Minggu, 03 April 2016

Fisika dan Pendidikan Kristen



Fisika dan Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed

            Pembahasan fisika selalu memberikan gelora antusiasme tersendiri bagi saya, barangkali karena latar belakang pendidikan dan kesenangan saya pada ilmu yang satu ini, namun semakin hari semakin mengarahkan kekaguman saya akan “arsitektur” realitas ciptaan Tuhan yang sulit dimengerti. Perkembangan sains dari satu penemuan ke penemuan lain, dari satu masa ke masa lain merupakan bagian pemeliharaan dan penyertaan Tuhan pada manusia. Perkembangan sains mengukuhkan pada keberadaan Allah yang self existence, unchanging, infinities dan atribut-atribut lainnya yang adalah maha sebagai pencipta langit dan bumi. Kekaguman akan ciptaan Tuhan, tidak hanya dinyatakan orang-orang beriman, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan yang tidak mengenal Allah, seperti ahli kosmologi Inggris, Roger Penrose (lahir 1931) “Like Everest, the Mandelbrot set is just there and there is something absolute and God Given about Mathematical truth”
Perkembangan sains yang menarik disimak adalah ketika munculnya pandangan heliosentris yang bergulir dari satu ilmuwan ke ilmuwan lain. Mulai dari pandangan “revolusioner” heliosentris Copernicus, dilanjutkan perumusan orbital planet mengelilingi matahari dari Keppler, deskripsi  matematis sederhana benda-benda yang bergerak di bumi dari Galileo Galilei. Ketiganya  berpadu dengan geometri Descartes dan Fermat telah memberi batu loncatan bagi Newton untuk membangun deskripsi numeris dari fenomena fisika dalam ruang.
            Isaac Newton (1643 – 1727) mendalilkan hukum-hukum gravitasi semesta, tiga hukum geraknya, dan penemuan kalkulus berdasarkan material realitas ciptaan Allah. Hukum-hukum yang dinyatakan teratur dalam keindahan dan kesederhanaan. Perkembangan ilmu fisika pada masa itu, masih mengandalkan pengamatan fisik dari sistem benda-benda tersebut. Sejak saat itu proses pengamatan, pengukuran merupakan bagian pada penemuan-penemuan fisika berkaitan dengan mekanika, muatan, listrik dan magnet, materi dan energi. Filsafat materialisme mendasari berbagai penemuan fisika dari masa ke masa, penemuan tersebut menggunakan indera, pengukuran dan instrumen dalam hal dimensi dan satuan untuk mengungkapkan materi, energi, perubahan dan waktu. Pengetahuan fisika terus berkembang dengan menggunakan asumsi awal, batasan, analogi, hubungan seperti dalam mekanika, gas ideal, kosmologi, dan seterusnya.
Materialisme dalam fisika menyangkut materi penyusun massa suatu benda sampai kinipun menarik disimak. Pemodelan penyusun massa dari partikel terkecil yang disebut atom, dimulai oleh filsuf Democritus (470 - 380  BC), ia menyatakan bahwa materi  tidak dapat secara terus menerus dipecah sampai tak berhingga. Pada saat tertentu kita akan mendapatkan bagian terkecil yang tak terbagi lagi yang disebut dengan “atomos” artinya atom tak dapat dibagi lagi. Selain menunjukkan karya ciptaan Tuhan yang sulit dipahami, pemodelan atom menunjukkan ketidakberdayaan manusia dalam melihat karya Allah melalui indera. Permodelan ini dilakukan karena manusia tidak dapat melihat ukuran terkecil dari materi melalui indera penglihatannya. Tak dapat dipungkiri, penyusunan pemodelan atom, mulai dari pernyataan suatu model ke model lainnya, mulai dari satu eksperimen ke eksperimen lainnya merupakan anugerah, penyertaan, kedaulatan, dan pemeliharaan Tuhan.
Sejarah pemodelan atom selanjutnya dinyatakan oleh John Dalton (1766-1844) “Keberadaan atom  seperti bola padat (bola biliar), tidak nampak dan tidak dapat berubah bentuk”. Ilmuwan Inggris J.J. Thompson (1856-1940) mengemukakan teori Plum pudding model (model roti kismis). Ia menyatakan bahwa atom terdiri seperti roti kismis ‘Kismis’ bermuatan negatif (elektron) berada di atasnya roti yang positif. Pemodelan ini mengarah pada penemuan muatan elektron dan konsep tentang isotop. Penemuan teori korpuskel cahaya dalam bentuk diskrit berbentuk kwanta “ala” Max Planck (1858-1947), telah membuka dunia fisika baru yaitu fisika kuantum. Max Planck telah membuka ide tentang dualisme partikel dan gelombang, di satu sisi cahaya bersifat sebagai partikel di satu sisi cahaya bersifat gelombang. Sifat gelombang ditemukan dalam eksperimen double slit. Tingkah partikel pada cahaya ditemukan dalam percobaan efek fotolistrik, efek Compton dan panjang gelombang de Broglie. Selanjutnya Ernest Rutherford (1871-1937) meneruskan “tongkat estafet” dari pemodelan atom ini. Ia menyatakan bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif. Penemuan selanjutnya ditemukannya oleh netron yang berada dalam inti atom. Sudah pasti eksperimen, pengamatan, dan pengukuran  menyertai setiap model yang diajukan setiap ilmuwan.
