Kosmologi, Postmodernisme
dan Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, MEd
Malam Natal 24 Desember 1968, menjadi suatu hari
yang bersejarah bagi umat manusia, termasuk hari yang bersejarah bagi
kekristenan. Kala itu manusia baru pertama kalinya dapat mengorbit bulan. Manusia yang mengorbit dengan Apollo
8, terdiri dari tiga orang astronotnya, Frank Borman, Jim Lovell dan William
Anders. Mereka terkagum-kagum melihat keindahan bumi dari orbit bulan. Bumi
digambarkan seperti permata biru dan kuasan putih yang sedang berputar dalam
kelenggangan alam semesta. Peristiwa ini disaksikan oleh jutaan orang Amerika
yang ada di rumah melalui siaran langsung televisi. salah seorang astronotnya
Frank Borman komandan Apollo 8 membacakan Kejadian 1:1-3 “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum
berbentuk dan kosong; dan gelap gulita
menutupi samudera raya, dan Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang ." Lalu
terang itu jadi.” Borman mengakhirinya “Salam dari para awak Apollo 8. Tuhan
memberkati anda semua di atas bumi yang baik itu.
Keberadaan manusia tidak terlepas dari tempatnya
berada. Alam, ruang angkasa, kosmologi dan bumi yang merupakan habitat manusia
yang selalu menarik bagi kehidupan manusia. Keberadaan alam dan seluruh isinya
disoroti dengan sebuah pertanyaan dari mana semuanya ini berasal? Saya mencoba
mengaitkan kedua hal penting berkaitan dengan iman Kristen dalam dunia
pendidikan yaitu kosmologi dan postmodernisme.
Kosmologi
Dalam filsafat, kosmologi merupakan bagian dari
metafisika filsafat. Menurut Forum Universe,
kosmologi berkaitan dengan stuktur, asal usul perkembangan, evolusi
perkembangan dan kelanjutan perkembangan alam semesta. Pembahasannya berdekatan sekali dengan
pertanyaan manusia tentang asal usul alam raya, bumi dan segala isinya,
perkembangan sejarah kosmologipun menarik disimak, Pada perkembangannya
kosmologi mengalami kemajuan pemikiran dengan beberapa periode perkembangan
kosmologi, yaitu periode geosentris,
periode heliosentris, dan Big Bang
cosmology.
Dalam perkembangan kosmologi terdapat tiga periode perkembangannya. Pertama, periode
geosentris, bumi dianggap sebagai pusat revolusi planet-planet. Geosentris
berdasarkan pada pengamatan posisi planet, pergerakan-pergerakan yang sudah
dilalui planet terhadap bumi (retrograde)
dan putaran tepi planet terhadap bumi (epicycle). Teori geosentris berkaitan dengan alam semesta[1]
ini diterima sampai rentang waktu 1500 tahun dan dianggap sebagai doktrin
kebenaran kosmologi oleh gereja pada saat itu. Doktrin kosmologi yang didasarkan
pada tafsiran keliru terhadap eksegesis ayat Alkitab. Beberapa pengamatan dan
perhitungan dilakukan oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) terhadap revolusi
bumi terhadap matahari membuatnya mengajukan teori heliosentris yaitu matahari
sebagai pusat revolusi dan bukan bumi yang menjadi pusat revolusi. Pengamatan dilanjutkan
Galileo Galelei (1564-1642) pada fase perputaran planet Venus di tahun 1615,
ternyata membuat model Ptolemaus (geosentris) sulit untuk dapat diterima,
pengamatannya bahkan memperkuat model heliosentris “ala” Copernicus. “At rest, however, in the middle of
everything is the Sun.”
