democritus
(470 - 380 BC), ia menyatakan bahwa
materi tidak dapat secara terus menerus dipecah
sampai tak berhingga. Pada saat tertentu kita akan mendapatkan bagian terkecil
yang tak terbagi lagi yang disebut dengan “atomos”
artinya atom tak dapat dibagi lagi. Selain menunjukkan karya ciptaan Tuhan yang
sulit dipahami, pemodelan atom menunjukkan ketidakberdayaan manusia dalam
melihat karya Allah melalui indera. Permodelan ini dilakukan karena manusia
tidak dapat melihat ukuran terkecil dari materi melalui indera penglihatannya.
Tak dapat dipungkiri, penyusunan pemodelan atom, mulai dari pernyataan suatu
model ke model lainnya, mulai dari satu eksperimen ke eksperimen lainnya
merupakan anugerah, penyertaan, kedaulatan, dan pemeliharaan Tuhan.
Sejarah pemodelan atom selanjutnya dinyatakan oleh
John Dalton (1766-1844) “Keberadaan atom
seperti bola padat (bola biliar), tidak nampak dan tidak dapat berubah
bentuk”. Ilmuwan Inggris J.J. Thompson (1856-1940) mengemukakan teori Plum pudding model (model roti kismis).
Ia menyatakan bahwa atom terdiri seperti roti kismis ‘Kismis’ bermuatan negatif
(elektron) berada di atasnya roti yang positif. Pemodelan ini mengarah pada
penemuan muatan elektron dan konsep tentang isotop. Penemuan teori korpuskel
cahaya dalam bentuk diskrit berbentuk kwanta “ala” Max Planck (1858-1947),
telah membuka dunia fisika baru yaitu fisika kuantum. Max Planck telah membuka
ide tentang dualisme partikel dan gelombang, di satu sisi cahaya bersifat
sebagai partikel di satu sisi cahaya bersifat gelombang. Sifat gelombang
ditemukan dalam eksperimen double slit.
Tingkah partikel pada cahaya ditemukan dalam percobaan efek fotolistrik, efek
Compton dan panjang gelombang de Broglie. Selanjutnya Ernest Rutherford
(1871-1937) meneruskan “tongkat estafet” dari pemodelan atom ini. Ia menyatakan
bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif,
dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif. Penemuan selanjutnya
ditemukannya oleh netron yang berada dalam inti atom. Sudah pasti eksperimen, pengamatan,
dan pengukuran menyertai setiap model
yang diajukan setiap ilmuwan.
Setiap pernyataan ilmuwan menjadi percikan bagi
penemuan lainnya, sama halnya ketika ketidakpuasan atas teori Rutherford mengantarkan
Niels Bohr (1885-1962) menyampaikan teorinya. Pertama, selama elektron berada
dalam lintasan mengelilingi inti tak ada energi yang dilepaskan atau diterima,
lintasan disebut lintasan stasioner. Kedua, elektron hanya dapat berpindah dari
satu lintasan stasioner ke lintasan stasioner bila ada sejumlah energi tertentu
terlibat, besarnya sesuai dengan persamaan planck, ΔE = hf. Ketiga, lintasan
stasioner memiliki momentum sudut dan
besarnya kelipatan h/2π atau nh/2π, dengan n adalah bilangan bulat dan h
tetapan Planck.
Teori Bohr menstimulus ilmuwan lainnya seperti
Erwin Schrodinger (1887-1961) untuk mengemukan teori kuantum sebagai model
atomnya. Ia menyatakan bahwa keberadaan mendapatkan elektron di daerah ruang
sekitar inti dinyatakan dalam kebolehjadian tertentu, keberadaan mendapatkan
elektron disebut orbital. Schrodinger memecahkan suatu persamaan untuk
mendapatkan fungsi gelombang untuk menggambarkan batas kemungkinan ditemukannya
elektron dalam tiga dimensi. “musim” fisika modern di awal abad ke duapuluh
telah menggeser fisika materialisme berlanjut
pada relativisme. Sir Arthur Eddington (1882 -1944) ahli kosmologi Inggris
menyatakan bahwa fisika sudah bergeser dari daerah determisme ke
prinsip-prinsip ketidaktentuan. “A physical
object has an ontologically undetermined component that is not due to the
epistemological limitations of physicists' understanding. The Uncertainty Principle, then, would
not necessarily be due to hidden variables but to an indeterminism in nature
itself.” Werner Heisenberg (1901-1976) menyatakan bahwa tidak mungkin dapat
ditentukan kedudukan dan momentum suatu benda secara seksama pada saat
bersamaan, yang dapat ditentukan adalah kebolehjadian menemukan elektron pada
jarak tertentu dari inti atom. “On an
elementary level, the physical universe does not exist in a deterministic form,
but rather as a collection of probabilities, or possible outcomes.”
