Rabu, 13 Juli 2016

Kingdom education



Kingdom Education
 Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed., M.Ed.

Dalam bukunya Kingdom education, Glenn Schultz [1] menyebutkan bahwa anak-anak Kristen perlu dididik dalam pemeliharaan dan pembentukan karakter iman Kristen. Menurutnya pendidikan Kristen tidak bisa dipisahkan dari tiga pilar pendidikan yaitu keluarga, gereja, dan sekolah Kristen (peran mendidika ketiganya disebut Kingdom Education). Pemeliharaan anak dalam keluarga merupakan pendidikan yang utama bagi anak, orang tua memberikan anak pengalaman pertama dalam pendidikan karakter. Orang tua adalah model kesaksian dan gaya hidup Kristen bagi anak-anaknya. Kedua, gereja berperan dalam mengajarkan apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan dan bagaimana mengaplikasikannya dalam hidup, memelihara iman mereka dalam hidup baru, dan bagaimana seseorang seharusnya menjadi bagian dari tubuh Kristus. Sedangkan sekolah Kristen berperan dalam mengajarkan anak dalam mengembangkan bakat, minat dan talentanya melalui pembentukan akal budi Kristen (Christian mind[2]) dalam berbagai aspek kehidupan dengan berbagai berbagai disiplin ilmu.

Orang tua, pendidik utama bagi anak
Alkitab menyatakan bahwa tugas utama dalam mendidik anak terletak pada orang tua. Sejak anak dibesarkan, peran orang tua tidak dapat diabaikan dalam pemberian nutrisi, pemeliharaan, pendidikan, ataupun panutan moral bagi tumbuh kembang anaknya. Semua peran mendidik orang tua meliputi perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional dan spiritual anak.[3] Terbatasnya kemampuan orang tua dalam berbagai aspek pengetahuan mendidik anak, mengalihkan orang tua untuk menyerahkan sebagian tugas mendidik anaknya kepada sekolah. Namun Alkitab menjelaskah bahwa tanggung jawab mendidik ada pada orang tua. Sekolah adalah mitra orang tua, tempat yang diberikan dipercaya orang tua dalam peran pendidikan anaknya.
            Orang tua merupakan penganggung jawab utama pendidikan anak-anaknya. Secara spesifik, Alkitab menjelaskan pentingnya pembelajaran yang dilakukan dalam keluarga. Alkitab menyebutkan orang tua berperan dalam: memelihara anak-anak (Ul. 6:6-9, Ul 11:18-21, Ef. 6:4), mengajarkan anak-anak (Ul. 4:9, Ul 13:13), mendidik dan melatih mereka (Ams 22:6), menyediakan kebutuhan (2 Kor. 12:14), mengontrol kelakuan mereka (1 Tim 3:4), mengasihi mereka (Titus 2:4) dan mengoreksi kesalahan mereka (Ams 13:24). Alkitab dalam Ulangan 6:4-9 menyatakan tugas mendidik adalah tugas kehidupan dari umat-Nya, Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
            Ada pepatah mengatakan “seorang ayah yang mengajar lebih dari seratus guru”, pepatah ini memberikan gambaran betapa pentingnya peran orang tua dalam mengajar (Ef. 6:4). Orang tua memegang peran penting bagi pendidikan anak. Sejak dari bayi sampai memilihkan sekolah bagi anaknya. Pendidikan anak  merupakan tanggung jawab terbesar orang tua. Setiap orang tua Kristen harus menyadari bahwa mendidik anak-anak adalah pekerjaan rumah yang Tuhan berikan, kehidupannya adalah mendidik anak-anak mereka. Mazmur 127:5 mengatakan “Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.” Oswald Chambers merespon dengan kegundahan hatinya terhadap pendidikan anak terkait perkembangan spiritualitas anak. Orang tua perlu membina dan mendampingi anaknya dalam kehidupan spiritual.
Have I been able to reproduce my own kid spiritually? If so, in a time of difficulty I will be brought through magnificently victorious: but woe be to the spiritual man who has never produced his own kind, when the difficulties come there is none to assist, he is isolated and lonely[4]
Lebih lanjut Alkitab dalam 3 Yohanes 1:4, menyatakan bahwa “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.”