Kedua, periode heliosentris yang dimulai abad
keenambelas. Awalnya Nicolaus Copernicus mengusung model dengan matahari
sebagai pusat dari perputaran planet-planet. Idenya terdapat dalam buku Copernicus, de
Revolutionibus. Selanjutnya ahli
astronomi Denmark, Tycho Brahe (1546-1601) mengembangkan model geosentris dari
Planet Venus yang mengikuti pergerakan planet Venus. Model geosentris Ptolemaus
terbukti keliru dan terjadilah krisis dalam pemodelan kosmologi. Model
geosentris sudah tidak dapat diterima dan harus digantikan dengan model
heliosentris. Dukungan terhadap pandangan heliosentris datang dari
Johanes Keppler (1571-1630). Ia menyatakan gerak orbit revolusi planet-planet
terhadap matahari akan berbentuk elips dalam tiga hukum dari Keppler (1602).
Semua peredaran planet – planet dalam mengelilingi matahari mengikuti hukum-hukum
Keppler.
Ketiga, Teori Kosmologi ledakan besar (Big Bang[2]
Cosmology) yang dikembangkan oleh Edwin Hubble pada awal abad keduapuluh.
Idenya alam semesta selalu berubah dan berkembang. Model kosmologi big bang
pertama kali diajukan seorang ilmuwan Rusia, A. A. Friedmann, dan secara terpisah
seorang ilmuwan dan rohaniwan Belgia, G. Lemaitre. Model kosmologi yang mereka
ajukan merupakan salah satu solusi teori relativitas umum Einstein. Ide ledakan
besar sangat dipengaruhi oleh ide dan pemikiran Albert Einstein
(1879-1955). Teori revolusioner
gravitasinya tahun 1915, berasumsi alam semesta Einstein terdiri dari satu
galaksi, yang memuat matahari sebagai bagiannya. Dalam teorinya ini, Einstein
menyatakan hubungan kelengkungan ruang-waktu dengan sumber medan yang mengisi
ruang-waktu tersebut. A. Eddington,
seorang ilmuwan yang membuktikan validitas pengukuran teori relativitas umum
Einstein melalui gerhana matahari pada 1919. Pengamatannya menyatakan bahwa gravitasi
memberikan parameter bagi ruang melengkung untuk materi bergerak. Teori relativitas
umum Einstein ini lebih berlaku dalam berbagai kerangka acuan dibanding teori
gravitasi Newton, karena teori Einstein dapat berlaku bagi benda yang bergerak
mendekati kecepatan cahaya maupun bagi benda yang diam.
Karena kosmologi merupakan bagian dari metafisika,
maka kosmologi mendapatkan sorotan mempertanyakan asal usul dari keberadaan
alam semesta dan segala isinya. Bagi para rohaniwan dan ilmuwan Kristen,
teori-teori kosmologi selalu memperkuat adanya sang pencipta di balik skenario
pembentukan alam dan segala isinya. Penolakan adanya Tuhan pencipta berasal
dari kosmologi postmodernisme yang menganggap bahwa baik aspek astronomi dan
filsafat, kosmologi merupakan usaha manusia menempatkan dirinya dan
lingkungannya yang berelasi dengan semua lingkungan dan kemungkinan habitat
hidupnya.[3] Bagi
ilmuwan sekuler selalu terdapat hipotesis yang menyatakan alam semesta terjadi
secara kebetulan. Terdapat skenario bahwa alam semesta terjadi melalui proses
evolusi. Namun hal ini selalu terpatahkan dalam setiap teori yang terbentuk,
bahkan memperkuat bahwa terdapat Tuhan dalam setiap pembetukan materi dan
energi, “the cosmos is the theater of His
glory.”
Postmodernisme
Albert E. Greene, dalam Reclaiming
the future of Christian education,
menempatkan ulasan postmodernisme
sebagai bagian awal bahasan dari bukunya. Greene menunjukkan postmodernisme
merupakan tantangan bagi pendidikan Kristen. Aliran postmodernisme berfokus
pada subjektivitas, pandangan relativitas, variasi penggunaan bahasa dan seni. Postmodernisme
telah membuat prinsip-prinsip kebenaran menjadi relatif dan subjektif, tidak
ada kebenaran mutlak, yang ada kebenaran relatif dan semua orang berhak
menginterpretasikan kehidupannya sendiri-sendiri. Perkembangan filsafat postmodernisme didukung olen tiga aliran
filsafat yaitu pragmatisme, eksitensialisme, dan marxisme. Akar pemikirannya
tidak ada kebenaran mutlak semuanya serba relatif.
