Senin, 10 April 2017

Lukisan, Worldview Kristen dan Guru Kristen



Lukisan, worldview Kristen, dan Guru Kristen
            Dr. Khoe Yao Tuntg, MSc.Ed, M Ed.

Pernah melihat lukisan sekitar perang yang fenomenal ala Fransisco Goya? Goya (1746 –1828)  adalah pelukis asal Spanyol yang  objek lukisan perang, entah pertarungan satu lawan satu, perperangan antar pasukan, pembataian tawanan perang dan sebagainya seputar perang. Ada suatu contoh lukisan Goya yang menarik yaitu sebuah lukisan bergambar eksekusi tembakan mati “Eksekusi orang Spanyol oleh tentara Napoleon” yang diberikan judul The Third of May 1808, Melihat lukisan itu kita akan terjebak lama memandangi lukisan tersebut, bisa jadi kita akan berimajinasi dalam melihat lukisan tersebut, walaupun tidak ada unsur nilai yang diperjuangkan. Lukisannya hanya mewakili data, fakta dan semangat awal zaman modern. Unsur-unsur dalam karya seninya subversif dan subjektif, keahliannya dalam teknik melukis, menjadikan karyanya sebagai acuan bagi seniman generasi selanjutnya seperti Manet dan Picasso.
Selanjutnya lukisan Joseph M. W. Turner, RA (1775-1851) menarik untuk disimak, pelukis romantik asal Inggris, objek utama lukisannya menekankan landscape dan alam, ia memberikan sensasi perasaan dan nuansa pada kondisi alam, salah satu lukisan yang menarik adalah fishermen at the sea, beberapa pelaut tengah di ombang-ambing di tengah laut dalam kegelapan langit dengan ombak dashyat, hanya secercah sinar yang menyinari para pelaut. Kita akan dibawa oleh Turner ke situasi dalam keadaan tersebut. Ia menggunakan natur alam ciptaan alam dengan sensasi perasaan dan nuansanya pada landscape-nya. Pierre Auguste Renoir (1841-1919), pelukis impresionis asal Perancis, ia menggunakan impresi cahaya (random lights), untuk menimbulkan sensasi dalam lukisannya. Salah satu adalah lukisannya adalah Luncheon of the Boating Party, sebuah lukisan pesta di atas kapal dari sekelompok teman Renoir yang bersantai di balkon sepanjang Sungai Seine. Dalam lukisan ini, kita akan menangkap sukacita dengan gambaran permainan cahaya Renoir.
Henri Matisse (1869-1954) seorang pelukis Perancis yang menggunakan lukisannya dengan ekpersi warna dan gambar untuk menampilkan emosi,  salah satu karyanya Woman with a Hat (Madame Matisse), yang walaupun tidak sehalus lukisan realis namun memberikan kedalaman emosi dalam lukisannya. Lain lagi dengan Pablo Ruiz Picasso (1881 –1973) ia menekankan perspektif dan distorsi yang ada pada suatu lukisan. Gaya kubisme temuan Picasso ini mengubah wawasan dunia akan penilaian suatu lukisan. lukisan bukan saja sebagai keindahan seni, tetapi merupakan pula sebagai hasil penelitian dan eksperimen. Picasso, seorang seniman kelahiran Spanyol, ia adalah pengagas kubisme dan dikenal sebagai pelukis revolusioner. Cobalah perhatikan painting feather dari Pablo Picasso lukisan-lukisannya seperti penuh dengan kemustahilan (absurdity) atau ungkapan Picasso dengan parafrasa yang menyatakan bahwa “Art is the lie that helps us see the truth”[1]. Ingat cerita klasik lukisan raja bermata satu? Pada zaman dahulu ada seorang raja, raja itu cacat, karena ia hanya memiliki satu mata. Satu matanya yang lain buta karena pertempuran melawan musuhnya. Pada saat ulang tahunnya ia meminta para pengalwanya untuk dicarikan para pelukis yang handal. Setelah didapatnya para pelukis itu, disuruhlah dia untuk melukis wajah sang raja. pelukis pertama, melukis raja apa adanya, dibuatnya pada kanvas seorang raja yang mempunyai mata satu, raja marah dan tidak terima, lalu dibunuhlah pelukis itu. Pelukis kedua melukis raja itu dari samping, sehingga raja tidak kelihatan cacatnya. Tapi raja tetap marah, lalu dibunuhnya lagi  pelukis itu. Tibalah pelukis ketiga  yang sudah sangat ketakutan. Pelukis ini mempunyai ide yang cemerlang. sedikit demi sedikit ia menyelesaikan lukisannya dan akhirnya raja senang dengan lukisannya, karena pelukis ketiga menggambarkan raja dengan pose raja yang sedang menembak. Seorang pelukis adalah seniman yang terpanggil dan mengerjakan dengan hati. Juga seorang pelukis bukanlah pelukis yang menggambarkan kebohongan untuk menolong kita melihat suatu kebenaran seperti ungkapan Picasso.
Ada sebuah lukisan klasik yang berjudul hope[2] karya George Frederic Watts, suatu lukisan klasik yang sarat makna. Bagi pelukisnya makna yang dimaksudkan adalah sebuah harapan yang mendalam, namun bila diperhatikan lebih lanjut terbesit makna lain yaitu keputusasaan. Lukisan itu bergerak antara harapan dan keputusasaan, keduanya menyatu tergambarkan dalam lukisan Frederic Watts, walaupun ia memberikan judul hope bagi lukisannya itu, namun cara kita menginterpretasi suatu makna kehidupan tergantung dari worldview yang kita gunakan. Interpretasi akan makna yang dikandung dari suatu objek atau kejadian tergantung dari cara kita melihatnya, mirip menginterpretasikan sebuah lukisan. Seseorang perlu memiliki worldview dalam pekerjaan dan pelayanannya. sebagai suatu sistem belief seseorang  menghadapi keseharian hidup menurut Ronald H. Nash, worldview or conceptual framework is that pattern of concepts (ideas) by which people organize their beliefs and that enables them to make sense of the world[3].

