Sabtu, 09 Januari 2016

Kosmologi, Postmodernisme dan Pendidikan Kristen



Kosmologi, Postmodernisme
dan Pendidikan Kristen

 Dr. Khoe Yao Tung, MSc.Ed, MEd



 

Malam Natal 24 Desember 1968, menjadi suatu hari yang bersejarah bagi umat manusia, termasuk hari yang bersejarah bagi kekristenan. Kala itu manusia baru pertama kalinya dapat mengorbit  bulan. Manusia yang mengorbit dengan Apollo 8, terdiri dari tiga orang astronotnya, Frank Borman, Jim Lovell dan William Anders. Mereka terkagum-kagum melihat keindahan bumi dari orbit bulan. Bumi digambarkan seperti permata biru dan kuasan putih yang sedang berputar dalam kelenggangan alam semesta. Peristiwa ini disaksikan oleh jutaan orang Amerika yang ada di rumah melalui siaran langsung televisi. salah seorang astronotnya Frank Borman komandan Apollo 8 membacakan Kejadian 1:1-3 “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk  dan kosong; dan gelap gulita menutupi samudera raya,  dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah  Allah: "Jadilah terang ." Lalu terang itu jadi.” Borman mengakhirinya “Salam dari para awak Apollo 8. Tuhan memberkati anda semua di atas bumi yang baik itu.
Keberadaan manusia tidak terlepas dari tempatnya berada. Alam, ruang angkasa, kosmologi dan bumi yang merupakan habitat manusia yang selalu menarik bagi kehidupan manusia. Keberadaan alam dan seluruh isinya disoroti dengan sebuah pertanyaan dari mana semuanya ini berasal? Saya mencoba mengaitkan kedua hal penting berkaitan dengan iman Kristen dalam dunia pendidikan yaitu kosmologi dan postmodernisme.
 
 Kosmologi
Dalam filsafat, kosmologi merupakan bagian dari metafisika filsafat. Menurut Forum Universe, kosmologi berkaitan dengan stuktur, asal usul perkembangan, evolusi perkembangan dan kelanjutan perkembangan alam semesta.  Pembahasannya berdekatan sekali dengan pertanyaan manusia tentang asal usul alam raya, bumi dan segala isinya, perkembangan sejarah kosmologipun menarik disimak, Pada perkembangannya kosmologi mengalami kemajuan pemikiran dengan beberapa periode perkembangan kosmologi, yaitu  periode geosentris, periode heliosentris, dan Big Bang cosmology.