Postmodernisme bukan produk murni dari para filsuf,
perkembangannya lebih banyak dipengaruh oleh berbagai pemikir dari berbagai
disiplin akademik yang berbeda, mulai dari seni, sastra, literatur, musik, dan
arsitektur. Secara historis David Hume (1711-1776) memberikan andil dari
pertanyaan skeptis tentang sebab-akibat dan kemampuan manusia untuk memahami
dunia luar. Immanual Kant (1724-1804) memberikan jawaban atas filsafat Hume
dengan mengklaim bahwa akal budi manusia tidak benar-benar mengetahui sesuatu
di dalam dirinya, namun hanya menafsirkan realitas eksternal dan memahami
realitas pemikirannya yang sudah terdapat dalam akal budi. Pandangan Kant
berupaya untuk menyatukan rasionalitas dengan empirisme yang saat itu keduanya
saling mendominasi dunia filsafat. Pemikir Eksistensialis Friederich Nietzsche
(1844-1990) memberikan pengaruh bagi perkembangan filsafat Posmodernisme karena
berkaitan dengan subyektivitas dan relativitas. Nietzhe meletakkan teori bahwa
hanya manusialah yang menciptakan dunianya sendiri, tidak ada dasar yang kuat
membangun kebenaran yang diciptakan.
Kebenaran sudah mati dan orang tidak punya pilihan lain kecuali
menciptakan dunia mereka sendiri.
Ide-ide dari Hume, Kant, dan Nietzsche menjadi awal dari perpaduan
dari tiga gerakan filosofis yang mempengaruhi postmodernisme. Dasar filsafat
pertama adalah pragmatisme, filsafat ini menganggap pengetahuan adalah
kesementaraan (provisional), menolak esensi metafisika, posisi aktif secara
sosial dalam menghadapi masalah manusia. Pragmatisme lebih tertarik pada
masalah sosial dibandingkan dengan masalah yang dihadapi seorang individu. Dasar filsafat
kedua adalah eksistensialisme. Eksistensialisme memberikan perspektif relatif
dalam postmodernisme. Dalam pandangan ini, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi manusia itu sendiri. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih dari hasil akumulasi dari komitmen dan keputusannya pada masa lalu. Dasar filsafat ketiga adalah Marxisme, fokus dari marxisme adalah
pertentangan sosial, pertentangan antar kelas dalam topik ekonomi dan politik.
Keprihatinan pertentangan antar kelas, akhirnya membentuk konstruksi sosial yang
terbentuk.
Budaya masyarakat berubah dari produsen menjadi konsumen juga disebabkan konstruksi sosial postmodernisme. Terdapat perbedaan antara
postmodernisme dengan postmodernitas. Jika postmodernisme mengarah pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih mengarah pada tatanan sosial berupa produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya
hidup, konsumerisme
yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan deregulasi sarana publik. Postmodernisme menisbikan prinsip-prinsip kerja keras, ketekunan,
dan kerajinan. Postmodernisme berpandangan tidak ada kebenaran mutlak, tidak
ada narasi besar, semuanya dalam kerelatifan, fragmentasi, dan subjektivitas.
Kaitan
keduanya
Baik kosmologi sebagai ilmu dan
postmodernisme sebagai aliran sebenarnya tidak terkait langsung kalau tidak mau
disebut saling bertolak belakang. Kosmologi berupaya mencari “kebenaran” untuk
meniadakan kedaulatan Allah Pencipta. mereka mengingkari Tuhan sebagai Allah
pencipta, Allah yang self sufficient dan absolutely independent. Sedangkan
postmodernisme berupaya meniadakan kebenaran mutlak. Mereka menolak kebenaran
hakiki, bahkan orang Kristen masa kinipun sering terjebak pada aliran
postmodernisme, dalam berbagai kesempatan mereka sering terjebak dengan
relativisme.