Andrea Pozzo (1642 –1709) adalah pelukis beraliran Baroque, arsitek, dekorator, desain, dan ahli seni. Pozzo dikenal untuk lukisan nya megah menggunakan teknik ilusi tiga dimensi yang disebut quadrature. Maha-karyanya adalah lukisan tiga dimensi di langit-langit di gereja Saint Ignazio of Loyolla di Roma. Tekniknya telah menjadikannya salah satu tokoh paling luar biasa di periode Barok. Pozzo dikenal sebagai perencana arsitektur Katedral Ljubljana yang terinspirasi oleh desain gereja Saint Ignazio di Roma. Karyanya tentang lukisan Allegory of the Jesuits' Missionnary telah menjadi berkat karena begitu indah, megah dan memuliakan Tuhan.
Worldview menentukan arah dari pelayanan yang kita lakukan, suatu keyakinan untuk apa kita melakukan sesuatu, mengapa melakukan itu dan seterusnya. Worldview adalah personal, terbentuk dari pengalaman, ide, konsep yang akhirnya menjadi belief bagi keseharian kehidupannya. Seorang pelukis yang memiliki worldview Kristen, akan menggunakan bakat dan talentanya bagi kemuliaan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesamanya.
Karya seniman besar Michael Angelo (1475-1564) termasuk karya besar yang memiliki daya religius. Karyanya merupakan ekspresi sikap pribadi dan jati diri kekristenannya adalah “The Prophet Jeremiah". Karya itu terdapat di dalam Kapel Gereja Vatikan. Karya tersebut adalah master piece yang di adaptasi oleh seniman Rodin yang amat terkenal dengan judul “thinker” manusia sebagai makhluk yang harus selalu berpikir. Dua figur obyek karya seni itu yang mengambil figur manusia laki-laki yang keduanya sama-sama sedang duduk dan berpikir dengan ekspresi yang amat serius. Karya Rodin dengan figure seorang manusia anonym dengan segala ketelanjangan dirinya yang berdiri sendiri tanpa latar belakang. Sedangkan karya Michel Angelo mengambil figur tokoh Alkitab yaitu Nabi Yeremia. Pada karya itu figur Yeremia sebagai obyek utama karya seninya memiliki obyek latar belakang yang menvisualisasikan kehidupan manusia pada zaman tersebut. Karya tersebut memperjelas para penikmatnya dalam relasi kekristenan.
Karya lainnya yang amat terkenal dari Michael Angelo adalah lukisan yang berjudul "Creation of Adam", lukisan ini terdapat di Kapel Sistine, Roma, Vatikan. Karya seni lukisan di atas dinding tembok (mural). Michael Angelo menggarapnya dengan lukisan puitik dalam gambar Adam yang sedang berbaring menyandar pada tangan kanannya mengulurkan tangan kirinya pada sesosok figur orang tua. Ada pula orang yang menafsirkan orang tua tersebut adalah lambang dari Allah sendiri yang menciptakan Adam. Disamping figur orang tua terdapat sosok figur anak kecil bersayap sebagai simbol makhluk suci. Allah mengulurkan tangannya, dan jari telunjuknya tampak saling bersentuhan dengan jari jemari Adam. Visualisasi yang menggambarkan perbedaan dua dimensi yang amat berbeda. Adam yang berada di dunia nyata sedangkan figur malaikat di surga. Keduanya terpisahkan, tapi saling menjamah, saling melakukan komunikasi.
Karya Michael Angelo merupakan visualisasi yang diangkat dari Perjanjian Lama "Creation of Adam". Karya tersebut memberikan ide kepada seniman Lorenzo Ghiberthi untuk membuat karya seni pahat ukir berbentuk panel yang juga diberi judul The Creation. Karya Ghiberti merupakan salah satu bagian dari sepuluh karyanya yang tergabung dalam "Paradise Gate". Karyanya mengisahkan kebahagiaan dari kesembuhan orang-orang yang beriman dan yang membawa mereka surge nanti. Karyanya ini disimpan di Gereja Kathedral Baptis, Florence, Italia. Pada karya ini tampak Tuhan Yesus Kristus divisualisasikan sedang menjamah tangan orang yang tak berdaya, Karya-karya Gibherti memiliki napas Kristiani dan merupakan suatu kesaksian dari diri sang senimannya, realitas nyata sebagai bagian dari identitas dirinya.[4]
Bagaimana dengan “seniman” Kristen yang menjadi pendidik Kristen? Apa syaratnya? Pendidik Kristen adalah seseorang yang lahir karena kesaksian, panggilan dalam amanat penginjilan, mencintai Allah dan sesama manusia. Saya sering mengkategorikan guru-guru Kristen dalam tiga kategori. Pertama, guru yang terpanggil mengasihi Tuhan dan sesama, kedua, guru dengan “kepuasan batin” alasannya memuaskan bakat dan talentanya dengan mengajar murid-murid, dan ketiga, guru yang hanya menjalankan pekerjaannya untuk kehidupan.
Saya terhenyak kaget ada seorang rekan yang menganalogikan guru yang hanya mengajar untuk menyambung hidup seperti analogi pelacur. Ia melakukan pekerjaan yang tak dapat dihindari hanya untuk menyambung kehidupannya. Tidak ada antusiasme, tidak ada spirit dan semangat bagi guru ini, dan kegiatannya hanya pekerjaan mengajar rutin semata. Dan itupun tidak nampak kemajuan dari yang selama ini diajarkan, ia hanya menyambung hidup tanpa tujuan bagi “pelayanannya” itu. Untuk guru dengan alasan kepuasan batin, hidupnya seperti analogi seorang pelukis berbakat yang melukis di atas kanvas, tanpa tujuan, ia bekerja untuk pekerjaan itu sendiri, mengekspresikan diri dalam bidangnya. Namun benarkah ada tujuan yang mulia selain pujian dan decak kagum karya lukisannya. Adakah mandat dan misi yang “beyond” dari sekedar lukisan indah yang dibuatnya.? Apakah hasilnya untuk kebanggan diri, untuk aktualisasi diri, untuk bayaran, di bayar untuk melukis atau menjadi berkat dan memuliakan Tuhan.

