Minggu, 01 November 2015

Terjebak Pragmatis



Terjebak Pragmatis
Dr. Khoe Yao Tung MSc.Ed., M.Ed

           
            Dalam rapat kurikulum yang rutin saya hadiri, saya sering terlibat dalam bahasan berulang untuk mengatasi banyaknya murid yang mengikuti remedial teaching untuk mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Diskusi berlanjut pada terbatasnya ruang kelas dan waktu tersedia dalam memberikan remedial teaching bagi ketuntasan pembelajaran tersebut. Remedial tersebut dilakukan pada jam selepas pulang sekolah. Sebenarnya ketidaktuntasan tersebut haruslah menjawab akar permasalahannya, bagaimana proses pembelajarannya selama ini, bagaimana dengan soal yang diberikan, bagaimana validitas, reliabilitas, dan faktor pembeda ulangan yang diberikan guru terhadap murid-muridnya, bagaimana kesiapan murid, apakah ulangan yang diberikan sudah menjadi evaluasi untuk mengukur efektivitas pembelajaran, apakah ulangan sudah merefleksikan materi yang sudah diberikan pada murid-muridnya. Ulangan adalah menguji penguasaan materi dari proses pembelajaran, apa yang diberikan itulah yang diujikan, apakah ulangan sudah bercermin pada penguasaan kompetensi murid berdasar dari apa yang sudah diajarkan?
            Diskusi lebih lanjut berusaha untuk mengatasi dengan jalan pintas, hanya memberikan ulangan remedial (ulangan “her”) tanpa ada proses remedial teaching, lebih parah lagi ketika ada seseorang mengusulkan untuk menggantikan remedial (baik pengajaran dan ulangan) dengan tugas tambahan. Tugas tambahan diberikan bagi anak-anak yang tidak memenuhi KKM. Saya berpendapat alur berpikirnya seolah kreatif “out of the box” namun tidak sesuai dengan konteks, sesat! Mengapa? ide dari remedial teaching sebenarnya mengulang pembelajaran agar murid memiliki kompetensi minimal yang seharusnya dimiliki oleh seorang murid agar sesuai dengan kompetensi dasar dan kompetensi inti. Sedangkan tugas tambahan belum tentu mencerminkan murid yang dibawah KKM akan memiliki kompetensi yang seharusnya ia miliki. Belum lagi kalau tugas itu hanya dinilai dari syarat keberadaan, syarat kelengkapan semata (tidak diperiksa guru yang bersangkutan). Bagaimana kalau tugas tambahan itu justru dilakukan oleh orang lain yang membatunya. Konteksnya beda. Kita harus kembalikan lagi ke inti masalahnya, bagaimana proses pembelajaran dan kompetensi yang sudah berlangsung selama ini?
            Saya jadi teringat, instrumen keberhasilan yang disusun di sekolah lebih banyak berdasarkan pada nilai akhir saja. Saya pernah menyatakan keberatan atas indikator keberhasilan pembelajaran yang hanya berdasarkan dari banyaknya anak yang nilainya pada batas atau di atas ketuntasan minimal sebagai indikator keberhasilan pembelajaran. Terlebih lagi ketuntasan minimal yang hanya berpatokan pada nilai ulangan, padahal banyak diantaranya yang tuntas karena ulangan remedial. Saya mempertanyakan bagaimana efektivitas proses pembelajarannya selama ini? pada dasarnya esensi dari ketuntasan dalam kriteria minimal  adalah menilai proses pembelajaran yang efektif.