Setiap pernyataan ilmuwan menjadi percikan bagi penemuan lainnya, sama halnya ketika ketidakpuasan atas teori Rutherford mengantarkan Niels Bohr (1885-1962) menyampaikan teorinya. Pertama, selama elektron berada dalam lintasan mengelilingi inti tak ada energi yang dilepaskan atau diterima, lintasan disebut lintasan stasioner. Kedua, elektron hanya dapat berpindah dari satu lintasan stasioner ke lintasan stasioner bila ada sejumlah energi tertentu terlibat, besarnya sesuai dengan persamaan planck, ΔE = hf. Ketiga, lintasan stasioner  memiliki momentum sudut dan besarnya kelipatan h/2π atau nh/2π, dengan n adalah bilangan bulat dan h tetapan Planck.
Teori Bohr menstimulus ilmuwan lainnya seperti Erwin Schrodinger (1887-1961) untuk mengemukan teori kuantum sebagai model atomnya. Ia menyatakan bahwa keberadaan mendapatkan elektron di daerah ruang sekitar inti dinyatakan dalam kebolehjadian tertentu, keberadaan mendapatkan elektron disebut orbital. Schrodinger memecahkan suatu persamaan untuk mendapatkan fungsi gelombang untuk menggambarkan batas kemungkinan ditemukannya elektron dalam tiga dimensi. “musim” fisika modern di awal abad ke duapuluh telah  menggeser fisika materialisme berlanjut pada relativisme. Sir Arthur Eddington (1882 -1944) ahli kosmologi Inggris menyatakan bahwa fisika sudah bergeser dari daerah determisme ke prinsip-prinsip ketidaktentuan. “A physical object has an ontologically undetermined component that is not due to the epistemological limitations of physicists' understanding. The Uncertainty Principle, then, would not necessarily be due to hidden variables but to an indeterminism in nature itself.” Werner Heisenberg (1901-1976) menyatakan bahwa tidak mungkin dapat ditentukan kedudukan dan momentum suatu benda secara seksama pada saat bersamaan, yang dapat ditentukan adalah kebolehjadian menemukan elektron pada jarak tertentu dari inti atom. “On an elementary level, the physical universe does not exist in a deterministic form, but rather as a collection of probabilities, or possible outcomes.”
            Albert Einstein (1879 - 1955) mendalilkan teori relativitas, hubungan masa, energi, dan kecepatan cahaya serta ruang waktu dan gravitasi[1] dimulai dengan pemikiran-pemikiran mengenai kesimetrian dan ketidakberubahan dalam kerangka acuannya. Simetri dan ketidakberubahan[2] memainkan sebuah peran utama dalam perkembangan fisika modern di awal abad kedua puluh. Perpaduannya dengan  pemodelan atom memadukan fisika modern, nuklir, dan partikel berkembang dalam simetri dan ketidakberubahan kerangka acuan. Einstein memberikan sumbangsih pada fisika kuantum yang menyatakan bahwa energi foton yang mengenai suatu lempeng akan diserap sebagian untuk energi kerja dan energi kinetik dari bagi tercungkilnya gerakan elektron dari lempeng logam. Ia semakin menyadari penciptaan dan pemeliharaan Tuhan pada manusia. Einstein menyadari keteraturan dari setiap pernyataan Allah dan ia mengatakan bahwa “God does not play dice with the universe.” Alkitab dalam Kolose 1:16-17 menyatakan “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia adalah terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.
            John Polkinghorne (lahir 1930) seorang ahli teologi dan fisikawan teoritis dari Inggris, mengatakan bahwa pemahaman kita akan dunia fisika hanya bertambah, terbukakan lebih lagi namun kita harus mengaplikasikan worldview, kerangka teologi atau filsafat dari setiap penemuan yang didapatkan. Polkinghorne menata pemikirannya bahwa natur dari Allah yang membuat pengetahuan tentang alam terbentuk dan terbangun. Ia menyatakan  dalam bukunya Faith of a Physicist pada kredo Nicea[3], bahwa ia telah menemukan manfaat dalam bekerja dengan menggunakan kerangka teologi sistematis untuk menjelaskan worldview-nya selama ini.[4]
Dalam perspektif Kristen manusia hanyalah unfolder meaning dari kreasi ciptaan Allah, mengungkapkan keteraturan, hukum-hukum alam realitas ciptaan Tuhan, mengartikan dalam kasih anugerah Tuhan. Beberapa prinsip fisika dari perspektif Kristen sebagai berikut: pertama, Realitas ciptaan Tuhan berkaitan dengan materi, energi, waktu, aturan, hukum kekekalan, dimensi ukuran, keindahan dan hukum keteraturan ciptaan Tuhan. Kedua, fisika adalah anugerah Tuhan yang digunakan untuk menjadi berkat bagi kehidupan manusia dan bagi kemuliaan Tuhan. Ketiga, fisika dapat menjadi alat penatalayanan dalam kasih anugerah Tuhan dalam menggunakan ilmu-ilmu fisika untuk mengelola ciptaan Tuhan. C.S. Lewis dalam God in the Dock: Essays on Theology and Ethics[5] mengatakan bahwa selama para ilmuwan belum mencapai kesimpulan akhir dan teori-teori mereka dalam hubungannya dengan fakta atau teori mereka belum selaras dengan fakta, maka kita tidak dapat menjadikannya sebagai standar dari segala sesuatu”