Penutup
            Seni rupa, guru Kristen, dan worldview Kristen adalah tiga entitas yang tak terpisahkan dalam pelajaran seni rupa di sekolah Kristen. Guru yang mengajar seni rupa dari perspektif Kristen adalah juga seniman yang menggambarkan lukisan di hati murid-muridnya. Ia melukiskan kasih Tuhan dengan menggambarkannya dalam suatu misi, dengan suatu kesaksisan, dengan suatu mandat penginjilan, akankah kita menjadi guru yang melukis di hati anak-anak tentang kebenaran, jalan keselamatan, hikmat dan kebenaran?


[1] Karen L. Mulder, Christian Worldview ant the Arts dalam Charles Colson, editor,  Shaping a Christian Wolrdview (Nashville, Tennessee: Broadman & Holman Publisher, 2002) hlm 204.
[2] George Frederic Watts (1817-1904) adalah pelukis dan pematung Inggris Victoria dalam aliran gerakan simbolis. Watts terkenal dalam karya alegoris, seperti hope (1886) serta love and life (1884-5)
[3] Ronald H. Nash, The Meaning of History (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman Publishing, 1998), hlm.13
[4] adaptasi dari alkitab.sabda.org/resource.php?topic=416&res=jpz

Minggu, 01 Januari 2017

Penjasorkes antara Lapangan dan Ladang Penginjilan



Penjasorkes  antara Lapangan
dan Ladang penginjilan
Dr.  Khoe Yao Tung, MSc.Ed, M.Ed