Praksis pragmatis
            Suatu ketika, di lain kesempatan saya pernah didesak oleh argumentasi para pimpinan sekolah dengan trend sekolah masa yang sudah tidak menggunakan PR (Pekerjaan Rumah) di rumah lagi. Semua tugas dan “pekerjaan rumah” sudah seharusnya dikerjakan di sekolah, semuanya harus tuntas dikerjakan disekolah. Benarkah demikian? Pragmatis bukan? Sebenarnya PR yang dikerjakan di rumah merupakan bagian dari proses pembelajaran agar anak memahami apa yang dijelaskan di sekolah, tentu saja membuat anak bertanggung jawab sebagai seorang murid, melatih mereka belajar mandiri dan membuat mereka mengulang pelajaran yang didapatnya di rumah. Tugas dan pekerjaan rumah seharusnya dikemas guru sedemikian rupa sehingga menarik untuk dikerjakan. Keberatan terhadap tugas di rumah seringkali bermula dari tidak bertanggungjawabnya seorang guru membebankan  tugas yang diberikan, banyaknya soal yang diberikan, soal yang kurang menantang atau soal yang terlalu sulit tanpa pernah guru membahasnya dalam contoh soal selama proses pembelajaran. Akibatnya  tugas tidak memberi manfaat sama sekali.
            Saya mendukung penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran, namun konsepsi dalam penggunaan teknologi tersebut berguna untuk mendukung, memfasilitasi dan memanajemeni pembelajaran dalam kelas. Keberadaannya bukanlah mengganti peran seorang guru di dalam kelas. Keberadaannya sebagai pendukung media alat pembelajaran dan bukan menggantikan keberadaan seorang guru. Seorang guru harus mempersiapkan bahan-bahan yang sebagai perangkat belajar dalam teknologi informasi tersebut. Guru bukanlah bersahaja, tidak belajar meningkatkan diri dengan hanya membiarkan video atau perangkat lunak pembelajaran yang sudah ada yang bekerja untuknya di dalam kelas. Guru Kristen adalah guru yang berotoritas, ia mengajarkan keteladanan dalam tingkat laku terutama keteladanan dalam kebenaran, iman dan menunjukkan jalan kebenaran.
            Pragmatisme juga merambah sekolah ketika mereka mengadopsi surat edaran, surat keputusan, peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan dari dinas pendidikan kotamadya. Pengawas sekolah yang berasal dari dinas pendidikan setiap bulan datang mengunjungi sekolah. Pengawas sekolah tersebut seharusnya memberikan masukan dan arahan bagi perkembangan sekolah, bertindak seperti  layaknya seorang pemilik sekolah. Mereka datang hanya datang untuk memaksakan peraturan yang bukan pada konteksnya, dan tidak sesuai untuk sekolah swasta ataupun sekolah Kristen. Kepala sekolah seolah terpaksa dan terdesak dengan peraturan tersebut tanpa daya, tanpa pernah memperhatikan filsafat pendidikan yang melatarbelakangi produk hukum pendidikan tersebut. Sekolah tanpa daya dan menerima kebijakan hanya karena intimidasi pengawas sekolah. Tak jarang keputusan operasional dari produk hukum tersebut tidak disertai petunjuk teknis yang konsisten dari tahun ke tahun.
            Pragmatisme juga berupa praksis meniru pola pembelajaran yang tidak sesuai dengan filsafat pendidik Kristen, mereka meniru langsung metode pembelajaran tanpa kajian pada prinsip, konsep, filsafat dan sarana prasarana penunjang lainnya agar adopsi dari pola pembelajaran tersebut dapat berlangsung dengan baik. Sebagai contoh saya pernah didesak agar menggunakan pola pembelajaran “moving class”. Bagi saya, harus ada konsep yang melatarbelakangi moving class tersebut. Padahal kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional untuk kelas tradisional, guru yang berpindah mengunjungi kelas. Untuk dapat melaksanakan “moving class”, dibutuhkan sarana Locker agar murid tidak terbeban berat bila harus pindah dari satu kelas ke kelas berikutnya. Bukan itu saja sudah seharusnya kelas di setting dalam subyek pelajaran yaitu dengan demonstrasi alat, peralatan, Visual tokoh keilmuan, pajangan media belajar, bentuk susunan kelas, bahan dan prasarana kelas. Sifatnya pun harus split kelas dengan murid yang berbeda sesuai dengan bakat minatnya agar tidak terkesan “bedol kelas”, “pusing kelas” yang menghabiskan waktu perjalanan murid dari satu kelas ke kelas berikutnya dan justru semakin memudahkan guru, karena hanya “nongkrong” di kelas tersebut. Keadaannya bukan sekedar adopsi, tetapi bagaimana budaya belajar dalam moving class akan dibangun?, bagaimana tanggungjawab murid dan guru dalam tanngung jawab dan kebersamaan mengadakan pembelajaran jenis ini, karena biar bagaimanapun kurikulum nasional bukanlah kurikulum yang digunakan untuk “moving class”. Suatu pragmatisme yang memudahkan persoalan bila praksis ini di praktikan tanpa pertimbangan yang matang.
           
