Terjebak Pragmatis
Dr. Khoe Yao Tung MSc.Ed., M.Ed
Dalam rapat kurikulum yang rutin saya hadiri,
saya sering terlibat dalam bahasan berulang untuk mengatasi banyaknya murid yang
mengikuti remedial teaching untuk
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Diskusi berlanjut pada terbatasnya
ruang kelas dan waktu tersedia dalam memberikan remedial teaching bagi ketuntasan pembelajaran tersebut. Remedial
tersebut dilakukan pada jam selepas pulang sekolah. Sebenarnya ketidaktuntasan
tersebut haruslah menjawab akar permasalahannya, bagaimana proses
pembelajarannya selama ini, bagaimana dengan soal yang diberikan, bagaimana
validitas, reliabilitas, dan faktor pembeda ulangan yang diberikan guru
terhadap murid-muridnya, bagaimana kesiapan murid, apakah ulangan yang
diberikan sudah menjadi evaluasi untuk mengukur efektivitas pembelajaran,
apakah ulangan sudah merefleksikan materi yang sudah diberikan pada
murid-muridnya. Ulangan adalah menguji penguasaan materi dari proses
pembelajaran, apa yang diberikan itulah yang diujikan, apakah ulangan sudah
bercermin pada penguasaan kompetensi murid berdasar dari apa yang sudah diajarkan?
Diskusi
lebih lanjut berusaha untuk mengatasi dengan jalan pintas, hanya memberikan
ulangan remedial (ulangan “her”)
tanpa ada proses remedial teaching,
lebih parah lagi ketika ada seseorang mengusulkan untuk menggantikan remedial
(baik pengajaran dan ulangan) dengan tugas tambahan. Tugas tambahan diberikan
bagi anak-anak yang tidak memenuhi KKM. Saya berpendapat alur berpikirnya
seolah kreatif “out of the box” namun
tidak sesuai dengan konteks, sesat! Mengapa? ide dari remedial teaching sebenarnya mengulang pembelajaran agar murid
memiliki kompetensi minimal yang seharusnya dimiliki oleh seorang murid agar
sesuai dengan kompetensi dasar dan kompetensi inti. Sedangkan tugas tambahan
belum tentu mencerminkan murid yang dibawah KKM akan memiliki kompetensi yang
seharusnya ia miliki. Belum lagi kalau tugas itu hanya dinilai dari syarat
keberadaan, syarat kelengkapan semata (tidak diperiksa guru yang bersangkutan).
Bagaimana kalau tugas tambahan itu justru dilakukan oleh orang lain yang
membatunya. Konteksnya beda. Kita harus kembalikan lagi ke inti masalahnya,
bagaimana proses pembelajaran dan kompetensi yang sudah berlangsung selama ini?
Saya
jadi teringat, instrumen keberhasilan yang disusun di sekolah lebih banyak berdasarkan
pada nilai akhir saja. Saya pernah menyatakan keberatan atas indikator
keberhasilan pembelajaran yang hanya berdasarkan dari banyaknya anak yang nilainya
pada batas atau di atas ketuntasan minimal sebagai indikator keberhasilan
pembelajaran. Terlebih lagi ketuntasan minimal yang hanya berpatokan pada nilai
ulangan, padahal banyak diantaranya yang tuntas karena ulangan remedial. Saya
mempertanyakan bagaimana efektivitas proses pembelajarannya selama ini? pada
dasarnya esensi dari ketuntasan dalam kriteria minimal adalah menilai proses pembelajaran yang
efektif.
Praksis
pragmatis
Suatu
ketika, di lain kesempatan saya pernah didesak oleh argumentasi para pimpinan
sekolah dengan trend sekolah masa yang sudah tidak menggunakan PR (Pekerjaan
Rumah) di rumah lagi. Semua tugas dan “pekerjaan rumah” sudah seharusnya
dikerjakan di sekolah, semuanya harus tuntas dikerjakan disekolah. Benarkah
demikian? Pragmatis bukan? Sebenarnya PR yang dikerjakan di rumah merupakan
bagian dari proses pembelajaran agar anak memahami apa yang dijelaskan di
sekolah, tentu saja membuat anak bertanggung jawab sebagai seorang murid,
melatih mereka belajar mandiri dan membuat mereka mengulang pelajaran yang
didapatnya di rumah. Tugas dan pekerjaan rumah seharusnya dikemas guru sedemikian
rupa sehingga menarik untuk dikerjakan. Keberatan terhadap tugas di rumah seringkali
bermula dari tidak bertanggungjawabnya seorang guru membebankan tugas yang diberikan, banyaknya soal yang
diberikan, soal yang kurang menantang atau soal yang terlalu sulit tanpa pernah
guru membahasnya dalam contoh soal selama proses pembelajaran. Akibatnya tugas tidak memberi manfaat sama sekali.