Melalui kosmologi, manusia berupaya
mencari “kebenaran” asal usul dari alam semesta. Manusia mencari asal usul alam
semesta berdasarkan pengamatan, pengukuran dan instrumen yang dibuatnya dengan
kemampuan yang sangat terbatas. Ilmuwan sekuler berupaya untuk menyatakan bahwa alam semesta terjadi secara
kebetulan, sedangkan lainnya menyatakan bahwa alam semesta terjadi melalui
proses evolusi. Namun upayanya lebih banyak berujung adanya keberadaan Tuhan
dalam setiap pembetukan materi dan energi. Bagi ilmuwan sekuler perkembangan
sains adalah kesempatan untuk untuk menjauhkan iman Kristen dari penciptaan
oleh Allah. Namun semakin dalam upaya itu dilakukan, justru adanya kebenaran di
dalam Tuhan. Dalam perspektif Kristen realitasnya alam semesta sebagai Alam
yang diciptakan, terbatas, sementara, tidak tetap sedangkan Allah pencipta
adalah Allah yang tidak diciptakan, kekal dan ada dengan sendirinya. Alkitab menyatakan bahwa “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita
bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:
Sebab kita ini dari keturunan Allah juga” (Kis. 17:28).
Sedangkan, postmodernisme merupakan
kerelatifan, subjektivitas, bahasa, dan selera[4], semuanya
berpadu mendefinisikan tidak adanya kebenaran mutlak, kebenaran kekal dan
kebenaran yang hakiki. Kebenaran adalah hal yang relatif dan subjektif. Mereka
memberontak terhadap modernisme dan tidak menyakini adanya kebenaran (Firman
Tuhan). Postmodernisme bercampur dengan berbagai aliran pragmatisme,
behaviorisme, konstruktivisme telah melahirakan aliran-aliran pengetahuan neurolinguistic program, new age movement, neuroscience self-help and
motivational psychology, holistic health, parapsychology, consciousness
research dan seterusnya. Keberadaan aliran ini menyatu dalam kehidupan
masyarakat, dalam setiap aspek kehidupan, bahkan sudah menjadi gaya hidup dari
masyarakat termasuk dalam pengelolaan pendidikan Kristen.
Penutup
Kosmologi berada dalam perbatasan
menayakan asal usul terciptanya alam semesta, namun bagi kekristenan,
alasan-alasan yang berkaitan dengan keilmuan kembali lagi mengukuhkan kebenaran
Firman Tuhan. Di sisi lain postmodernisme lebih memaksakan subyektivitas
keilmuan, dengan dasar menolak grandstory Allah, menolak kebenaran Firman Tuhan
dengan alasan relativisme. Pendidikan Kristen
menjadi tonggak terdepan dalam membangun kebenaran dan memelihara kebenaran dan
satu-satunya kebenaran itu adalah Alkitab. Pendidik Kristen dalam sekolah
terpanggil untuk membina, menyampaikan dan memelihara kebenaran yang ada dalam
hati dan pikiran muridnya yaitu dengan menjaga semua ajaran berdasarkan
kebenaran Firman Tuhan. Alkitab mengatakan bahwa “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam
semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu
dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Tim. 4:16).
[1]
Dalam
tradisi Hindu, alam semesta adalah sebuah nampan dengan serangkaian hewan yang
diletakkan di atasnya, sedangkan bagi bangsa Yunani alam semesta adalah fase
dewa-dewa, alam semesta menemukan “jerawat”nya pada Olympus, pusatnya adalah
Delphi.
[2] Nama big bang dalam buku ini sengaja tidak
diterjemahkan sebagai ledakan besar, istilah ini sudah menjadi istilah teori yang
umum.
[3] D.
Bruce Lockerbie, A Christian Paidea, The
Habitual Vision of Greatness. (Colorado Springs: Purposeful Design
publication, 1995), hlm. 37
[4] Postmodernisme ibarat pasar malam,
semuanya ada, ada sirkus mini, pedagang makanan, baju, assesoris dan lain
sebagainya.