Sekolah Kristen, academic training dalam worldview Kristen
Dalam perspektif Kristen[5], sekolah adalah mitra orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Melihat keterbatasan orang tua dalam mendidik anak di rumah. Sekolah Kristen harus mengambil inisiatif untuk menyelaraskan prinsip pendidikan berkaitan pengembangan karakter dan pendisiplinan anak dari perspektif Kristen baik di sekolah dan di rumah. Sekolah harus mampu menjembataninya dengan pendidikan Kristen dalam setiap aspek kehidupan anak, mempelajari setiap subjek keilmuan dalam perspektif Kristen, penyelenggaraan parenting school bagi orang tua untuk menyelaraskan pendidikan dan pembinaan karakter  yang sesuai firman Tuhan baik di rumah maupun di sekolah. Sekolah Kristen berkesempatan menggunakan pertemuan orang tua murid sebagai sarana “parenting school” dengan tujuannya menjalin kebersamaan dalam mengembangkan karakter, sikap, moral, dan spiritual anak. Untuk dapat membangun hubungan tersebut Sekolah Kristen harus memiliki filsafat dan prinsip-prinsip pendidikan Kristen yang bersumber pada kebenaran Firman Tuhan.
Sekolah Kristen hadir karena respon dari panggilan Allah. Kehadirannya harus bersumber pada Allah dengan proses pembelajaran yang berpusat pada Kristus. Dr. Frank Spina, presiden dari Seatle Pacific University memublikasikan artikel pendidikan yang berjudul “What Makes It Christian?”
 “…. A Christian school is Christian if, and only if, Christian content is central to the whole undertaking. Every subject of study is to be seen from the perspective of Christianity.”[6]
            Pendidikan Kristen memang berbeda dengan pendidikan sekuler, Yohanes 15:19 menyatakan bahwaSekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” Pendidikan Kristen harus berdasarkan revelation dari sumber kebenaran, berasal dari Allah dan bukan berasal dari human inquiry manusia.[7]
Beberapa perbedaan yang menjadi prinsip penting yang membedakan tujuan dan pengelolaan pelayanan sekolah Kristen dengan sekolah sekuler, prinsip-prinsip itu antara lain:
-   Pelayanan pendidikan Kristen memimpin murid untuk mengenal Kristus sebagai sumber keselamatan, kebenaran, hikmat, dan pengetahuan. Pelayananan pendidikan haruslah merupakan elemen pembelajaran yang kondusif bagi pertumbuhan rohani. Pengenalan akan Kristus membutuhkan proses pemuridan dengan disiplin yang ketat, disiplin memberikan jaminan lingkungan belajar yang baik, pemeliharaan disiplin membangun lingkungan akademik yang baik.
-   Pelayanan pendidikan yang bertujuan mengembalikan gambar dan rupa Allah pada diri manusia yang telah rusak akibat pengaruh dosa didalam penebusan Yesus Kristus. Pendidikan Kristen mempersiapkan anak belajar untuk kehidupan masa depannya di dunia dan kehidupan bagi kekekalan. Pelayanan spiritual dalam sekolah Kristen merupakan The heartbeat of a Christian School” yang terkelola dalam ministry dan evangelism.
-   Pendidikan Kristen melengkapi anak dengan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan pengembangan karakter dari perspektif Kristen (worldview). Pengajaran akademik dalam perspektif Kristen adalah bentuk pelayanan Kristen yang efektif.
-   Pendidikan Kristen membutuhkan  kurikulum berbasis Alkitab. Perencanaan kurikulumnya terencana dan terarah agar dapat memberikan kualitas akademik yang tertata baik dan ketat.
-   Penatalayan pendidikan Kristen harus berdasarkan filsafat pendidikan Kristen, dengan pusat penatalayanan bersumber pada Tuhan Yesus Kristus yang diam diantara kita (Yoh. 1:14, 17).
-   Pengelolaan Sekolah Kristen harus bersandar pada kedaulatan Tuhan sebagai pencipta dari segala sesuatu dan segala sesuatu diciptakan bagi-Nya (Kol. 1:17).

Sekolah Kristen memberikan konteks pembelajaran academic training dalam perspektif Kristen (termasuk di dalamnya pembentukan Christian worldview) dan spiritual nurture bagi pembentukan Christian mind dalam diri anak, serta mengembangkan bakat dan minat anak. Sekolah harus menjadi landscape yang menyediakan proses penginjilan berkaitan dengan spiritual formation dan spiritual nurture. Pengajaran di sekolah Kristen harus menanamkan identitas anak-anak di dalam Kristus sedemikian rupa sehingga mereka memahami rencana hidupnya bagi Kristus. Sekolah harus menyediakan latihan dan Christian mind dalam subjek pembelajaran yang diajarkan agar terpola dalam dalam cara berpikir anak-anak di sekolah.           