Pernah dengar Community Youth Children and Sports (CYCAS) yang dideklarasikan di Ubabalo, Afrika Selatan? Gerakan ini adalalah gerakan perkabaran injil yang menjangkau anak, remaja, dan pemuda melalui pembinaan olahraga (sport ministry)[1]. Mereka melihat olahraga, sebagai ladang penginjilan, strategi menjangkau anak melalui pemuridan, pembinaan karakter Kristen. Saya tertarik dengan konsepnya melihat lapangan sebagai “ladang” penginjilan. Saya jadi teringat dengan pengalaman seorang teman saya serorang guru olahraga Kristen di salah satu sekolah swata nasional (bukan sekolah Kristen). Rekan guru Kristen  ini membina dan melatih anak-anak dengan skill permainan bola volley yang kompetitif dalam sportivitas tinggi, Beberapa kali memenangkan kompetisi bola volley. Bukan itu saja guru ini melatih mereka dalam karakter Kristen termasuk memenangkan murid-muridnya dalam iman Kristen. Mereka memiliki waktu untuk berdoa, bertumbuh, dan bersekutu dalam kasih Tuhan. Guru Kristen ini telah memenangkan Kristus dalam pelayanan misinya, ia telah melihat ladang penginjilan yang terbuka luas untuk menjangkau anak-anak melalui olahraga.
Dalam perkembangan kurikulum di Indonesia, pelajaran olahraga pernah berganti-ganti nama mulai dari pendidikan jasmani, Pendidikan olahraga dan terakhir pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan (Penjasorkes). Orientasinya memberikan ruang lingkup anak untuk lebih memberikan gerak jasmani dan kebugaran tubuh untuk pembelajaran di dalam belajar. Subjek pendidikan olahraga sebenarnya subjek yang menyajikan kelengkapan ranah pendidikan yang lengkap dalam hal ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kelengkapan ini menjadi pendidikan olahraga adalah subjek pelajaran yang unik dan tidak dipunyai subjek pelajaran lain. Dalam ranah kognitif, ranah ini meliputi strategi, prinsip, peraturan bermain, sedangkan dalam afektif bersikap sportif, kerjasama tim, motivasi, dan minat. Dalam ranah psikomotorik, pendidikan olahraga membutuhkan latihan fisik, kebugaran, stamina, kemampuan dan keterampilan. Namun demikain pendidikan olahraga menjadi sarana yang sangat efektif melihat perspektif pendidikan olahraga sebagai bagian pembinaan karakter, dan menampilkan karakter bagi kemuliaan Tuhan.  Sarana ini penting digunakan melatih anak untuk melayani kerajaan-Nya.
Salah satu kesenangan saya adalah melihat tayangan olahraga, uniknya hampir semua tontonan itu dapat saya nikmati, tak terkecuali renang, tinju, atletik, balap, bela diri terlebih lagi sepak bola[2]. Sifat kompetisi dalam pertarungan yang pantang menyerah menjadi tayangan yang membangkitkan motivasi. Pertarungan yang terkemas dalam strategy, stamina, speed, strength dan skill, akan menjadikan momen perjuangan yang tak terlupakan. Pertarungan itu akan tidak berbeda dengan kehidupan iman kekristenan kita, didalamnya terdapat pertarungan iman, pertarungan berpacu dengan waktu bagi pelayanan misi. Kehidupan iman adalah kehidupan iman dalam panggung kompetisi.
