Jumat, 17 Juli 2015

“Pesta Karnaval” Postmodernisme vs Kekristenan



“Pesta Karnaval”
 Postmodernisme vs. Kekristenan
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed

Pernah menghadiri pesta karnaval? Dalam keramaian karnaval itu banyak pertunjukan, sirkus, permainan, bazar, dan suasana riuh rendah. Budaya postmodernime dapat diibaratkan pesta karnaval, banyak pilihan termasuk pilihan berbagai worldview dan pilihan keyakinan. Kehadiran postmodernisme telah melahirkah pluralitas yang mencakup ketersediaan segala keyakinan dan perspektif yang siap dikonsumsi. Keyakinan orang beriman semakin terbias ketika postmodernisme berupaya untuk menggabungkan keyakinan dari berbagai tradisi agama menjadi satu iman.[1]
Pendidikan dalam era postmodernime melahirkan banyak pilihan berbagai produk budaya, bahasa, dan tekanan masyarakat. Dukungan teknologi informasi seperti facebook dan twitter, youtube, instagram telah mengkonstruksi bahasa dan gambar untuk membentuk pengetahuan yang sifatnya relatif. Postmodernisme menjadi pandangan filosofis yang digandrungi masyarakat karena dikemas dalam “pesta karnaval,” walaupun dasar-dasar filasafnya tidak mendasar di tengah kerelatifannya, kesubjektivitasannya serta keraguannya. Alasan-alasan postmodernisme menjadi suatu alasan dinikmati oleh masyarakan masa kini anatara lain: Postmodernisme memandang bahwa tidak ada kebenaran obyektif yang ada hanyalah bersifat relatif dan subjektif. Postmodernisme tidak membawa kita berhubungan dengan realitas karena konstruksi sosial sering menggunakan permainan bahasa dan destruksi makna.
Budaya dalam era postmodernisme sangat bertentangan dengan budaya masyarakat yang memiliki keyakinan yang telah mengakar dalam tradisi keimanan. Postmodernisme memandang bahwa tidak ada metanaratif (tradisi narasi yang berpengaruh dalam kehidupan spiritual). Budaya postmodernisme meniadakan narasi besar yang telah mengakar sebagai keyakinan yang dapat melegitimasi kedudukan dan hak khusus tradisi keimanan. Sederhananya, postmodernisme telah meniadakan narasi besar Alkitab, grandstory Allah, atau keimanan orang Kristen dengan meniadakan metanarasinya.
Alkitab dalam Kolose 2:8 menyatakan dengan tegas akan filsafat yang kosong dan palsu “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”

Tantangan
Pendidikan dalam perspektif Kristen akan banyak mengalami tantangan ketika prinsipnya harus berhadapan dengan budaya postmodernisme. Kekristenan akan menghadapi keramaian pilihan, kebisingan alternatif, pilihan berbagai praksis pendidikan dan tekanan sosial masyarakat. Kehadiran berbagai praksis pendidikan postmodernisme sudah seharusnya membuat para pendidik Kristen lebih peka terhadap praksis yang bertentangan dengan kekristenan. Beberapa diantaranya:
·      Neuro Linguistic Program
NLP atau Neuro-Linguistic Programming adalah teknik mempercayai keyakinan diri dengan memasukkan keyakinan diri (program) untuk dapat merealisasikannya. NLP mempelajari struktur internal berpikir dan mendesainnya untuk tujuan yang bermanfaat bagi orang tersebut.
·      Self-esteem adalah penghargaan diri dengan cerminan evaluasi emosional secara subjektif dan layak bagi diri sendiri. Dalam praktik pembelajarannya, pencapaian hasil belajar tidak berasal dari kemampuan diri terbaik, karena belajar sesuai kemampuan dirinya sering dimunculkan dari kemalasan dan apa adanya. Hasil belajar tidak menentukan karena “semua adalah pemenang”. Self-esteem pembelajaran sering memunculkan pembelaan terhadap diri sendiri dari  upaya seadanya menghadapi tantangan dan kesulitan dalam belajar.
·      Brain based learning adalah Pembelajaran berdasarkan penelitan otak dari sifat, struktur, dan cara kerja otak dengan berbagai varian, antara lain laterisasi otak kiri dan otak kanan, model otak tengah, model otak triune, model otak hologram dari Pribam, model otak cerebreactor dari Lipman Siler, model berpikir bisosiatif dari Koestler, peta proses mental dari  Roger Wolcott Sperry dan masih banyak yang lain.
·      Pembelajaran dengan pengenalan sidik jari, pengenalan golongan darah dan psikologi sekuler tentang gaya belajar, gaya berpikir serta personalitas dalam belajar.

