Penjasorkes antara Lapangan
dan Ladang penginjilan
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed
Pernah dengar Community
Youth Children and Sports (CYCAS) yang dideklarasikan di Ubabalo, Afrika
Selatan? Gerakan ini adalalah gerakan perkabaran injil yang menjangkau anak,
remaja, dan pemuda melalui pembinaan olahraga (sport ministry)[1].
Mereka melihat olahraga, sebagai ladang penginjilan, strategi menjangkau anak
melalui pemuridan, pembinaan karakter Kristen. Saya tertarik dengan konsepnya
melihat lapangan sebagai “ladang” penginjilan. Saya jadi teringat dengan
pengalaman seorang teman saya serorang guru olahraga Kristen di salah satu
sekolah swata nasional (bukan sekolah Kristen). Rekan guru Kristen ini membina dan melatih anak-anak dengan skill permainan bola volley yang
kompetitif dalam sportivitas tinggi, Beberapa kali memenangkan kompetisi bola
volley. Bukan itu saja guru ini melatih mereka dalam karakter Kristen termasuk memenangkan
murid-muridnya dalam iman Kristen. Mereka memiliki waktu untuk berdoa,
bertumbuh, dan bersekutu dalam kasih Tuhan. Guru Kristen ini telah memenangkan
Kristus dalam pelayanan misinya, ia telah melihat ladang penginjilan yang
terbuka luas untuk menjangkau anak-anak melalui olahraga.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, pelajaran
olahraga pernah berganti-ganti nama mulai dari pendidikan jasmani, Pendidikan
olahraga dan terakhir pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan (Penjasorkes).
Orientasinya memberikan ruang lingkup anak untuk lebih memberikan gerak jasmani
dan kebugaran tubuh untuk pembelajaran di dalam belajar. Subjek pendidikan olahraga
sebenarnya subjek yang menyajikan kelengkapan ranah pendidikan yang lengkap
dalam hal ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kelengkapan ini menjadi
pendidikan olahraga adalah subjek pelajaran yang unik dan tidak dipunyai subjek
pelajaran lain. Dalam ranah kognitif, ranah ini meliputi strategi, prinsip,
peraturan bermain, sedangkan dalam afektif bersikap sportif, kerjasama tim, motivasi,
dan minat. Dalam ranah psikomotorik, pendidikan olahraga membutuhkan latihan
fisik, kebugaran, stamina, kemampuan dan keterampilan. Namun demikain pendidikan
olahraga menjadi sarana yang sangat efektif melihat perspektif pendidikan
olahraga sebagai bagian pembinaan karakter, dan menampilkan karakter bagi
kemuliaan Tuhan. Sarana ini penting digunakan
melatih anak untuk melayani kerajaan-Nya.
Salah satu kesenangan saya adalah melihat tayangan
olahraga, uniknya hampir semua tontonan itu dapat saya nikmati, tak terkecuali
renang, tinju, atletik, balap, bela diri terlebih lagi sepak bola[2]. Sifat kompetisi
dalam pertarungan yang pantang menyerah menjadi tayangan yang membangkitkan
motivasi. Pertarungan yang terkemas dalam strategy,
stamina, speed, strength dan skill,
akan menjadikan momen perjuangan yang tak terlupakan. Pertarungan itu akan
tidak berbeda dengan kehidupan iman kekristenan kita, didalamnya terdapat pertarungan
iman, pertarungan berpacu dengan waktu bagi pelayanan misi. Kehidupan iman
adalah kehidupan iman dalam panggung kompetisi.
Salah satu tokoh olahragawan tinju yang saya
idolakan adalah Evander Holyfield, bukan karena semata tinjunya tapi
perjuangannya terkait imannya. Peraih medali perunggu kelas berat ringan
Olimpiade 1984 tersebut adalah juara dunia kelas berat sejati, sekaligus juara
dunia kelas berat empat kali dalam tiga versi dewan tinju dunia yang berbeda.
Holyfield adalah seorang Kristen yang saleh, dalam berbagai wawancaranya ia menyertakan
Tuhan Yesus Kristus dalam segala keberhasilannya. Segala ketakutan, kegentaran,
kekhawatiran, kesedihan, dan pergumulannya sering diceritakan dalam kesaksian
tentang kehidupannya bersama Tuhan. Holyfield selalu berdoa dan menyebut
kebergantungan pada Tuhan Yesus sebagai sumber kekuatan, inspirasi, dan
kemenangannya selama ini.
Hal yang Berbeda dengan Matt Biondi (lahir 1965). Matt
Biondi adalah mantan perenang kenamaan Amerika Serikat, ia memenangi berbagai
kompetisi renang dunia, juara Olimpiade dan mantan pemegang rekor dunia. Kemenangan
adalah tujuan utama. Inspirasi kemenangannya adalah pengakuan dan harga diri,
Biondi terlalu mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, yang membawanya dalam
kesukacitaan berbalut kekosongan dan kehampaan dalam dirinya. Selama karirnya
Matt Biondi berkompetisi di Olimpiade tahun 1984, 1988 dan 1992, ia telah memenangkan
total medali sebanyak sebelas medali. Selama karirnya, ia pernah memecahkan tujuh
rekor dunia renang perseorangan (tiga rekor gaya bebas 50 meter dan empat rekor
gaya bebas 100 meter). Pada Olimpiade Seoul 1988, Biondi memenangkan lima
medali emas, membuat rekor dunia dalam gaya bebas 50 meter dan tiga rekor
bersama rekannya di renang estafet. Namun pengejaran medali yang diraihnya
disertai dengan kehampaan dalam hatinya. Pada suatu ketika di kamar ganti
sehabis merengkuh medali emas olimpiade. Kegembiraan dalam hatinya disertai
dengan kehampaan dalam hidupnya. Untuk inikah kuraih medali emas ini? Inikah
yang kebangaan yang kucari selama ini?