Albert
Einstein (1879 - 1955) mendalilkan teori relativitas, hubungan masa, energi, dan
kecepatan cahaya serta ruang waktu dan gravitasi[1] dimulai
dengan pemikiran-pemikiran mengenai kesimetrian dan ketidakberubahan dalam
kerangka acuannya. Simetri dan ketidakberubahan[2]
memainkan sebuah peran utama dalam perkembangan fisika modern di awal abad
kedua puluh. Perpaduannya dengan
pemodelan atom memadukan fisika modern, nuklir, dan partikel berkembang
dalam simetri dan ketidakberubahan kerangka acuan. Einstein memberikan
sumbangsih pada fisika kuantum yang menyatakan bahwa energi foton yang mengenai
suatu lempeng akan diserap sebagian untuk energi kerja dan energi kinetik dari
bagi tercungkilnya gerakan elektron dari lempeng logam. Ia semakin menyadari
penciptaan dan pemeliharaan Tuhan pada manusia. Einstein menyadari keteraturan
dari setiap pernyataan Allah dan ia mengatakan bahwa “God does not play dice with the universe.” Alkitab dalam Kolose 1:16-17 menyatakan “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di
sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik
singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu
diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia adalah terlebih dahulu dari segala
sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.
John
Polkinghorne (lahir 1930) seorang ahli teologi dan fisikawan teoritis dari
Inggris, mengatakan bahwa pemahaman kita akan dunia fisika hanya bertambah,
terbukakan lebih lagi namun kita harus mengaplikasikan worldview, kerangka teologi atau filsafat dari setiap penemuan yang
didapatkan. Polkinghorne menata pemikirannya bahwa natur dari Allah yang
membuat pengetahuan tentang alam terbentuk dan terbangun. Ia menyatakan dalam bukunya Faith of a Physicist pada kredo Nicea[3], bahwa
ia telah menemukan manfaat dalam bekerja dengan menggunakan kerangka teologi
sistematis untuk menjelaskan worldview-nya
selama ini.[4]
Dalam perspektif Kristen manusia hanyalah unfolder meaning dari kreasi ciptaan Allah, mengungkapkan keteraturan,
hukum-hukum alam realitas ciptaan Tuhan, mengartikan dalam kasih anugerah Tuhan.
Beberapa prinsip fisika dari perspektif Kristen sebagai berikut: pertama, Realitas ciptaan Tuhan
berkaitan dengan materi, energi, waktu, aturan, hukum kekekalan, dimensi
ukuran, keindahan dan hukum keteraturan ciptaan Tuhan. Kedua, fisika adalah
anugerah Tuhan yang digunakan untuk menjadi berkat bagi kehidupan manusia dan
bagi kemuliaan Tuhan. Ketiga, fisika dapat menjadi alat penatalayanan dalam kasih
anugerah Tuhan dalam menggunakan ilmu-ilmu fisika untuk mengelola ciptaan
Tuhan. C.S. Lewis dalam God in the Dock:
Essays on Theology and Ethics[5]
mengatakan bahwa “selama para ilmuwan
belum mencapai kesimpulan akhir dan teori-teori mereka dalam hubungannya dengan
fakta atau teori mereka belum selaras dengan fakta, maka kita tidak dapat
menjadikannya sebagai standar dari segala sesuatu”
Penutup:
Dalam
perspektif Kristen, fisika merupakan bagian ilmu yang mempelajari kreasi ciptaan
Tuhan. Manusia berperan membukakan makna dari ciptaan yang telah ditetapkan Allah pada saat penciptaan. Pendidikan fisika harus mampu mengajarkan murid-muridnya
pada
prinsip-prinsip pengetahuan yang menjadi akumulasi dari perintah dan hukum Allah untuk menyaksikan kedaulatan
Allah. Allah telah menetapkan dan memerintahkan manusia untuk mencari dan
menggunakan hukum alam sebagai wujud pemeliharaan manusia
dalam kehidupannya sebagai mandat budaya (Kej 1:28).
Secara umum, pendidikan Kristen
harus mengajarkan ketergantungannya pada Allah. Ilmu pengetahuan yang didapat
menunjukkan bahwa pengetahuan tidak bisa otonomi, tidak pernah netral, pengetahuan
harus dibangun dari penciptaan Tuhan,
dan harus selalu terkait dalam realitas ciptaan Tuhan.
[1]
Teori gravitasinya
tentang hubungan kelengkungan ruang-waktu dengan sumber medan yang mengisi
ruang-waktu tersebut, telah mestimulus teori bigbang.
[2] Vern S. Poythress, Menebus Sains,
pendekatan yang berpusat kepada Allah, terjemahan (Surabaya: Momentum,
2013). hlm. 361
[3] Kredo Nicea terbentuk
suatu preseden bagi konsili-konsili umum (ekumenis) para uskup (sinode-sinode)
untuk menetapkan pokok-pokok pernyataan iman dan kanon-kanon ortodoksi
doktrinal guna mewujudkan kesatuan iman bagi seluruh umat Kristiani, tahun 325
adalah tahun konsili pertama
[4] David S. Dockery, Gregory
A. Thornbury, Shaping A Christian Worldview, Nashville, (Tennessee: Broadman
and Holman Publisher, 2002), hlm 168
[5] Terbit
tahun 1970