Gereja, hidup mengalami Tuhan
            Sebenarnya peran sekolah Kristenpun adalah bagian dari pelayanan gereja, karena sekolah Kristen adalah perpanjangtangan dari gereja untuk menjalankan Amanat Agung. Sekolah yang didirikan merupakan bagian dari gereja untuk menyampaikan mandat injil yang dipergunakan sebagai bagian pelayanan gereja. Sekolah Kristen perlu dikembangkan dalam “ex corde ecclesiae,”[8] lahir dari hati gereja. Dalam hati gereja, sekolah Krsiten harus menjalankan peran memuridkan sebagai panggilan iman Kristen.
Peran dan tugas sekolah dengan gereja memiliki peran masing-masing dalam pelayanan dengan tanggung jawab iman[9] namun keduanya merupakan satu kesatuan dalam tubuh Kristus. Peran gereja dalam pendidikan anak menumbuhkembangan spiritualitas anak bersama Tuhan, mengembangkan hidup mengalami Tuhan dalam Perkabaran injil, Pembinaan iman,  Pengajaran doktrin Alkitab, Persekutuan, Kesaksian, Pelayanan, dan Pemuridan.
            Peran gereja dalam sekolah minggu adalah hal penting untuk mengenalkan anak pada karya keselamatan Tuhan Yesus. Peran bersama antara progam sekolah Minggu dan sekolah Kristen haruslah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, kehadirannya saling memberikan sinergi bagi perkembangan spiritualitas anak. Gereja tak boleh melepaskan pembinaan kepada sekolah dan sebaliknya sekolah Kristen melepaskan diri dari gereja. Eksistensi dari kehadiran sebuah sekolah Kristen adalah memperlengkapi dan mendukung peran gereja dalam tugas dan perannya dalam pengajaran. Francis Curran seorang guru besar sejarah pendidikan Amerika dalam the churches and the Shools mengatakan bahwa gereja tidak boleh menarik perannya dalam pendidikan, bila hal ini dilakukan, konsekuensi logisnya akan terjadi pengabaian semual pendidikan formal yang dilakukan gereja.
“If the church withdraws from one division of education, the logical consequence will be the ultimate abandonment of all formal education by the church.”[10]
Sekolah Kristen harus dapat menemukan dirinya dalam relasi yang kuat dengan  gereja dalam mencari kebenaran Alkitab. Prinsip pendidikan Kristen menjadi fondasi yang kuat dalam hubungan antara sekolah dan gereja. Banyak masalah filosofis dan praktis yang dapat terselesaikan ketika sekolah dan gereja mempunyai tujuan yang sama yaitu melakukan amanat agung seperti yang diperintahkan Tuhan.
            Gereja dan sekolah mememiliki wilayah pijakan pelayanan dan titik berat pelayanannya sendiri-sendiri. Keduanya memiliki cakupan kerja yang mirip, karena sekolah bagian dari gereja, apabila keduanya mengambil panggilan satu dengan yang lain atau saling tumpang tindih dalam pelayanannya, hal ini bukanlah masalah yang berarti. Irisan dalam pelayanan ini tak bisa dihindari karena memang keduanya tak dapat dipisahkan sebagai alat Tuhan dalam mewujudkan mandat injili yang diperintahkan Tuhan.  Lebih lanjut Derek Keenan yang menyimpulkan hubungan gereja dan sekolah yang merupakan satu tubuh dalam Kristus dalam pelatihan orang-orang muda.
“A strong school-church relationship is a wonderful opportunity for young people to see the Body of Christ, with its diversity of gifts and personalities, functioning together.”[11]

Penutup:
Kingdom education, adalah pendidikan bagi warga kerajaan Tuhan, suatu pendidikan Kristen yang akan berhasil dengan peran serta orang tua, sekolah, dan gereja. Ketiga pilar ini bersatu berpadu dalam mengembangkan spiritualitas anak, sehingga mereka mengenal jalan kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6) dalam kehidupannya. Anak berkembang dalam talenta dan potensinya serta mendedikasikan hidupnya bagi Tuhan, mereka mengenal rencana hidupnya dalam Tuhan. Orang tua adalah pendidik utama yang bertanggung jawab dalam pendidikan dan kehidupan anaknya. Sekolah Kristen mengembangkan pengembangan bakat dan minat dalam pelatihan akademik yang berkualitas dari perspektif kristiani. Gereja menuntaskan keseluruhan perannya agar anak dapat hidup bersama mengalami Tuhan Tuhan, menikmati kasih-Nya dalam keseharian hidupnya.



