“Pesta Karnaval”
Postmodernisme vs. Kekristenan
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed
Pernah
menghadiri pesta karnaval? Dalam keramaian karnaval itu banyak pertunjukan,
sirkus, permainan, bazar, dan suasana riuh rendah. Budaya postmodernime dapat diibaratkan
pesta karnaval, banyak pilihan termasuk pilihan berbagai worldview dan pilihan
keyakinan. Kehadiran
postmodernisme telah melahirkah pluralitas yang mencakup ketersediaan segala keyakinan dan
perspektif yang
siap dikonsumsi. Keyakinan
orang beriman semakin terbias ketika postmodernisme berupaya
untuk menggabungkan keyakinan
dari berbagai tradisi agama menjadi satu iman.[1]
Pendidikan
dalam era postmodernime melahirkan banyak pilihan berbagai produk budaya,
bahasa, dan tekanan masyarakat. Dukungan teknologi informasi seperti facebook dan twitter, youtube, instagram
telah mengkonstruksi bahasa dan gambar untuk membentuk pengetahuan yang
sifatnya relatif. Postmodernisme menjadi pandangan filosofis yang digandrungi
masyarakat karena dikemas dalam “pesta karnaval,” walaupun dasar-dasar
filasafnya tidak mendasar di tengah kerelatifannya, kesubjektivitasannya serta
keraguannya. Alasan-alasan postmodernisme menjadi suatu alasan dinikmati oleh
masyarakan masa kini anatara lain: Postmodernisme memandang bahwa tidak ada
kebenaran obyektif yang ada hanyalah bersifat relatif dan subjektif.
Postmodernisme tidak membawa kita berhubungan dengan realitas karena konstruksi
sosial sering menggunakan permainan bahasa dan destruksi makna.
Budaya
dalam era postmodernisme sangat bertentangan dengan budaya masyarakat yang
memiliki keyakinan yang telah mengakar dalam tradisi keimanan. Postmodernisme memandang
bahwa tidak ada metanaratif (tradisi narasi yang berpengaruh dalam kehidupan
spiritual). Budaya postmodernisme meniadakan narasi besar yang telah mengakar sebagai
keyakinan yang dapat melegitimasi kedudukan dan hak khusus tradisi keimanan.
Sederhananya, postmodernisme telah meniadakan narasi besar Alkitab, grandstory Allah, atau keimanan orang
Kristen dengan meniadakan metanarasinya.
Alkitab dalam
Kolose 2:8 menyatakan dengan tegas akan filsafat yang kosong dan palsu “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang
menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”
Tantangan
Pendidikan
dalam perspektif Kristen akan banyak mengalami tantangan ketika prinsipnya harus
berhadapan dengan budaya postmodernisme. Kekristenan akan menghadapi keramaian
pilihan, kebisingan alternatif, pilihan berbagai praksis pendidikan dan tekanan
sosial masyarakat. Kehadiran berbagai praksis pendidikan postmodernisme sudah
seharusnya membuat para pendidik Kristen lebih peka terhadap praksis yang
bertentangan dengan kekristenan. Beberapa diantaranya:
· Neuro Linguistic
Program
NLP atau Neuro-Linguistic Programming adalah teknik
mempercayai keyakinan diri dengan memasukkan keyakinan diri (program) untuk
dapat merealisasikannya. NLP mempelajari struktur internal berpikir dan
mendesainnya untuk tujuan yang bermanfaat bagi orang tersebut.
· Self-esteem adalah penghargaan diri dengan cerminan evaluasi emosional
secara subjektif dan layak bagi diri
sendiri. Dalam praktik pembelajarannya, pencapaian hasil
belajar tidak berasal dari kemampuan diri terbaik, karena belajar sesuai
kemampuan dirinya sering dimunculkan dari kemalasan dan apa adanya. Hasil belajar tidak menentukan karena “semua adalah pemenang”. Self-esteem pembelajaran sering
memunculkan pembelaan terhadap diri sendiri dari upaya seadanya menghadapi tantangan dan
kesulitan dalam belajar.
· Brain based learning adalah Pembelajaran berdasarkan penelitan otak dari sifat, struktur,
dan cara kerja otak dengan berbagai varian, antara lain laterisasi otak kiri
dan otak kanan, model otak tengah, model otak triune, model otak hologram dari Pribam, model otak cerebreactor
dari Lipman Siler, model berpikir bisosiatif dari Koestler, peta proses mental
dari Roger Wolcott Sperry dan masih
banyak yang lain.
· Pembelajaran dengan pengenalan sidik jari, pengenalan golongan darah dan
psikologi sekuler tentang gaya belajar, gaya berpikir serta personalitas dalam
belajar.
Kehadiran beberapa
riset tentang pembelajaran perlu disambut gembira, dengan tetap waspada
terhadap filsafat dibalik penelitian tersebut. Beberapa implementasi
pembelajaran seperti personalitas,
emotional intelligence, multiple inteligence sebenarnya juga berasal dari
perspektif Kristiani. Teori-teori itu masih dapat kita gunakan sepanjang tidak
mengadopsi filsafatnya yang terkandung didalamnya dengan kasih anugerah Tuhan.
Natur guru dari postmodern
Natur
guru dalam postmodernisme adalah seorang aktivis sosial yang terbeban dalam
pendidikan untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial. Seorang ahli
sosiologi pendidikan, Henry A. Giroux[2]
berpendapat bahwa perjuangan sosial dapat berupa perlawanan terhadap rasisme,
struktur kelas sosial, dan keadilan jender. Peran yang dilakukan guru, agar
mereka mau keluar dari kritik sosial menuju perubahan dan harapan. Guru dalam
pandangan postmodernisme adalah generator pengetahuan, memberikan pemahaman
dari ketidakpastian keseharian dalam ruang kelas. Guru harus menjadi orang yang
bereaksi terhadap konteks yang terus berubah.[3]
Sedangkan natur guru
Kristen adalah guru yang telah lahir baru dalam karya penebusan Yesus Kristus.
