Minggu, 01 Januari 2017

Penjasorkes antara Lapangan dan Ladang Penginjilan



Penjasorkes  antara Lapangan
dan Ladang penginjilan
Dr.  Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed


Pernah dengar Community Youth Children and Sports (CYCAS) yang dideklarasikan di Ubabalo, Afrika Selatan? Gerakan ini adalalah gerakan perkabaran injil yang menjangkau anak, remaja, dan pemuda melalui pembinaan olahraga (sport ministry)[1]. Mereka melihat olahraga, sebagai ladang penginjilan, strategi menjangkau anak melalui pemuridan, pembinaan karakter Kristen. Saya tertarik dengan konsepnya melihat lapangan sebagai “ladang” penginjilan. Saya jadi teringat dengan pengalaman seorang teman saya serorang guru olahraga Kristen di salah satu sekolah swata nasional (bukan sekolah Kristen). Rekan guru Kristen  ini membina dan melatih anak-anak dengan skill permainan bola volley yang kompetitif dalam sportivitas tinggi, Beberapa kali memenangkan kompetisi bola volley. Bukan itu saja guru ini melatih mereka dalam karakter Kristen termasuk memenangkan murid-muridnya dalam iman Kristen. Mereka memiliki waktu untuk berdoa, bertumbuh, dan bersekutu dalam kasih Tuhan. Guru Kristen ini telah memenangkan Kristus dalam pelayanan misinya, ia telah melihat ladang penginjilan yang terbuka luas untuk menjangkau anak-anak melalui olahraga.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, pelajaran olahraga pernah berganti-ganti nama mulai dari pendidikan jasmani, Pendidikan olahraga dan terakhir pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan (Penjasorkes). Orientasinya memberikan ruang lingkup anak untuk lebih memberikan gerak jasmani dan kebugaran tubuh untuk pembelajaran di dalam belajar. Subjek pendidikan olahraga sebenarnya subjek yang menyajikan kelengkapan ranah pendidikan yang lengkap dalam hal ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kelengkapan ini menjadi pendidikan olahraga adalah subjek pelajaran yang unik dan tidak dipunyai subjek pelajaran lain. Dalam ranah kognitif, ranah ini meliputi strategi, prinsip, peraturan bermain, sedangkan dalam afektif bersikap sportif, kerjasama tim, motivasi, dan minat. Dalam ranah psikomotorik, pendidikan olahraga membutuhkan latihan fisik, kebugaran, stamina, kemampuan dan keterampilan. Namun demikain pendidikan olahraga menjadi sarana yang sangat efektif melihat perspektif pendidikan olahraga sebagai bagian pembinaan karakter, dan menampilkan karakter bagi kemuliaan Tuhan.  Sarana ini penting digunakan melatih anak untuk melayani kerajaan-Nya.
Salah satu kesenangan saya adalah melihat tayangan olahraga, uniknya hampir semua tontonan itu dapat saya nikmati, tak terkecuali renang, tinju, atletik, balap, bela diri terlebih lagi sepak bola[2]. Sifat kompetisi dalam pertarungan yang pantang menyerah menjadi tayangan yang membangkitkan motivasi. Pertarungan yang terkemas dalam strategy, stamina, speed, strength dan skill, akan menjadikan momen perjuangan yang tak terlupakan. Pertarungan itu akan tidak berbeda dengan kehidupan iman kekristenan kita, didalamnya terdapat pertarungan iman, pertarungan berpacu dengan waktu bagi pelayanan misi. Kehidupan iman adalah kehidupan iman dalam panggung kompetisi.
Salah satu tokoh olahragawan tinju yang saya idolakan adalah Evander Holyfield, bukan karena semata tinjunya tapi perjuangannya terkait imannya. Peraih medali perunggu kelas berat ringan Olimpiade 1984 tersebut adalah juara dunia kelas berat sejati, sekaligus juara dunia kelas berat empat kali dalam tiga versi dewan tinju dunia yang berbeda. Holyfield adalah seorang Kristen yang saleh, dalam berbagai wawancaranya ia menyertakan Tuhan Yesus Kristus dalam segala keberhasilannya. Segala ketakutan, kegentaran, kekhawatiran, kesedihan, dan pergumulannya sering diceritakan dalam kesaksian tentang kehidupannya bersama Tuhan. Holyfield selalu berdoa dan menyebut kebergantungan pada Tuhan Yesus sebagai sumber kekuatan, inspirasi, dan kemenangannya selama ini.
Hal yang Berbeda dengan Matt Biondi (lahir 1965). Matt Biondi adalah mantan perenang kenamaan Amerika Serikat, ia memenangi berbagai kompetisi renang dunia, juara Olimpiade dan mantan pemegang rekor dunia. Kemenangan adalah tujuan utama. Inspirasi kemenangannya adalah pengakuan dan harga diri, Biondi terlalu mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, yang membawanya dalam kesukacitaan berbalut kekosongan dan kehampaan dalam dirinya. Selama karirnya Matt Biondi berkompetisi di Olimpiade tahun 1984, 1988 dan 1992, ia telah memenangkan total medali sebanyak sebelas medali. Selama karirnya, ia pernah memecahkan tujuh rekor dunia renang perseorangan (tiga rekor gaya bebas 50 meter dan empat rekor gaya bebas 100 meter). Pada Olimpiade Seoul 1988, Biondi memenangkan lima medali emas, membuat rekor dunia dalam gaya bebas 50 meter dan tiga rekor bersama rekannya di renang estafet. Namun pengejaran medali yang diraihnya disertai dengan kehampaan dalam hatinya. Pada suatu ketika di kamar ganti sehabis merengkuh medali emas olimpiade. Kegembiraan dalam hatinya disertai dengan kehampaan dalam hidupnya. Untuk inikah kuraih medali emas ini? Inikah yang kebangaan yang kucari selama ini?