Salah satu tokoh olahragawan tinju yang saya idolakan adalah Evander Holyfield, bukan karena semata tinjunya tapi perjuangannya terkait imannya. Peraih medali perunggu kelas berat ringan Olimpiade 1984 tersebut adalah juara dunia kelas berat sejati, sekaligus juara dunia kelas berat empat kali dalam tiga versi dewan tinju dunia yang berbeda. Holyfield adalah seorang Kristen yang saleh, dalam berbagai wawancaranya ia menyertakan Tuhan Yesus Kristus dalam segala keberhasilannya. Segala ketakutan, kegentaran, kekhawatiran, kesedihan, dan pergumulannya sering diceritakan dalam kesaksian tentang kehidupannya bersama Tuhan. Holyfield selalu berdoa dan menyebut kebergantungan pada Tuhan Yesus sebagai sumber kekuatan, inspirasi, dan kemenangannya selama ini.
Hal yang Berbeda dengan Matt Biondi (lahir 1965). Matt Biondi adalah mantan perenang kenamaan Amerika Serikat, ia memenangi berbagai kompetisi renang dunia, juara Olimpiade dan mantan pemegang rekor dunia. Kemenangan adalah tujuan utama. Inspirasi kemenangannya adalah pengakuan dan harga diri, Biondi terlalu mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, yang membawanya dalam kesukacitaan berbalut kekosongan dan kehampaan dalam dirinya. Selama karirnya Matt Biondi berkompetisi di Olimpiade tahun 1984, 1988 dan 1992, ia telah memenangkan total medali sebanyak sebelas medali. Selama karirnya, ia pernah memecahkan tujuh rekor dunia renang perseorangan (tiga rekor gaya bebas 50 meter dan empat rekor gaya bebas 100 meter). Pada Olimpiade Seoul 1988, Biondi memenangkan lima medali emas, membuat rekor dunia dalam gaya bebas 50 meter dan tiga rekor bersama rekannya di renang estafet. Namun pengejaran medali yang diraihnya disertai dengan kehampaan dalam hatinya. Pada suatu ketika di kamar ganti sehabis merengkuh medali emas olimpiade. Kegembiraan dalam hatinya disertai dengan kehampaan dalam hidupnya. Untuk inikah kuraih medali emas ini? Inikah yang kebangaan yang kucari selama ini?
Pernah suatu ketika saya mengagumi Lance Amstrong, pembalap sepeda profesional Amerika Serikat yang terkenal menjuarai Tour de France sebanyak tujuh kali berturut-turut (1999 hingga 2005). Apalagi motivasi keberhasilan dibumbui dengan keberhasilan mengatasi penyakit kanker prostatnya. Tour de France adalah kejuaraan balap sepeda yang terpanjang, terberat, dan paling bergengsi di dunia. Pengalaman menghadapi penyakit ini memberinya insipirasi untuk mengembangkan gelang Livestrong sebagai upaya meningkatkan kesadaran terhadap korban-korban kanker. Pada Februari 2011, ia mengumumkan pengunduran dirinya dari kompetisi balap sepeda setelah menghadapi penyelidikan federal Amerika Serikat atas dugaan penggunaan doping. Namun Armstrong terbukti telah menggunakan obat-obatan untuk meningkatkan kinerja selama berkompetisi, dan pada bulan Agustus panitia perlombaan mengeluarkan larangan seumur hidup untuk berkompetisi dan mencabut semua gelar yang diperolehnya sejak Agustus 1998.       Dalam Perspektif Kristen, kompetisi tidak semata-mata meraih kemenangan, tetapi mengatasi segala kesulitan dalam konsistensi waktu. Mereka harus memulainya dengan menampilkan karakter, iman, dan kasih anugerah Tuhan.