[1] Kingdom education, second edition (Colorado Springs: Purposeful Design, 2003)
[2] Beberapa referensi menyamakan antara Christian mind dengan Christian worldview.
[3] Menyadari pentingnya pendidikan keluarga pemerintah membentuk direktorat pendidikan keluarga melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 11 tahun 2015 Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga
[4]     Oswald Chambers, The  Complete Works of Oswald Chambers (Grand Rapids: Discovery House publisher, 2000), hlm. 537
[5]     Walaupun tidak pernah disebutkan ada kata “sekolah” di dalam  Alkitab, dan  hanyalah suatu produk budaya manusia dalam anugerah wahyu umum.
[6]     Frank Spina, “What Makes It Christian” Moody Monthly (Chicago: Moody Press, March 1993), hlm. 43
[7] J. Wilhoit, Christian Education and the search for meaning (Grand Rapids: Baker Book House, 1991), hlm. 95

[8]   Istilah yang digunakan Paus Yohanes Paulus II, ex corde ecclesiae, Aposlitic Constitution on Catholic University, 1990.
[9]   Richard A. Riesen, Piety and Philosophy, A Primer for Christian Schools (Phoenix, Arizona: ACW Press, 2002), hlm. 121-123
[10] Glenn Schultz, Kingdom education, second edition (Colorado Springs: Purposeful design, 1998), hlm. 225
[11] Derek J. Keenan, A crucial Relantionship” Christian school Education 1, no.2 (1997-98), hlm. 4

Sabtu, 02 Juli 2016

Ilmu sosial dan pendidikan Kristen



Ilmu Sosial dan Pendidikan Kristen
            Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.