Kehadiran beberapa riset tentang pembelajaran perlu disambut gembira, dengan tetap waspada terhadap filsafat dibalik penelitian tersebut. Beberapa implementasi pembelajaran seperti personalitas, emotional intelligence, multiple inteligence sebenarnya juga berasal dari perspektif Kristiani. Teori-teori itu masih dapat kita gunakan sepanjang tidak mengadopsi filsafatnya yang terkandung didalamnya dengan kasih anugerah Tuhan.

Natur guru dari postmodern
Natur guru dalam postmodernisme adalah seorang aktivis sosial yang terbeban dalam pendidikan untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial. Seorang ahli sosiologi pendidikan, Henry A. Giroux[2] berpendapat bahwa perjuangan sosial dapat berupa perlawanan terhadap rasisme, struktur kelas sosial, dan keadilan jender. Peran yang dilakukan guru, agar mereka mau keluar dari kritik sosial menuju perubahan dan harapan. Guru dalam pandangan postmodernisme adalah generator pengetahuan, memberikan pemahaman dari ketidakpastian keseharian dalam ruang kelas. Guru harus menjadi orang yang bereaksi terhadap konteks yang terus berubah.[3]
Sedangkan natur guru Kristen adalah guru yang telah lahir baru dalam karya penebusan Yesus Kristus. Guru Kristen adalah guru yang terpanggil dalam mewujudkan mandat injili, ia memancarkan keteladan iman dalam mengajarkan jalan kebenaran dan keselamatan, memuridkan anak-anak bagi Kristus. Guru Kristen adalah rekan sekerja Allah, penatalayan dalam panggilan mengajar dan mendidik para muridnya. Guru Kristen adalah guru yang berotoritas dalam keteladanan moral dan bergantung pada rencana Allah.

Natur kurikulum dari postmodern
Perkembangan kurikulum dalam era postmodern lebih didasarkan pada pengetahuang yang sifatnya kompleks, multudimensi, eklektik, relasional, interdisipliner dan metaforik. William Doll, penulis buku A Post-modern Perspective on Curriculum[4], melakukan perbandingan kurikulum yang berbasi content-centered dan student-centered. Doll menyatakan bahwa dominasi ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan teknologi telah menisbikan arti pendidikan yang sesungguhnya. Kurikulum dikendalikan oleh ukuran yang subjektif dan terpisah-pisah. Dalam kesempatan lain ia juga menyatakan bahwa kurikulum perlu memberikan pelatihan seni kreasi cipta dan memilih, bukan hanya mengikuti dan diperintahkan. Banyak kurikulum yang membuat murid merupakan penerima pasif dan bukan pencipta pengetahuan.
“Educationally, we need to be trained in the art of creating and choosing, not just in ordering and following. Much of our curriculum to date has trained us to be passive receivers or preordained “truths” not active creators of knowledge.”
Pernyataan tentang kurikulum dalam postmodern sangat bertentangan dengan kurikulum dalam perspektif Kristen. Kurikulum pendidikan Kristen bertujuan memuridkan anak bagi Kristus, kurikulum harus menjamin perkembangan dan pertumbuhan iman murid-muridnya dalam bimbingan roh kudus. Kurikulum juga berkaitan dengan otoritas seorang guru Kristen dalam menanamkan kebenaran firman Tuhan. Murid harus memahami setiap pengetahuan berasal dari kasih anugerah Tuhan. Murid tidak pencipta pengetahuan, namun membukakan realitas ciptaan Tuhan sebagai pemeliharaan Tuhan bagi manusia. Ia memahami pengetahuan sebagai mandat budaya menjadi berkat bagi sesama dan memuliakan Tuhan. Bagian Firman Tuhan dalam setiap kehidupan kita, terdapat dalam Kisah 17:28 menyatakan “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.”