Banyak prinsip-prinsip kekristenan yang dapat dimunculkan dalam olahraga karena didalamnya terdapat kedisiplinan, ketaatan, kerajinan, ketekunan, karakter yang pantang menyerah, serta berserah dalam anugerah Tuhan. Alkitab banyak menggunakan analogi olahraga dalam menyatakan sesuatu yang lebih dari juara, tetapi mahkota kemuliaan yang dari Tuhan. Rasul Paulus dalam kitab 1 Korintus 9:23-26, menyatakan bahwa “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya. Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” Terdapat prinsip memenangkan pertarungan bukan karena kejuaraan itu sendiri tetapi mahkota yang abadi. Analogi tersebut juga menunjukkan keteladanan hidup yang harus ditunjukkan agar pemberitaan injil tidak ditolak. Olahraga dalam pendidikan Kristen jelas menuntut terperagnya karakter, yang lahir dari pendidikan, pembinaan dan pelatihan karakter.
 Saya termasuk orang yang senang menonton olahraga prestasi. Hampir semua pertandingan dan perlombaan dapat saya nikmati. Karena dibalik prestasi yang diraih ada harga yang harus dibayar, latihan, kerja keras, motivasi dan pergumulannya bersama Tuhan. Salah satu tontonan yang “menjemukan” bagi kebanyakan orang yang saya sukai adalah lari marathon. Untuk satu perlombaan lari marathon, membutuhkan waktu sekitar tiga jam duapuluh menit, saya tak melupakan momennya, tidak melulu hasilnya tetapi prosesnya walaupun sering juga mengganti-ganti saluran televisi untuk memantau hasil akhir pertandingan marathon (42,195 km) tersebut. Pertandingan ini seolah membosankan namun secara internal penuh pergumulan yang menarik. Bagi seorang pelari marathon, mereka bukan saja berlari, namun terus terjadi pergumulan dalam pikirannya, mereka mengkoordinasikan hati, kemauan, pikiran, dan kemampuan fisik untuk menyelesaikan lomba. Menjelang jarak lebih dari tigapuluhan kilometer, sebenarnya terjadi kelelahan fisik yang memicu pergumulan dalam diri pelari antara memenangkan kemauan fisik untuk berhenti karena kelelahan dan semangat untuk memenangkan lomba. Fisik yang merasa sangat lelah untuk mengakhiri perlombaan, namun semangat dan pikiran bergelora untuk terus menyelesaikan perlombaan. Waktu-waktu itulah analogi bagi iman kekristenan kita, pertarungan antara iman menghadapi kehidupan, pertandingan antara misi pribadi dan misi dalam rencana Tuhan.

Penutup
Dalam worldview Kristen, olahraga melatih banyak hal, termasuk karakter dan menampilkan karakter kristiani. Sebenarnya melalui bidang olahraga inilah, proses menjangkau anak mudah dapat mudah dilakukan. Olahraga menyajikan permainan, menjaga kebugaran tubuh ataupun olahraga prestasi banyak diminati oleh remaja dan pemuda, ini daya tarik untuk menjadikan mereka sebagai murid Kristus, “menjadikan lapangan menjadi ladang penginjilan”, “menjadikan sarana untuk memenangkan anak muda bagi Tuhan.” Bagi saya jangkauan ini bukan saja melaksanakan misi penginjilan dari mandat yang diberikan Tuhan tetapi dapat terus melatih iman kita untuk tetap berada dalam lintasan iman meraih mahkota yang abadi. Rasul Paulus dalam 2 Timotius 4:7 menyatakan adanya ketekunan “finishing well” dalam pertandingan iman, dalam pertandingan memenangkan misi TuhanAku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”


















[1] “Lapangan olahraga” sebagai gereja, ladang penginjilan
[2] Saya jadi teringat pemain bola yang religius seperti Kaka (real Madrid, AC Milan) atau David Luiz (Chelsea defender).