Pernah dengar kisah Victor Frankl (1905 – 1997) “sang” logotherapy? Mulanya Frankl adalah warga Austria serta korban selamat dari Holocaust yang menakutkan. Dalam bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali terbit pada 1946) Frankl mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi dan menguraikan metode psikoterapisnya untuk mencari makna dalam segala bentuk keberadaannya. Ia menggunakan kode-kode bunyi di tengah keterasingan dan kekejian kamp tawanan yang kejam. Frank memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup dan selamat dari Holocaust, namun istri beserta kedua orangtuanya dibunuh di kamp konsentrasi. Di antara saudara-saudara dekatnya, hanya saudara perempuannya yang telah bermigrasi ke Australia, yang selamat. Trauma penderitaannya Frankl (bersama penderitaan banyak orang lainnya) di kamp-kamp konsentrasi, memberikan kesimpulan bahwa dalam situasi yang paling absurd, penyiksaan, aniaya, dan dehumanisasi sekalipun, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaan pun dapat bermakna.
 Frankl dalam karyanya mengemukakan bahwa hal yang paling berarti adalah nilai, dan makna kehidupan. Dalam kamp penyiksaannya ia belajar bahwa ”manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasannya. Kebebasan manusia adalah hal yang mendasar. Kebebasan itu adalah kebebasan memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap lingkungan, kebebasan memilih untuk diri kita sendiri.” “When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves.” Manusia dapat bebas menentukan eksistensi terakhirnya yaitu kebebasan spiritual. Ketika Frankl kembali dari kamp konsentrasi ke kota Wina, ia menjadi psikiater dan neurolog di universitas. Frankl merangkum karyanya akan pentingnya kemauan bagi makna eksistensi manusia dalam suatu sistem yang dikenal dengan logotherapy. Frankl berkesimpulan bahwa bahkan dalam situasi yang paling menakutkan, penyiksaan mendera, dan dehumanisasi, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaanpun dapat bermakna. Kesimpulannya ini kelak menjadi dasar yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, logotherapy. Dalam realiasinya kehidupan yang bermakna dapat diperoleh dengan menerapkan nilai hidup tentang kehidupan dengan nilai kreatif (creativity value), kehidudpan dengan nilai penghayatan (experiental value), dan kehidupan dengan nilai bersikap (attitudinal value).
Menurut teori ini eksistensi manusia ditandai oleh kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility). Kehidupan manusia yang bermakna berlangsung dalam relasi penting antar manusia, sesuatu yang menjadi dasar pemikiran dan pengalamanan dihidupi oleh Vicktor Frankl. Relasi sosial antar manusia menjadi kebermaknaan dalam kehidupan manusia. Sejak manusia diciptakan oleh Allah, manusia adalah mahkluk sosial. Alkitab dalam Kejadian  2 : 18, menyebutkan bahwa “Tuhan Allah berfirman ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.  Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan  dengan dia’  Firman Tuhan memperlihatkan bahwa manusia memiliki relasi dengan Allah, kepada dirinya sendiri, kepada orang lain dan kepada semua ciptaan.  Hal ini sering kali menyimpang dari sosok manusia yang telah jatuh ke dalam dosa pada zaman sekarang ini, manusia selalu menyajikan suatu hubungan yang berpusat kepada keuntungan diri sendiri.  Hubungan dengan alam lingkungannya yang cenderung mengekploitasi (bukan memelihara), hubungan dengan dengan manusia lain cenderung bermotivasikan merugikan manusia lainnya (bukan suatu hubungan yang murni) dan seringkali orang memisahkan diri dari siapapun atau dalam hal apapun (individualistis). 
Manusia yang sudah ditebus dalam kasih anugerah Tuhan, memiliki tugas dan panggilan untuk dapat mengembalikan arah budaya yang menyimpang kembali kepada kepada proses pembudayaan yang berpusat kepada Allah dan untuk kemuliaan Allah.
Mandat budaya yang harus dijalankan manusia tidak hanya mencakup bagaimana manusia mengelola alam lingkungannya (yang berupa fisik) tetapi juga mencakup hal-hal yang non fisik dalam hal ini antara lain adalah kebudayaan yang didalamnya mencakup ide pengetahuan (mentifact), adat istiadat (sosial fact) serta benda-benda yang dihasilkan untuk mendukung kehidupan manusia (artefact). Proses pembudayaan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai mahluk sosial yang telah Tuhan tetapkan. 
            Istilah sosiologi berasal dari bahasa latin, yaitu sosius dan logos yang berarti ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini masyarakat merupakan kumpulan dari individu yang di dalamnya terdapat keterkaitan, hubungan, kepentingan bersama, dan budaya. Sebagai ilmu pengetahuan sosiologi adalah ilmu tentang kemasyarakatan yang tersusun atas hasil pemikiran ilmiah yang dilakukan secara kritis, baik untuk orang lain ataupun masyarakat umum lainnya. Ilmu sosial bermula di Eropa,  Auguste Comte[1] (1798 -1859) seorang ahli filsafat Perancis beraliran positivisme[2] menjadikan sosiologi statis dan dinamis dengan perbedaan mendasar diantara keduanya.  Beberapa karakteristik ilmu sosial antara lain nonetis yaitu pembahasan dengan penjelasan masalah yang mendalam, kumulatif yaitu memperlengkapi dan memperkuat teori yang sudah ada, teoritis yaitu menyusun abstraksi dari hasil observasi yang nyata di lapangan, dan observasi artinya sosiologi berjalan sesuai dengan observasi praktik lapangan, pemikiran dan logika akal sehat. Ada empat tokoh sosialis yang sangat berpengaruh di dunia antara lain Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), Max Webber (1864-1920) dan Karl Marx (1818 - 1883).