Dalam perkembangan kosmologi terdapat tiga periode perkembangannya. Pertama, periode geosentris, bumi dianggap sebagai pusat revolusi planet-planet. Geosentris berdasarkan pada pengamatan posisi planet, pergerakan-pergerakan yang sudah dilalui planet terhadap bumi (retrograde) dan putaran tepi planet terhadap bumi (epicycle). Teori geosentris berkaitan dengan alam semesta[1] ini diterima sampai rentang waktu 1500 tahun dan dianggap sebagai doktrin kebenaran kosmologi oleh gereja pada saat itu. Doktrin kosmologi yang didasarkan pada tafsiran keliru terhadap eksegesis ayat Alkitab. Beberapa pengamatan dan perhitungan dilakukan oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) terhadap revolusi bumi terhadap matahari membuatnya mengajukan teori heliosentris yaitu matahari sebagai pusat revolusi dan bukan bumi yang menjadi pusat revolusi. Pengamatan dilanjutkan Galileo Galelei (1564-1642) pada fase perputaran planet Venus di tahun 1615, ternyata membuat model Ptolemaus (geosentris) sulit untuk dapat diterima, pengamatannya bahkan memperkuat model heliosentris “ala” Copernicus. “At rest, however, in the middle of everything is the Sun.”
Kedua, periode heliosentris yang dimulai abad keenambelas. Awalnya Nicolaus Copernicus mengusung model dengan matahari sebagai pusat dari perputaran planet-planet. Idenya terdapat dalam buku Copernicus, de Revolutionibus. Selanjutnya ahli astronomi Denmark, Tycho Brahe (1546-1601) mengembangkan model geosentris dari Planet Venus yang mengikuti pergerakan planet Venus. Model geosentris Ptolemaus terbukti keliru dan terjadilah krisis dalam pemodelan kosmologi. Model geosentris sudah tidak dapat diterima dan harus digantikan dengan model heliosentris. Dukungan terhadap pandangan heliosentris datang dari Johanes Keppler (1571-1630). Ia menyatakan gerak orbit revolusi planet-planet terhadap matahari akan berbentuk elips dalam tiga hukum dari Keppler (1602). Semua peredaran planet – planet dalam mengelilingi matahari mengikuti hukum-hukum Keppler.
Ketiga, Teori Kosmologi ledakan besar (Big Bang[2] Cosmology) yang dikembangkan oleh Edwin Hubble pada awal abad keduapuluh. Idenya alam semesta selalu berubah dan berkembang. Model kosmologi big bang pertama kali diajukan seorang ilmuwan Rusia, A. A. Friedmann, dan secara terpisah seorang ilmuwan dan rohaniwan Belgia, G. Lemaitre. Model kosmologi yang mereka ajukan merupakan salah satu solusi teori relativitas umum Einstein. Ide ledakan besar sangat dipengaruhi oleh ide dan pemikiran Albert Einstein (1879-1955).  Teori revolusioner gravitasinya tahun 1915, berasumsi alam semesta Einstein terdiri dari satu galaksi, yang memuat matahari sebagai bagiannya. Dalam teorinya ini, Einstein menyatakan hubungan kelengkungan ruang-waktu dengan sumber medan yang mengisi ruang-waktu tersebut.  A. Eddington, seorang ilmuwan yang membuktikan validitas pengukuran teori relativitas umum Einstein melalui gerhana matahari pada 1919. Pengamatannya menyatakan bahwa gravitasi memberikan parameter bagi ruang melengkung untuk materi bergerak. Teori relativitas umum Einstein ini lebih berlaku dalam berbagai kerangka acuan dibanding teori gravitasi Newton, karena teori Einstein dapat berlaku bagi benda yang bergerak mendekati kecepatan cahaya maupun bagi benda yang diam.
Karena kosmologi merupakan bagian dari metafisika, maka kosmologi mendapatkan sorotan mempertanyakan asal usul dari keberadaan alam semesta dan segala isinya. Bagi para rohaniwan dan ilmuwan Kristen, teori-teori kosmologi selalu memperkuat adanya sang pencipta di balik skenario pembentukan alam dan segala isinya. Penolakan adanya Tuhan pencipta berasal dari kosmologi postmodernisme yang menganggap bahwa baik aspek astronomi dan filsafat, kosmologi merupakan usaha manusia menempatkan dirinya dan lingkungannya yang berelasi dengan semua lingkungan dan kemungkinan habitat hidupnya.[3] Bagi ilmuwan sekuler selalu terdapat hipotesis yang menyatakan alam semesta terjadi secara kebetulan. Terdapat skenario bahwa alam semesta terjadi melalui proses evolusi. Namun hal ini selalu terpatahkan dalam setiap teori yang terbentuk, bahkan memperkuat bahwa terdapat Tuhan dalam setiap pembetukan materi dan energi, “the cosmos is the theater of His glory.”