Natur pengetahuan dari postmodern
Bagi postmodernisme, sekolah-sekolah berfungsi sebagai agen kekuatan yang berperan sebagai konstruksi sosial dalam memanipulasi pengetahuan yang nantinya dapat mempengaruhi budaya. Tidak ada kebenaran mutlak dan kekal, semua kebenaran adalah subjektif dan relatif. Saya jadi teringat satu kalimat yang masih terngiang dalam diri saya berkenaan dengan “kesesatan” mengenai kebenaran dari perspektif postmodern. Kebenaran adalah sesuatu yang relatif, tergantung situasi, bahkan suatu pernyataan dapat benar jika diyakini benar dan dinyatakan berulang-ulang.
Dennis McCallum dalam The Death of Truth[5] menyatakan tidak ada kebenaran makna dan realitas. Ia menyatakan bahwa moral dan keyakinan iman adalah subjektif
“Now, in the late twentieth century, we are in the middle of a revolution that will likely dwarf Darwinism and its impact on every aspect of thought and culture: the revolution is postmodernism and the danger it holds in its most serious form is that truth, meaning, and objective reality do not exist, and that all religious belief and moral codes are subjective.”
Pernyataan tentang kebenaran dari perspektif postmo sangat bertentangan dengan iman Kristen. Dalam iman Kristen, Firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh 17:7) dan kebenaran itu adalah kebenaran kekal, mutlak, dan tidak berubah. Alkitab menyatakan bahwa dalam Yohanes 14:6 ‘Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.’

Penutup
            Bagi para pendidik Kristen hingar bingar karnaval postmodernisme sudah seharusnya menjadi refleksi untuk berada dalam keheningan Tuhan. Keheningan dalam pengalaman bersama Tuhan akan menguatkan panggilan pelayanan pendidikan Kristen. Panggilan dalam pemahaman pendidikan Kristen yang berdasarkan filsafat pendidikan Kristen akan memandu kita untuk dapat menjalankan mandat injili dan tidak mudah diombang ambingkan dalam kebisingan suatu pesta karnaval, atau terbawa arus ekletisme postmodern.


[1] Brian J. Walsh, The Transforming Vision: Shaping a Christian World View (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press Academic, 1984), hlm. 10

[2]   Giroux, Henri A., Pedagogy and the politics of Hope, thereto, Culture and Schooling (Boulder, CO: Westview Press 1997) p.227
[3]   Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen Meletakkan Fondasi dan Filosofi Pendidikan Kristen di Tengah Tantangan Filsafat Dunia (Penerbit: Andi, Yogyakarta, 2014), hlm 139
[4]   William E. Doll, A Post-modern Perspective on Curriculum (New York: Teacher College Press,1993) hlm.8
[5]   D. McCallum, The Death of Truth: What’s wrong with multiculturalism, the rejection of reason and the new postmodern diversity (Minneapolis: Bethany House Publisher, 1996) hlm.12

Senin, 13 Juli 2015

Why Should We Think?