Pemikiran Herbert Spencer sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Spencer mengemukakan evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat untuk waktu yang lama, awalnya dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana  dan homogen, kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju, selanjutnya menjadi masyarakat modern yang kompleks. Emile Durkheim berpendapat bahwa kehidupan sosial individu dalam masyarakat tergantung dari fakta sosial, yaitu fakta yang sifatnya mengikat, mempengaruhi keputusan individu, komunitas, dan masyarakat. Sedangkan Max Webber berpendapat bahwa kehidupan sosial individu tergantung dari tindakan sosial, yaitu tindakan yang berimbas pada perilaku kehidupan masyarakat. Pandangan sosiologi Karl Marx sangat dipengaruhi filsafat “konflik” Hegel dan materialisme masa itu. Penekanan metafisika dalam pandangan Marx adalah materi dan menolak keberadaan Tuhan. Sedangkan pembelajaran Sosiologi dalam perspektif Kristen harus dimulai dari pengakuan akan Allah menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya.
Kesetaraan adalah kata kunci dalam hubungan sosial manusia dengan manusia lainnya, kesetaraan hubungan manusia pertama dengan penolongnya, kesetaraan antara Adam dan Hawa perempuan penolong baginya. Kesetaraan hubungan antar manusia atas perintah Tuhan untuk saling mengasihi sesama manusia (Mat. 22:39), perintah ini menjadi salah satu dasar pembelajaran sosiologi dalam perspektif Kristen. Pada dasarnya sosiologi  dalam perspektif Kristen meliputi empat topik pembahasan. Pertama,  struktur keluarga dalam proses sosial berdasarkan pada mandat budaya yang ditetapkan dengan Allah, suatu perintah dan tuntutan yang harus dipatuhi dengan sikap ketaatan mutlak untuk membangun peradaban manusia. Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1 : 26-28).
Kedua, struktur sosial masyarakat dalam hubungan suami istri berada dalam kesetaraan dalam struktur normatif yang telah ditetapkan Allah. Firman Tuhan menegaskan suami adalah kepala keluarga menjadi dasar hubungan sosial antar masyarakat. “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5 :22-27).  
Ketiga, perubahan sosial yang didasarkan pada hidup baru  dalam Kristus “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” (1 Pet. 2: 11). Orang Kristen yang lahir baru adalah milik Allah sendiri dan ia berada diantara orang-orang di dunia ini sehingga menjadi orang asing. Orang beriman kini hidup dalam negeri yang bukan menjadi miliknya, dan kewarganegaraan orang beriman adalah bersama Kristus di sorga. Orang beriman harus mengembangkan cara berpikir Christian mind, yaitu akal budi manusia yang memandang dunia seperti Kristus memandang dunia[3]. Mereka harus memberikan pengaruh dan perubahan bagi dunia tempat tinggalnya sekarang.
 Dan keempat, tipe lembaga sosial yang didasarkan pada kesetaraan dan kedaulatan dalam setiap struktur lembaga dalam pemerintahan yang didasarkan pada keteraturan dan ketaatan pada struktur pemerintahan yang telah ditetapkan oleh Allah “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1 Pet.  2:13-14).
Pendidik Kristen harus memberikan pengaruh atas berbagai gejala sosial dalam kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Kehadirannya harus menjadi syalom dan memberikan warna kekristenan dalam gejala sosial yang tidak sesuai dengan kekristenan. Pendidik Kristen harus mengajarkan murid-muridnya akan berbagai dosa yang menjadi penyakit dalam  masyarakat. Mereka harus mempunyai sikap tegas dalam berbagai gejala sosial seperti perkawinan sejenis, aborsi. perjudian, prostitusi, kepemilikan senjata api dan lain sebagainya. Dan inilah tugas dan panggilan sekolah Kristen dalam menyuarakan sikap dan tindakan dalam hubungan kemasyarakatan. Panggilan yang juga memberitakan kabar baik dan suka cita tentang injil dalam masyarakat.

Penutup
Ilmu sosial dalam perspektif Kristen merupakan pengetahuan tentang hubungan dan peran seorang Kristen dalam masyarakat, mereka memiliki pandangan-pandangan kekristenan dalam masyarakat. Pembelajaran sosiologi dalam perpektif Kristen, merupakan runtutan hubungan antara manusia dalam waktu Allah, dalam grandstory Allah. Pemahaman ini akan memberikan bekal bagi murid-murid Kristen untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama, dalam setiap relasi ada kebersamaan Tuhan didalamnya hubungan tersebut. Sekolah harus membentuk Christian mind dalam setiap muridnya. Orang Kristen harus menjadi teladan dalam menjalin relasi antar keluarga, gereja, masyarakat, hirarki lembaga pemerintahan, dan negara.


[1] Bapak sosiologi modern
[2] Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita, bukan dalam angan-angan (impian)
[3] John Bolt. The Christian Story and The Christian School (Grand Rapids, Michigan: Christian School International, 1993), hlm. 135