Postmodernisme
Albert E. Greene, dalam Reclaiming the  future of Christian education, menempatkan  ulasan postmodernisme sebagai bagian awal bahasan dari bukunya. Greene menunjukkan postmodernisme merupakan tantangan bagi pendidikan Kristen. Aliran postmodernisme berfokus pada subjektivitas, pandangan relativitas, variasi penggunaan bahasa dan seni. Postmodernisme telah membuat prinsip-prinsip kebenaran menjadi relatif dan subjektif, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada kebenaran relatif dan semua orang berhak menginterpretasikan kehidupannya sendiri-sendiri. Perkembangan filsafat postmodernisme didukung olen tiga aliran filsafat yaitu pragmatisme, eksitensialisme, dan marxisme. Akar pemikirannya tidak ada kebenaran mutlak semuanya serba relatif.
Postmodernisme bukan produk murni dari para filsuf, perkembangannya lebih banyak dipengaruh oleh berbagai pemikir dari berbagai disiplin akademik yang berbeda, mulai dari seni, sastra, literatur, musik, dan arsitektur. Secara historis David Hume (1711-1776) memberikan andil dari pertanyaan skeptis tentang sebab-akibat dan kemampuan manusia untuk memahami dunia luar. Immanual Kant (1724-1804) memberikan jawaban atas filsafat Hume dengan mengklaim bahwa akal budi manusia tidak benar-benar mengetahui sesuatu di dalam dirinya, namun hanya menafsirkan realitas eksternal dan memahami realitas pemikirannya yang sudah terdapat dalam akal budi. Pandangan Kant berupaya untuk menyatukan rasionalitas dengan empirisme yang saat itu keduanya saling mendominasi dunia filsafat. Pemikir Eksistensialis Friederich Nietzsche (1844-1990) memberikan pengaruh bagi perkembangan filsafat Posmodernisme karena berkaitan dengan subyektivitas dan relativitas. Nietzhe meletakkan teori bahwa hanya manusialah yang menciptakan dunianya sendiri, tidak ada dasar yang kuat membangun kebenaran yang diciptakan.  Kebenaran sudah mati dan orang tidak punya pilihan lain kecuali menciptakan dunia mereka sendiri.
Ide-ide dari Hume, Kant, dan Nietzsche menjadi awal dari perpaduan dari tiga gerakan filosofis yang mempengaruhi postmodernisme. Dasar filsafat pertama adalah pragmatisme, filsafat ini menganggap pengetahuan adalah kesementaraan (provisional), menolak esensi metafisika, posisi aktif secara sosial dalam menghadapi masalah manusia. Pragmatisme lebih tertarik pada masalah sosial dibandingkan dengan masalah yang dihadapi seorang individu. Dasar filsafat kedua adalah eksistensialisme. Eksistensialisme memberikan perspektif relatif dalam postmodernisme. Dalam pandangan ini, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi manusia itu sendiri. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih dari hasil akumulasi dari komitmen dan keputusannya pada masa lalu. Dasar filsafat ketiga adalah Marxisme, fokus dari marxisme adalah pertentangan sosial, pertentangan antar kelas dalam topik ekonomi dan politik. Keprihatinan pertentangan antar kelas, akhirnya membentuk konstruksi sosial yang terbentuk.
Budaya masyarakat berubah dari produsen menjadi konsumen juga  disebabkan konstruksi sosial postmodernisme. Terdapat perbedaan antara postmodernisme dengan postmodernitas. Jika postmodernisme mengarah pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih mengarah pada tatanan sosial  berupa produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan deregulasi sarana publik. Postmodernisme menisbikan prinsip-prinsip kerja keras, ketekunan, dan kerajinan. Postmodernisme berpandangan tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada narasi besar, semuanya dalam kerelatifan, fragmentasi, dan subjektivitas.