Pernah suatu ketika saya mengagumi Lance Amstrong, pembalap sepeda profesional Amerika Serikat yang terkenal menjuarai Tour de France sebanyak tujuh kali berturut-turut (1999 hingga 2005). Apalagi motivasi keberhasilan dibumbui dengan keberhasilan mengatasi penyakit kanker prostatnya. Tour de France adalah kejuaraan balap sepeda yang terpanjang, terberat, dan paling bergengsi di dunia. Pengalaman menghadapi penyakit ini memberinya insipirasi untuk mengembangkan gelang Livestrong sebagai upaya meningkatkan kesadaran terhadap korban-korban kanker. Pada Februari 2011, ia mengumumkan pengunduran dirinya dari kompetisi balap sepeda setelah menghadapi penyelidikan federal Amerika Serikat atas dugaan penggunaan doping. Namun Armstrong terbukti telah menggunakan obat-obatan untuk meningkatkan kinerja selama berkompetisi, dan pada bulan Agustus panitia perlombaan mengeluarkan larangan seumur hidup untuk berkompetisi dan mencabut semua gelar yang diperolehnya sejak Agustus 1998.       Dalam Perspektif Kristen, kompetisi tidak semata-mata meraih kemenangan, tetapi mengatasi segala kesulitan dalam konsistensi waktu. Mereka harus memulainya dengan menampilkan karakter, iman, dan kasih anugerah Tuhan.
Banyak prinsip-prinsip kekristenan yang dapat dimunculkan dalam olahraga karena didalamnya terdapat kedisiplinan, ketaatan, kerajinan, ketekunan, karakter yang pantang menyerah, serta berserah dalam anugerah Tuhan. Alkitab banyak menggunakan analogi olahraga dalam menyatakan sesuatu yang lebih dari juara, tetapi mahkota kemuliaan yang dari Tuhan. Rasul Paulus dalam kitab 1 Korintus 9:23-26, menyatakan bahwa “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya. Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” Terdapat prinsip memenangkan pertarungan bukan karena kejuaraan itu sendiri tetapi mahkota yang abadi. Analogi tersebut juga menunjukkan keteladanan hidup yang harus ditunjukkan agar pemberitaan injil tidak ditolak. Olahraga dalam pendidikan Kristen jelas menuntut terperagnya karakter, yang lahir dari pendidikan, pembinaan dan pelatihan karakter.
 Saya termasuk orang yang senang menonton olahraga prestasi. Hampir semua pertandingan dan perlombaan dapat saya nikmati. Karena dibalik prestasi yang diraih ada harga yang harus dibayar, latihan, kerja keras, motivasi dan pergumulannya bersama Tuhan. Salah satu tontonan yang “menjemukan” bagi kebanyakan orang yang saya sukai adalah lari marathon. Untuk satu perlombaan lari marathon, membutuhkan waktu sekitar tiga jam duapuluh menit, saya tak melupakan momennya, tidak melulu hasilnya tetapi prosesnya walaupun sering juga mengganti-ganti saluran televisi untuk memantau hasil akhir pertandingan marathon (42,195 km) tersebut. Pertandingan ini seolah membosankan namun secara internal penuh pergumulan yang menarik. Bagi seorang pelari marathon, mereka bukan saja berlari, namun terus terjadi pergumulan dalam pikirannya, mereka mengkoordinasikan hati, kemauan, pikiran, dan kemampuan fisik untuk menyelesaikan lomba. Menjelang jarak lebih dari tigapuluhan kilometer, sebenarnya terjadi kelelahan fisik yang memicu pergumulan dalam diri pelari antara memenangkan kemauan fisik untuk berhenti karena kelelahan dan semangat untuk memenangkan lomba. Fisik yang merasa sangat lelah untuk mengakhiri perlombaan, namun semangat dan pikiran bergelora untuk terus menyelesaikan perlombaan. Waktu-waktu itulah analogi bagi iman kekristenan kita, pertarungan antara iman menghadapi kehidupan, pertandingan antara misi pribadi dan misi dalam rencana Tuhan.

Penutup
Dalam worldview Kristen, olahraga melatih banyak hal, termasuk karakter dan menampilkan karakter kristiani. Sebenarnya melalui bidang olahraga inilah, proses menjangkau anak mudah dapat mudah dilakukan. Olahraga menyajikan permainan, menjaga kebugaran tubuh ataupun olahraga prestasi banyak diminati oleh remaja dan pemuda, ini daya tarik untuk menjadikan mereka sebagai murid Kristus, “menjadikan lapangan menjadi ladang penginjilan”, “menjadikan sarana untuk memenangkan anak muda bagi Tuhan.” Bagi saya jangkauan ini bukan saja melaksanakan misi penginjilan dari mandat yang diberikan Tuhan tetapi dapat terus melatih iman kita untuk tetap berada dalam lintasan iman meraih mahkota yang abadi. Rasul Paulus dalam 2 Timotius 4:7 menyatakan adanya ketekunan “finishing well” dalam pertandingan iman, dalam pertandingan memenangkan misi TuhanAku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”


















[1] “Lapangan olahraga” sebagai gereja, ladang penginjilan
[2] Saya jadi teringat pemain bola yang religius seperti Kaka (real Madrid, AC Milan) atau David Luiz (Chelsea defender).