Penutup:
Dalam perspektif Kristen, fisika merupakan bagian ilmu yang mempelajari kreasi ciptaan Tuhan. Manusia berperan membukakan makna dari ciptaan yang telah ditetapkan Allah pada saat penciptaan. Pendidikan fisika harus mampu mengajarkan murid-muridnya pada prinsip-prinsip pengetahuan yang menjadi akumulasi dari perintah dan hukum Allah untuk menyaksikan kedaulatan Allah. Allah telah menetapkan dan memerintahkan manusia untuk mencari dan menggunakan hukum alam sebagai wujud pemeliharaan manusia dalam kehidupannya sebagai mandat budaya (Kej 1:28).
            Secara umum, pendidikan Kristen harus mengajarkan ketergantungannya pada Allah. Ilmu pengetahuan yang didapat menunjukkan bahwa pengetahuan tidak bisa otonomi, tidak pernah netral, pengetahuan  harus dibangun dari penciptaan Tuhan, dan harus selalu terkait
dalam realitas ciptaan Tuhan.


[1] Teori gravitasinya tentang hubungan kelengkungan ruang-waktu dengan sumber medan yang mengisi ruang-waktu tersebut, telah mestimulus teori bigbang.
[2] Vern S. Poythress, Menebus Sains, pendekatan yang berpusat kepada Allah, terjemahan (Surabaya: Momentum, 2013). hlm. 361
[3] Kredo Nicea terbentuk suatu preseden bagi konsili-konsili umum (ekumenis) para uskup (sinode-sinode) untuk menetapkan pokok-pokok pernyataan iman dan kanon-kanon ortodoksi doktrinal guna mewujudkan kesatuan iman bagi seluruh umat Kristiani, tahun 325 adalah tahun konsili pertama
[4] David S. Dockery, Gregory A. Thornbury, Shaping A Christian Worldview, Nashville, (Tennessee: Broadman and Holman Publisher, 2002), hlm 168
[5] Terbit tahun 1970