Kaitan keduanya
Baik kosmologi sebagai ilmu dan postmodernisme sebagai aliran sebenarnya tidak terkait langsung kalau tidak mau disebut saling bertolak belakang. Kosmologi berupaya mencari “kebenaran” untuk meniadakan kedaulatan Allah Pencipta.  mereka mengingkari Tuhan sebagai Allah pencipta, Allah yang self sufficient dan absolutely independent. Sedangkan postmodernisme berupaya meniadakan kebenaran mutlak. Mereka menolak kebenaran hakiki, bahkan orang Kristen masa kinipun sering terjebak pada aliran postmodernisme, dalam berbagai kesempatan mereka sering terjebak dengan relativisme. 
Melalui kosmologi, manusia berupaya mencari “kebenaran” asal usul dari alam semesta. Manusia mencari asal usul alam semesta berdasarkan pengamatan, pengukuran dan instrumen yang dibuatnya dengan kemampuan yang sangat terbatas. Ilmuwan sekuler berupaya untuk  menyatakan bahwa alam semesta terjadi secara kebetulan, sedangkan lainnya menyatakan bahwa alam semesta terjadi melalui proses evolusi. Namun upayanya lebih banyak berujung adanya keberadaan Tuhan dalam setiap pembetukan materi dan energi. Bagi ilmuwan sekuler perkembangan sains adalah kesempatan untuk untuk menjauhkan iman Kristen dari penciptaan oleh Allah. Namun semakin dalam upaya itu dilakukan, justru adanya kebenaran di dalam Tuhan. Dalam perspektif Kristen realitasnya alam semesta sebagai Alam yang diciptakan, terbatas, sementara, tidak tetap sedangkan Allah pencipta adalah Allah yang tidak diciptakan, kekal dan ada dengan sendirinya. Alkitab menyatakan bahwa “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga” (Kis. 17:28).
Sedangkan, postmodernisme merupakan kerelatifan, subjektivitas, bahasa, dan selera[4], semuanya berpadu mendefinisikan tidak adanya kebenaran mutlak, kebenaran kekal dan kebenaran yang hakiki. Kebenaran adalah hal yang relatif dan subjektif. Mereka memberontak terhadap modernisme dan tidak menyakini adanya kebenaran (Firman Tuhan). Postmodernisme bercampur dengan berbagai aliran pragmatisme, behaviorisme, konstruktivisme telah melahirakan aliran-aliran pengetahuan neurolinguistic program, new age movement, neuroscience self-help and motivational psychology, holistic health, parapsychology, consciousness research dan seterusnya. Keberadaan aliran ini menyatu dalam kehidupan masyarakat, dalam setiap aspek kehidupan, bahkan sudah menjadi gaya hidup dari masyarakat termasuk dalam pengelolaan pendidikan Kristen.

Penutup
Kosmologi berada dalam perbatasan menayakan asal usul terciptanya alam semesta, namun bagi kekristenan, alasan-alasan yang berkaitan dengan keilmuan kembali lagi mengukuhkan kebenaran Firman Tuhan. Di sisi lain postmodernisme lebih memaksakan subyektivitas keilmuan, dengan dasar menolak grandstory Allah, menolak kebenaran Firman Tuhan dengan alasan relativisme.  Pendidikan Kristen menjadi tonggak terdepan dalam membangun kebenaran dan memelihara kebenaran dan satu-satunya kebenaran itu adalah Alkitab. Pendidik Kristen dalam sekolah terpanggil untuk membina, menyampaikan dan memelihara kebenaran yang ada dalam hati dan pikiran muridnya yaitu dengan menjaga semua ajaran berdasarkan kebenaran Firman Tuhan. Alkitab mengatakan bahwa “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Tim. 4:16).



























[1] Dalam tradisi Hindu, alam semesta adalah sebuah nampan dengan serangkaian hewan yang diletakkan di atasnya, sedangkan bagi bangsa Yunani alam semesta adalah fase dewa-dewa, alam semesta menemukan “jerawat”nya pada Olympus, pusatnya adalah Delphi.
[2] Nama big bang dalam buku ini sengaja tidak diterjemahkan sebagai ledakan besar, istilah ini sudah menjadi istilah teori yang umum.
[3]  D. Bruce Lockerbie, A Christian Paidea, The Habitual Vision of Greatness. (Colorado Springs: Purposeful Design publication, 1995), hlm. 37
[4] Postmodernisme ibarat pasar malam, semuanya ada, ada sirkus mini, pedagang makanan, baju, assesoris dan lain sebagainya.