Pernah suatu ketika saya mengagumi
Lance Amstrong, pembalap sepeda
profesional Amerika Serikat
yang terkenal menjuarai Tour de France
sebanyak tujuh kali berturut-turut (1999
hingga 2005).
Apalagi motivasi keberhasilan dibumbui dengan keberhasilan mengatasi penyakit kanker prostatnya. Tour
de France adalah kejuaraan balap sepeda yang terpanjang, terberat, dan
paling bergengsi di dunia. Pengalaman menghadapi penyakit ini memberinya
insipirasi untuk mengembangkan gelang Livestrong sebagai upaya meningkatkan
kesadaran terhadap korban-korban kanker. Pada Februari 2011, ia mengumumkan
pengunduran dirinya dari kompetisi balap sepeda setelah menghadapi penyelidikan
federal Amerika Serikat atas dugaan penggunaan doping. Namun Armstrong terbukti telah menggunakan
obat-obatan untuk meningkatkan kinerja selama berkompetisi, dan pada bulan
Agustus panitia perlombaan mengeluarkan larangan seumur hidup untuk
berkompetisi dan mencabut semua gelar yang diperolehnya sejak Agustus 1998. Dalam Perspektif Kristen, kompetisi tidak semata-mata meraih
kemenangan, tetapi mengatasi segala kesulitan dalam konsistensi waktu. Mereka
harus memulainya dengan menampilkan karakter, iman, dan kasih anugerah Tuhan.
Banyak prinsip-prinsip kekristenan yang dapat
dimunculkan dalam olahraga karena didalamnya terdapat kedisiplinan, ketaatan,
kerajinan, ketekunan, karakter yang pantang menyerah, serta berserah dalam
anugerah Tuhan. Alkitab banyak menggunakan analogi olahraga dalam menyatakan
sesuatu yang lebih dari juara, tetapi mahkota kemuliaan yang dari Tuhan. Rasul
Paulus dalam kitab 1 Korintus 9:23-26, menyatakan bahwa “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian
dalamnya. Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta
turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena
itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang
turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal.
Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita
untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa
tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih
tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada
orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” Terdapat prinsip memenangkan
pertarungan bukan karena kejuaraan itu sendiri tetapi mahkota yang abadi.
Analogi tersebut juga menunjukkan keteladanan hidup yang harus ditunjukkan agar
pemberitaan injil tidak ditolak. Olahraga dalam pendidikan Kristen jelas
menuntut terperagnya karakter, yang lahir dari pendidikan, pembinaan dan
pelatihan karakter.
Saya
termasuk orang yang senang menonton olahraga prestasi. Hampir semua
pertandingan dan perlombaan dapat saya nikmati. Karena dibalik prestasi yang
diraih ada harga yang harus dibayar, latihan, kerja keras, motivasi dan
pergumulannya bersama Tuhan. Salah satu tontonan yang “menjemukan” bagi kebanyakan
orang yang saya sukai adalah lari marathon. Untuk satu perlombaan lari
marathon, membutuhkan waktu sekitar tiga jam duapuluh menit, saya tak melupakan
momennya, tidak melulu hasilnya tetapi prosesnya walaupun sering juga mengganti-ganti
saluran televisi untuk memantau hasil akhir pertandingan marathon (42,195 km)
tersebut. Pertandingan ini seolah membosankan namun secara internal penuh
pergumulan yang menarik. Bagi seorang pelari marathon, mereka bukan saja berlari,
namun terus terjadi pergumulan dalam pikirannya, mereka mengkoordinasikan hati,
kemauan, pikiran, dan kemampuan fisik untuk menyelesaikan lomba. Menjelang
jarak lebih dari tigapuluhan kilometer, sebenarnya terjadi kelelahan fisik yang
memicu pergumulan dalam diri pelari antara memenangkan kemauan fisik untuk
berhenti karena kelelahan dan semangat untuk memenangkan lomba. Fisik yang
merasa sangat lelah untuk mengakhiri perlombaan, namun semangat dan pikiran
bergelora untuk terus menyelesaikan perlombaan. Waktu-waktu itulah analogi bagi
iman kekristenan kita, pertarungan antara iman menghadapi kehidupan,
pertandingan antara misi pribadi dan misi dalam rencana Tuhan.
Penutup
Dalam worldview
Kristen, olahraga melatih banyak hal, termasuk karakter dan menampilkan
karakter kristiani. Sebenarnya melalui bidang olahraga inilah, proses
menjangkau anak mudah dapat mudah dilakukan. Olahraga menyajikan permainan,
menjaga kebugaran tubuh ataupun olahraga prestasi banyak diminati oleh remaja
dan pemuda, ini daya tarik untuk menjadikan mereka sebagai murid Kristus, “menjadikan
lapangan menjadi ladang penginjilan”, “menjadikan sarana untuk memenangkan anak
muda bagi Tuhan.” Bagi saya jangkauan ini bukan saja melaksanakan misi
penginjilan dari mandat yang diberikan Tuhan tetapi dapat terus melatih iman kita
untuk tetap berada dalam lintasan iman meraih mahkota yang abadi. Rasul Paulus
dalam 2 Timotius 4:7 menyatakan adanya ketekunan “finishing well” dalam pertandingan iman,
dalam pertandingan memenangkan misi Tuhan
“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai
garis akhir dan aku telah memelihara iman.”