Saya
mendukung penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran, namun
konsepsi dalam penggunaan teknologi tersebut berguna untuk mendukung,
memfasilitasi dan memanajemeni pembelajaran dalam kelas. Keberadaannya bukanlah
mengganti peran seorang guru di dalam kelas. Keberadaannya sebagai pendukung
media alat pembelajaran dan bukan menggantikan keberadaan seorang guru. Seorang
guru harus mempersiapkan bahan-bahan yang sebagai perangkat belajar dalam
teknologi informasi tersebut. Guru bukanlah bersahaja, tidak belajar
meningkatkan diri dengan hanya membiarkan video atau perangkat lunak
pembelajaran yang sudah ada yang bekerja untuknya di dalam kelas. Guru Kristen
adalah guru yang berotoritas, ia mengajarkan keteladanan dalam tingkat laku
terutama keteladanan dalam kebenaran, iman dan menunjukkan jalan kebenaran.
Pragmatisme
juga merambah sekolah ketika mereka mengadopsi surat edaran, surat keputusan,
peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan dari dinas pendidikan
kotamadya. Pengawas sekolah yang berasal dari dinas pendidikan setiap bulan
datang mengunjungi sekolah. Pengawas sekolah tersebut seharusnya memberikan
masukan dan arahan bagi perkembangan sekolah, bertindak seperti layaknya seorang pemilik sekolah. Mereka
datang hanya datang untuk memaksakan peraturan yang bukan pada konteksnya, dan
tidak sesuai untuk sekolah swasta ataupun sekolah Kristen. Kepala sekolah
seolah terpaksa dan terdesak dengan peraturan tersebut tanpa daya, tanpa pernah
memperhatikan filsafat pendidikan yang melatarbelakangi produk hukum pendidikan
tersebut. Sekolah tanpa daya dan menerima kebijakan hanya karena intimidasi
pengawas sekolah. Tak jarang keputusan operasional dari produk hukum tersebut
tidak disertai petunjuk teknis yang konsisten dari tahun ke tahun.
Pragmatisme
juga berupa praksis meniru pola pembelajaran yang tidak sesuai dengan filsafat
pendidik Kristen, mereka meniru langsung metode pembelajaran tanpa kajian pada
prinsip, konsep, filsafat dan sarana prasarana penunjang lainnya agar adopsi
dari pola pembelajaran tersebut dapat berlangsung dengan baik. Sebagai contoh
saya pernah didesak agar menggunakan pola pembelajaran “moving class”. Bagi saya, harus ada konsep yang melatarbelakangi
moving class tersebut. Padahal kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
nasional untuk kelas tradisional, guru yang berpindah mengunjungi kelas. Untuk
dapat melaksanakan “moving class”,
dibutuhkan sarana Locker agar murid tidak terbeban berat bila harus pindah dari
satu kelas ke kelas berikutnya. Bukan itu saja sudah seharusnya kelas di setting dalam subyek pelajaran yaitu
dengan demonstrasi alat, peralatan, Visual tokoh keilmuan, pajangan media
belajar, bentuk susunan kelas, bahan dan prasarana kelas. Sifatnya pun harus
split kelas dengan murid yang berbeda sesuai dengan bakat minatnya agar tidak
terkesan “bedol kelas”, “pusing kelas” yang menghabiskan waktu perjalanan murid
dari satu kelas ke kelas berikutnya dan justru semakin memudahkan guru, karena
hanya “nongkrong” di kelas tersebut. Keadaannya bukan sekedar adopsi, tetapi bagaimana
budaya belajar dalam moving class
akan dibangun?, bagaimana tanggungjawab murid dan guru dalam tanngung jawab dan
kebersamaan mengadakan pembelajaran jenis ini, karena biar bagaimanapun
kurikulum nasional bukanlah kurikulum yang digunakan untuk “moving class”. Suatu pragmatisme yang
memudahkan persoalan bila praksis ini di praktikan tanpa pertimbangan yang
matang.
Pragmatisme
dan sekolah Kristen
Pragmatisme sudah merasuk dunia pendidikan, keberhasilan
pembelajaran hanyalah melihat hasil akhir. Menuntaskan pembelajaran bagi murid
yang harus mengulang dilakukan dengan
ide pemberian tugas, adalah hal yang pragmatis. Ide meniadakan pekerjaan rumah
atau penugasan hanya karena permintaan orangtua atau usulan guru, adalah hal
yang tidak berdasar, dan bersifat pragmatis. Bagi kaum pragmatisme, sesuatu
menjadi benar bila mempunyai kegunaan
dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang “benar” adalah apa yang memberikan
kegunaan praktis bagi indivisu yang mengetahuinya. Mereka tidak mempercayai
adanya kebenaran obyektif, yang menyebakan subyektifitas radikal. Istilah
Pragmatisme sering juga disebut dengan ekperimentalisme atau instrumentalisme
atau fungsionalisme. Sebenarnya ada yang memandang pragmatisme bukanlah suatu
aliran filsafat, tetapi lebih merupakan sebuah teori, selera dalam kriteria
menentukan suatu kebenaran.[1]
Aspek
metafisika pragmatisme merujuk pada suatu proses dalam pengalaman praktis,
subyektivitas dan dapat berguna dalam keseharaian. Realitas yang terjadi
berbentuk transaksional dan berubah-rubah tergantung situasi dan kondisi yang
ada. Epistemologi pragmatisme menyatakan kebenaran bersifat relatif dan
ditentukan dengan metode ilmiah dari kegunaan dari sesuatu, tidak ada kebenaran
yang mutlak, “whatever is useful and
valid is truth.” Aksiologi pragmatisme menggunakan perangkat etis dan moral
ditentukan kegunaannya, bersifat relatif
dan situasional.