Pragmatisme dan sekolah Kristen
            Pragmatisme sudah merasuk dunia pendidikan, keberhasilan pembelajaran hanyalah melihat hasil akhir. Menuntaskan pembelajaran bagi murid yang harus mengulang  dilakukan dengan ide pemberian tugas, adalah hal yang pragmatis. Ide meniadakan pekerjaan rumah atau penugasan hanya karena permintaan orangtua atau usulan guru, adalah hal yang tidak berdasar, dan bersifat pragmatis. Bagi kaum pragmatisme, sesuatu menjadi  benar bila mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang “benar” adalah apa yang memberikan kegunaan praktis bagi indivisu yang mengetahuinya. Mereka tidak mempercayai adanya kebenaran obyektif, yang menyebakan subyektifitas radikal. Istilah Pragmatisme sering juga disebut dengan ekperimentalisme atau instrumentalisme atau fungsionalisme. Sebenarnya ada yang memandang pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat, tetapi lebih merupakan sebuah teori, selera dalam kriteria menentukan suatu kebenaran.[1]
            Aspek metafisika pragmatisme merujuk pada suatu proses dalam pengalaman praktis, subyektivitas dan dapat berguna dalam keseharaian. Realitas yang terjadi berbentuk transaksional dan berubah-rubah tergantung situasi dan kondisi yang ada. Epistemologi pragmatisme menyatakan kebenaran bersifat relatif dan ditentukan dengan metode ilmiah dari kegunaan dari sesuatu, tidak ada kebenaran yang mutlak, “whatever is useful and valid is truth.” Aksiologi pragmatisme menggunakan perangkat etis dan moral ditentukan kegunaannya, bersifat  relatif dan situasional.
            Pemikir aliran filsafat pragmatisme di pelopori oleh William James, C. S. Peirce, dan John Dewey[2]. William James (1842-1910) adalah tokoh pragmatisme yang paling dominan yang merupakan ahli filsafat dari Harvard University. James menyatakan bahwa pengetahuan adalah pengetahuan yang transaksional dan bersumber dari pengalaman murni seseorang. Pengalaman murni adalah perubahan-perubahan yang terus dari kehidupan manusia dan akan menjadi bahan refleksi manusia pada  selanjutnya, “reality is the sum total of what we experienced” Pengetahuan terkait dengan pengalaman seseorang dengan dunia lingkungannya. James menolak adanya kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, dan bersifat tetap serta berdiri sendiri. Menurut James kebenaran selalu berubah dan diperbaharui oleh pengalaman yang dialami seseorang.
            Sedangkan C.S. Peirce (1839-1914) merupakan salah satu murid dari William James. Dia memberikan aksentuasi pragmatisme dalam relativisme dan kontribusi pragmatisme  berbentuk a priori truth.  Dia adalah pendiri pragmatisme Amerika (dijuluki: Peirce "pragmaticism" untuk membedakan pandangan-pandangannya dari orang lain yang berlabel "pragmatisme" lainnya). Peirce adalah seorang ahli teori logika, bahasa, komunikasi, dan teori umum tanda-tanda ("semiotic").
            John Dewey (1859 – 1952) filsuf dan pemikir Amerika banyak memberi pengaruh dalam pendidikan modern masa kini. Dewey memegang estafet pragmatism dan menjadi pelopor dari teori progresivisme. Dewey dalam posisi lainnya beraliran pragmatisme, instrumentalisme, fungsionalisme, dan eksperimentalisme.[3] Dalam bukunya How We Think (1910) Dewey mengunakan metode epistemologis pragmatis, pencarian pengetahuan dari interaksi dan pengalaman. Murid belajar dari menyikapi lingkungan dan gilirannya disikapi oleh lingkungan mereka saat mereka menjalani akibat dari tindakan mereka.
            Pendapat dari tokoh-tokoh pendidikan beraliran pragmatis jelas bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. murid-murid  pendidikan Kristen harus dibentuk memahami kebenaran Firman Tuhan, mereka belajar dari  rencana Tuhan dalam kehidupan mereka. Mereka belajar tidak melulu dengan pengalaman tetapi ketergantungan bersama Tuhan. Pendidikan pragmatisme tidak menyentuh murid sebagai makluk eternal, makluk ciptaan Tuhan, yang sudah jatuh ke dalam dosa dan  yang harus diperdamaikan dalam kasih Allah. Pendidikan karakter dalam perspektif pragmatisme tidak membutuhkan disiplin, ketaatan dan keteraturan. Pendidikan berkaitan dengan “karakter”, hanya sebatas modifikasi perilaku. Pendidikan dalam pragmatisme lebih memberi peluang pada akuisisi pengetahuan melalui proses pengalaman semata, pengetahuan akan adalah sesuatu yang dapat digunakan.

Penutup
            Prinsip dan praksis pembelajaran di dalam kelas haruslah bercermin pada kehendak Tuhan, karena Sekolah Kristen adalah sekolah yang misioner, sekolah yang memiliki misi, visi, dan tujuan kekristenan. Sekolah Kristen adalah institusi yang berdasarkan pada kebenaran Firman Tuhan. Pendidikan Kristen harus memiliki pengakuan akan kedaulatan Allah, melihat natur manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan, melihat manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Pendidikan Kristen adalah proses pemuridan dalam kebersamaan dan keberadaan Tuhan di dalam Kelas.







[1] Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen Di tengah tantangan Filsafat dunia dalam praksis pendidikan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), hlm. 89
[2]  Ibid., hlm. 90-93
[3]   Greene, Albert E., Reclaiming the  future of Christian education (Colorado Springs: Purposeful Design publication, 1995), p.16.