Guru Kristen adalah guru yang terpanggil dalam mewujudkan mandat injili, ia
memancarkan keteladan iman dalam mengajarkan jalan kebenaran dan keselamatan,
memuridkan anak-anak bagi Kristus. Guru Kristen adalah rekan sekerja Allah,
penatalayan dalam panggilan mengajar dan mendidik para muridnya. Guru Kristen
adalah guru yang berotoritas dalam keteladanan moral dan bergantung pada
rencana Allah.
Natur kurikulum dari postmodern
Perkembangan kurikulum dalam era postmodern lebih
didasarkan pada pengetahuang yang sifatnya kompleks, multudimensi, eklektik,
relasional, interdisipliner dan metaforik. William Doll, penulis buku A Post-modern Perspective on Curriculum[4],
melakukan perbandingan kurikulum yang berbasi content-centered dan student-centered.
Doll menyatakan bahwa dominasi ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan teknologi
telah menisbikan arti pendidikan yang sesungguhnya. Kurikulum dikendalikan oleh
ukuran yang subjektif dan terpisah-pisah. Dalam kesempatan lain ia juga menyatakan
bahwa kurikulum perlu memberikan pelatihan seni kreasi cipta dan memilih, bukan
hanya mengikuti dan diperintahkan. Banyak kurikulum yang membuat murid
merupakan penerima pasif dan bukan pencipta pengetahuan.
“Educationally, we need to be trained in the art of creating
and choosing, not just in ordering and following. Much of our curriculum to
date has trained us to be passive receivers or preordained “truths” not active
creators of knowledge.”
Pernyataan
tentang kurikulum dalam postmodern sangat bertentangan dengan kurikulum dalam
perspektif Kristen. Kurikulum pendidikan Kristen bertujuan memuridkan anak bagi
Kristus, kurikulum harus menjamin perkembangan dan pertumbuhan iman
murid-muridnya dalam bimbingan roh kudus. Kurikulum juga berkaitan dengan
otoritas seorang guru Kristen dalam menanamkan kebenaran firman Tuhan. Murid
harus memahami setiap pengetahuan berasal dari kasih anugerah Tuhan. Murid
tidak pencipta pengetahuan, namun membukakan realitas ciptaan Tuhan sebagai
pemeliharaan Tuhan bagi manusia. Ia memahami pengetahuan sebagai mandat budaya
menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan. Bagian Firman Tuhan dalam
setiap kehidupan kita, terdapat dalam Kisah 17:28 menyatakan “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita
bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:
Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.”
Natur pengetahuan dari
postmodern
Bagi postmodernisme,
sekolah-sekolah berfungsi sebagai agen kekuatan yang berperan sebagai
konstruksi sosial dalam memanipulasi pengetahuan yang nantinya dapat
mempengaruhi budaya. Tidak ada kebenaran mutlak dan kekal, semua kebenaran
adalah subjektif dan relatif. Saya jadi teringat satu kalimat yang masih
terngiang dalam diri saya berkenaan dengan “kesesatan”
mengenai kebenaran dari perspektif postmodern. Kebenaran adalah sesuatu yang
relatif, tergantung situasi, bahkan suatu pernyataan dapat benar jika diyakini
benar dan dinyatakan berulang-ulang.
Dennis McCallum dalam The Death of Truth[5]
menyatakan tidak ada kebenaran makna dan realitas. Ia menyatakan bahwa moral dan keyakinan iman adalah subjektif
“Now, in the late twentieth century, we are in the middle of a
revolution that will likely dwarf Darwinism and its impact on every aspect of
thought and culture: the revolution is postmodernism and the danger it holds in
its most serious form is that truth, meaning, and objective reality do not
exist, and that all religious belief and moral codes are subjective.”
Pernyataan
tentang kebenaran dari perspektif postmo sangat bertentangan dengan iman
Kristen. Dalam iman Kristen, Firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh 17:7) dan
kebenaran itu adalah kebenaran kekal, mutlak, dan tidak berubah. Alkitab
menyatakan bahwa dalam Yohanes 14:6 ‘Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan
dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau
tidak melalui Aku.’
Penutup
Bagi para pendidik Kristen hingar
bingar karnaval postmodernisme sudah seharusnya menjadi refleksi untuk berada dalam
keheningan Tuhan. Keheningan dalam pengalaman bersama Tuhan akan menguatkan
panggilan pelayanan pendidikan Kristen. Panggilan dalam pemahaman pendidikan
Kristen yang berdasarkan filsafat pendidikan Kristen akan memandu kita untuk
dapat menjalankan mandat injili dan tidak mudah diombang ambingkan dalam
kebisingan suatu pesta karnaval, atau terbawa arus ekletisme postmodern.
[1] Brian J. Walsh,
The Transforming Vision: Shaping a Christian World
View
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press Academic, 1984), hlm. 10
[2] Giroux, Henri A., Pedagogy
and the politics of Hope, thereto, Culture and Schooling (Boulder, CO:
Westview Press 1997) p.227
[3] Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan
Kristen Meletakkan Fondasi dan Filosofi Pendidikan Kristen di Tengah Tantangan
Filsafat Dunia (Penerbit: Andi, Yogyakarta, 2014), hlm 139
[4] William
E. Doll, A Post-modern Perspective on
Curriculum (New York: Teacher College Press,1993) hlm.8
[5] D. McCallum, The Death of
Truth: What’s wrong with multiculturalism, the rejection of reason and the new
postmodern diversity (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1996) hlm.12