Pemikir
aliran filsafat pragmatisme di pelopori oleh William James, C. S. Peirce, dan
John Dewey[2]. William James (1842-1910) adalah tokoh pragmatisme yang paling dominan yang merupakan ahli
filsafat dari Harvard University. James menyatakan bahwa
pengetahuan adalah pengetahuan yang transaksional dan bersumber dari pengalaman murni seseorang. Pengalaman
murni adalah perubahan-perubahan yang terus dari kehidupan manusia dan akan
menjadi bahan refleksi manusia pada selanjutnya, “reality is the sum total of what we experienced” Pengetahuan
terkait dengan pengalaman seseorang dengan dunia lingkungannya. James menolak adanya kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, dan
bersifat tetap serta berdiri sendiri. Menurut James kebenaran selalu berubah dan diperbaharui oleh pengalaman yang dialami seseorang.
Sedangkan C.S. Peirce (1839-1914)
merupakan salah satu murid dari William James. Dia memberikan aksentuasi
pragmatisme dalam relativisme dan kontribusi pragmatisme berbentuk a
priori truth. Dia adalah pendiri
pragmatisme Amerika (dijuluki: Peirce "pragmaticism" untuk membedakan
pandangan-pandangannya dari orang lain yang berlabel "pragmatisme"
lainnya). Peirce adalah seorang ahli teori logika, bahasa, komunikasi, dan
teori umum tanda-tanda ("semiotic").
John
Dewey (1859 – 1952) filsuf dan pemikir Amerika banyak memberi pengaruh dalam
pendidikan modern masa kini. Dewey memegang estafet pragmatism dan menjadi
pelopor dari teori progresivisme. Dewey dalam posisi lainnya beraliran
pragmatisme, instrumentalisme, fungsionalisme, dan eksperimentalisme.[3] Dalam
bukunya How We Think (1910) Dewey
mengunakan metode epistemologis pragmatis, pencarian pengetahuan dari interaksi
dan pengalaman. Murid belajar dari menyikapi lingkungan dan gilirannya disikapi
oleh lingkungan mereka saat mereka menjalani akibat dari tindakan mereka.
Pendapat
dari tokoh-tokoh pendidikan beraliran pragmatis jelas bertentangan dengan
kebenaran Firman Tuhan. murid-murid
pendidikan Kristen harus dibentuk memahami kebenaran Firman Tuhan,
mereka belajar dari rencana Tuhan dalam
kehidupan mereka. Mereka belajar tidak melulu dengan pengalaman tetapi
ketergantungan bersama Tuhan. Pendidikan pragmatisme tidak menyentuh murid
sebagai makluk eternal, makluk ciptaan Tuhan, yang sudah jatuh ke dalam dosa
dan yang harus diperdamaikan dalam kasih
Allah. Pendidikan karakter dalam perspektif pragmatisme tidak membutuhkan
disiplin, ketaatan dan keteraturan. Pendidikan berkaitan dengan “karakter”,
hanya sebatas modifikasi perilaku. Pendidikan dalam pragmatisme lebih memberi
peluang pada akuisisi pengetahuan melalui proses pengalaman semata, pengetahuan
akan adalah sesuatu yang dapat digunakan.
Penutup
Prinsip
dan praksis pembelajaran di dalam kelas haruslah bercermin pada kehendak Tuhan,
karena Sekolah Kristen adalah sekolah yang misioner, sekolah yang memiliki
misi, visi, dan tujuan kekristenan. Sekolah Kristen adalah institusi yang
berdasarkan pada kebenaran Firman Tuhan. Pendidikan Kristen harus memiliki pengakuan akan
kedaulatan Allah, melihat natur manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan, melihat
manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Pendidikan Kristen adalah proses
pemuridan dalam kebersamaan dan keberadaan Tuhan di dalam Kelas.
[1] Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen
Di tengah tantangan Filsafat dunia dalam praksis pendidikan, (Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2013), hlm. 89
[2]
Ibid., hlm. 90-93
[3]
Greene,
Albert E., Reclaiming the future of Christian education (Colorado
Springs: Purposeful Design publication, 1995), p.16.