Why Should We Think?
 Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed

Pernah baca buku Harry Blamires (lahir 1916) yang berjudul The Christian Mind: How Should a Christian Think?[1] Buku ini dapat dikatakan sebagai salah satu buku wajib untuk memahami pendidikan Kristen. Mengapa? Karena isi buku ini memberi kesadaran sekaligus memprovokasi pentingnya Christian mind (Christian Wolrdview) dalam setiap pengikut Kristus sehingga prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan dapat diimplementasikan dalam kehidupan orang Kristen. Provokasi yang ditebarkan Harry Blamires yang membuat kita berinstropeksi dalam adalah “There is no longer a Christian mind”, tidak  ada lagi Christian mind (akal budi Kristen), tidak ada lagi tindakan yang berasal dari perspektif Kristen dalam kehidupan masyarakat masa kini. Kekristenan telah menyerah pada pemikiran sekuler.[2] Benarkah demikian, saya tidak membenarkan pendapat itu atau tidak sekali, tapi jelas pernyataan ini menjadi suatu peringatan bagi kita untuk terus berpikir dan bertindak dalam Christian mind (Akal budi Kristen).
Ketika artikel ini dibuat, saya terhenyak kaget mendengar berita[3] tentang Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan perkawinan sejenis yang selama ini diusung  komunitas LBGT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender)[4] sejak tahun 1990an, tentu saja legalisasi ini semakin memberi keyakinan “There is no longer a Christian mind”. Amerika Serikat menjadi negara ke duapuluh tiga yang menjadi negara yang melegalkan perkawinan sejenis, atas dasar persamaan hak[5]. Keputusan tersebut sontak melahirkan pertanyaan dimana para politisi Kristen saat itu, dimana para akademisi Kristen saat itu? dimana kekristenan di tengah-tengah mayoritas masyarakat Kristen? Dimanakah pengaruh pembentukan Christian mind? Bagaimana peran sekolah Kristen, institusi Kristen, dan gereja selama ini? Apakah keberadaannya sudah memberikan pengaruh untuk menjalankan perintah Tuhan.
            Why should We think? Mengapa kita perlu memikirkan pembelajaran yang membentuk Christian mind. Pembentukan Christian Mind menjadi penting ketika akal budi itu terus memimpin kehidupan dalam kebenaran firman Tuhan dalam lingkungan kekristenan termasuk, para pendidik Kristen yang harus terus belajar memahami perintah dalam terang kemuliaan Allah. Christian mind merupakan persyaratan bagi berpikir Kristen, sedangkan berpikir Kristen merupakan persyaratan dalam kehidupan dalam kekristenan. Tak berlebihan bila James Emery White dalam membagikan keyakinannya berkaitan dengan Christian Mind, ia menuliskan dalam bukunya, A mind for God bahwa Christian mind adalah pikiran yang dengan keyakinan mendalam bahwa ada sesuatu di luar diri kita yang kita harus perhatikan yaitu keberadaan Allah yang tidak diam.
“The Christian mind is a mind that operates under the belief that there is something outside of ourselves the we must take into account. There is a God, a God, as Francis Schaeffer said, who is no only there but is not silent.” [6]
Pentingnya pembentukan Christian mind, sebagai upaya mengenal Allah, sebagai petunjuk dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan serta memperbaharui akal budi kita  (Roma 12:1-2). Christian mind dalam iman orang Kristen memelihara mereka berkaitan dengan bebarapa hal utama yaitu
-          Kebergantungan dengan Allah, memahami dan mengenal Allah. Bagian Alkitab dalam Yeremia 9:23-24 menyebutkan Beginilah firman TUHAN: "Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN."
-          sikap mengasihi dan menyenangkan Tuhan dalam segenap aspek kehidupan. Alkitab dalam Markus 12:30 menyebutkan Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
-          Pangilan dalam mengajarkan kasih Tuhan pada orang lain akan. Bagian Alitab menyatakan dalam Matius 28:18-20 mencatat, Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

Kebutuhan untuk Pengenalan akan Allah
Alkitab memberikan perintah imperatif dalam mengenal Allah, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Mat. 4:17), namun demikian pikiran bodoh juga sering mendakwa orang-orang yang mengetahui tentang Allah, tetapi mereka menolak dengan tidak mengenal Allah. Alkitab menyatakan "Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu." (Yer. 4:22).  Tidak mengenal Allah merupakan kebinasaan Alkitab menuliskan Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu. Makin bertambah banyak mereka, makin berdosa mereka kepada-Ku, kemuliaan mereka akan Kutukar dengan kehinaan.” (Hos. 4: 6-7)
Manusia semakin degil dengan tidak dapat membedakan tanda-tanda zaman dengan tidak mengenal Allah. Alkitab memberikan peringatan akan hal itu “dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak” (Mat. 16:3).

Penyesatan untuk tidak mengenal Allah
Penyesatan filsafat dan worldview Kristen sudah diingatkan ketika Paulus menyurati jemaat di Kolose, Alkitab menjelaskan “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:8).
Pengenalan akan firman Tuhan akan membentuk worldview Kristen,  yang akan mematahkan pengenalan siasat orang yang tidak mengenal Tuhan “Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Kor. 10:5).
Orang-orang yang tidak mengenal Allah dibutakan oleh ilah kehidupannya di zamannya, Paulus mengingatkan kita dalam Jemaat di Korintus.
“yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah” (2 Kor 4:4). Hanya bersandar dan  meminta kepada Allah, ia akan memampukan setiap orang percaya mengenal Allah secara benar. Alkitab menuliskan “dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus” (Ef. 1:17-18).
Why should we think? Sebuah pertanyaan yang memberikan refleksi kepada kita, mengapa kita harus berpikir utamanya mengenal Allah lebih dekat, Mengapa pembentukan Christian mind merupakan mandat yang diberikan dari Allah. J.P. Moreland, seorang teolog Kristen dalam bukunya Love Your God With All Your Mind menyebutkan terdapat lima mandat berkaitan dengan akal budi Kristen.

·         Mandat akal budi
Kasihilah Tuhan, Allahmu , dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu (Markus 12:30). Perintah dan hukum mengasihi Tuhan telah bergema, dimulai dari Musa berjalan terus dengan hukum Kasih Tuhan Yesus. Mandat akal budi: Berusaha untuk Mengenal Allah. Untuk mengasihi seseorang kita harus mengasihi sesama. Kita berusaha untuk mengenal Tuhan dan menghidupi keseharian bersama Tuhan secara intim. Kegagalan kita lebih banyak berusaha mengenal Allah tanpa menggunakan akal budi  dan berpikir untuk menyelidiki apa yang telah Allah tentang diri-Nya seperti yang difirmankan dalam Alkitab.

·         Mandat kedua adalah akal budi Kristen untuk diam bersama Tuhan.
Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh. 8: 31-32). Mandat ini memerintahkan kita untuk tinggal di dalam firman-Nya, hal ini menyiratkan kebutuhan akan menggunakan akal budi untuk memahami Kitab Suci, mengenal dan melakukan kebenaran-Nya.

·         Mandat ketiga adalah madnat pendewasaan akal budi. Roma 12: 2 menyatakan, Janganlah kamu menjadi serupa  dengan dunia ini, tetapi berubahlah  oleh pembaharuan budimu,  sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Kata-kata kunci berkaitan dengan ayat ini adalah serupa, berubah, dan membuktikan mengacu pada tindakan yang berkelanjutan. Dengan demikian, pikiran Kristen harus ditandai dengan pembangunan yang berkelanjutan menuju kedewasaan. Ibrani 5:14 mengumpamakan “makanan padat” bagi orang-orang yang berpikiran dewasa. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat. Alkitab dalam Ibrani 6 :1 menegaskan orang Kristen terus bertumbuh " Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah."

·         Mandat keempat adalah mandat memberitakan dan mempertahankan iman. Kedewasaan akal budi pada orang Kristen harus melibatkan  secara aktif pikiran orang-orang di sekitarnya. Paulus memberikan model dirinya bagi pemberitaan dan mempertahankan iman di tengah-tengah penolakan dirinya. Akhirnya ia melayani sampai ke Athena. Alkitab selanjutnya menuliskan “Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ. Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: "Apakah yang hendak dikatakan si peleter ini?" Tetapi yang lain berkata: "Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan tentang kebangkitan-Nya.  (Kis.17: 17-18). Paulus berusaha mengerti pemikiran dan kepercayaan orang Athena sebelum dia memberitakan Injil kepada mereka (17:17-18). agar supaya berita Injil dapat disampaikan dengan baik. Ia menyatakan dan membela kebenaran Injil di rumah ibadat dengan orang-orang sendiri, di kalangan rakyat, dan bahkan dengan para intelektual saat itu.

·         Mandat kelima adalah mandat kebutuhan untuk terus belajar. Filipi 4: 8 menyatakan: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci , semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Perhatikan kalimat terakhir: pikirkanlah semuanya itu, ungkapan juga termasuk perintah yang studi tersebut adalah untuk terus menerus. Kita harus merenungkan, atau berpikir pada hal-hal dari Allah.

Penutup
Why should we think? Memberikan pertanyaan yang mengarah akan pembentukan Christian mind. Pemikiran pada Kristus menuntut kita untuk terus-menerus bertumbuh dalam Kristus. Akal budi dan pikiran Kristen harus harus diterapkan, mengalir dalam keseharian kehidupan. Pendidikan Kristen mempunyai peran dalam melibatkan semua orang yang ada di sekolah untuk berumbuh menjadi dewasa dalam pengenalan akan Allah termasuk mengaplikasikannya di dalam keseharian hidup.


[1]   The Christian Mind: How Should a Christian Think? Vancouver, British Colombia: Regent College Publishing, 1963
[2]   Blamires Harry. The Christian Mind, How Should a Christian Think?, (Colorado Springs: Purposeful Design, 1963), hlm. 3
[3]   Pada tanggal 26 Juni 2015,
[4]  Tambah murtad lagi ketika simbol-simbol LBGT menirukan rangkaian warna pelangi, menirukan janji Tuhan kepada Nabi Nuh akan tidak adanya banjir besar dunia pada umat manusia.
[5]   Bukan tidak mungkin komunitas LBGT suatu ketika dapat menuntut haknya agar pemerintah memasukkan materi pelajaran di sekolah tentang perkawinan sejenis.
[6] A mind for God (Downer Grove. IIinois: InterVarsity Press, 2006),  hlm. 21