Sabtu, 02 Juli 2016

Ilmu sosial dan pendidikan Kristen



Ilmu Sosial dan Pendidikan Kristen
            Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.

Pernah dengar kisah Victor Frankl (1905 – 1997) “sang” logotherapy? Mulanya Frankl adalah warga Austria serta korban selamat dari Holocaust yang menakutkan. Dalam bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali terbit pada 1946) Frankl mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi dan menguraikan metode psikoterapisnya untuk mencari makna dalam segala bentuk keberadaannya. Ia menggunakan kode-kode bunyi di tengah keterasingan dan kekejian kamp tawanan yang kejam. Frank memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup dan selamat dari Holocaust, namun istri beserta kedua orangtuanya dibunuh di kamp konsentrasi. Di antara saudara-saudara dekatnya, hanya saudara perempuannya yang telah bermigrasi ke Australia, yang selamat. Trauma penderitaannya Frankl (bersama penderitaan banyak orang lainnya) di kamp-kamp konsentrasi, memberikan kesimpulan bahwa dalam situasi yang paling absurd, penyiksaan, aniaya, dan dehumanisasi sekalipun, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaan pun dapat bermakna.
 Frankl dalam karyanya mengemukakan bahwa hal yang paling berarti adalah nilai, dan makna kehidupan. Dalam kamp penyiksaannya ia belajar bahwa ”manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasannya. Kebebasan manusia adalah hal yang mendasar. Kebebasan itu adalah kebebasan memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap lingkungan, kebebasan memilih untuk diri kita sendiri.” “When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves.” Manusia dapat bebas menentukan eksistensi terakhirnya yaitu kebebasan spiritual. Ketika Frankl kembali dari kamp konsentrasi ke kota Wina, ia menjadi psikiater dan neurolog di universitas. Frankl merangkum karyanya akan pentingnya kemauan bagi makna eksistensi manusia dalam suatu sistem yang dikenal dengan logotherapy. Frankl berkesimpulan bahwa bahkan dalam situasi yang paling menakutkan, penyiksaan mendera, dan dehumanisasi, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaanpun dapat bermakna. Kesimpulannya ini kelak menjadi dasar yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, logotherapy. Dalam realiasinya kehidupan yang bermakna dapat diperoleh dengan menerapkan nilai hidup tentang kehidupan dengan nilai kreatif (creativity value), kehidudpan dengan nilai penghayatan (experiental value), dan kehidupan dengan nilai bersikap (attitudinal value).
Menurut teori ini eksistensi manusia ditandai oleh kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility). Kehidupan manusia yang bermakna berlangsung dalam relasi penting antar manusia, sesuatu yang menjadi dasar pemikiran dan pengalamanan dihidupi oleh Vicktor Frankl. Relasi sosial antar manusia menjadi kebermaknaan dalam kehidupan manusia. Sejak manusia diciptakan oleh Allah, manusia adalah mahkluk sosial. Alkitab dalam Kejadian  2 : 18, menyebutkan bahwa “Tuhan Allah berfirman ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.  Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan  dengan dia’  Firman Tuhan memperlihatkan bahwa manusia memiliki relasi dengan Allah, kepada dirinya sendiri, kepada orang lain dan kepada semua ciptaan.  Hal ini sering kali menyimpang dari sosok manusia yang telah jatuh ke dalam dosa pada zaman sekarang ini, manusia selalu menyajikan suatu hubungan yang berpusat kepada keuntungan diri sendiri.  Hubungan dengan alam lingkungannya yang cenderung mengekploitasi (bukan memelihara), hubungan dengan dengan manusia lain cenderung bermotivasikan merugikan manusia lainnya (bukan suatu hubungan yang murni) dan seringkali orang memisahkan diri dari siapapun atau dalam hal apapun (individualistis). 
Manusia yang sudah ditebus dalam kasih anugerah Tuhan, memiliki tugas dan panggilan untuk dapat mengembalikan arah budaya yang menyimpang kembali kepada kepada proses pembudayaan yang berpusat kepada Allah dan untuk kemuliaan Allah.
Mandat budaya yang harus dijalankan manusia tidak hanya mencakup bagaimana manusia mengelola alam lingkungannya (yang berupa fisik) tetapi juga mencakup hal-hal yang non fisik dalam hal ini antara lain adalah kebudayaan yang didalamnya mencakup ide pengetahuan (mentifact), adat istiadat (sosial fact) serta benda-benda yang dihasilkan untuk mendukung kehidupan manusia (artefact). Proses pembudayaan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai mahluk sosial yang telah Tuhan tetapkan. 
            Istilah sosiologi berasal dari bahasa latin, yaitu sosius dan logos yang berarti ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini masyarakat merupakan kumpulan dari individu yang di dalamnya terdapat keterkaitan, hubungan, kepentingan bersama, dan budaya. Sebagai ilmu pengetahuan sosiologi adalah ilmu tentang kemasyarakatan yang tersusun atas hasil pemikiran ilmiah yang dilakukan secara kritis, baik untuk orang lain ataupun masyarakat umum lainnya. Ilmu sosial bermula di Eropa,  Auguste Comte[1] (1798 -1859) seorang ahli filsafat Perancis beraliran positivisme[2] menjadikan sosiologi statis dan dinamis dengan perbedaan mendasar diantara keduanya.  Beberapa karakteristik ilmu sosial antara lain nonetis yaitu pembahasan dengan penjelasan masalah yang mendalam, kumulatif yaitu memperlengkapi dan memperkuat teori yang sudah ada, teoritis yaitu menyusun abstraksi dari hasil observasi yang nyata di lapangan, dan observasi artinya sosiologi berjalan sesuai dengan observasi praktik lapangan, pemikiran dan logika akal sehat. Ada empat tokoh sosialis yang sangat berpengaruh di dunia antara lain Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), Max Webber (1864-1920) dan Karl Marx (1818 - 1883).
Pemikiran Herbert Spencer sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Spencer mengemukakan evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat untuk waktu yang lama, awalnya dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana  dan homogen, kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju, selanjutnya menjadi masyarakat modern yang kompleks. Emile Durkheim berpendapat bahwa kehidupan sosial individu dalam masyarakat tergantung dari fakta sosial, yaitu fakta yang sifatnya mengikat, mempengaruhi keputusan individu, komunitas, dan masyarakat. Sedangkan Max Webber berpendapat bahwa kehidupan sosial individu tergantung dari tindakan sosial, yaitu tindakan yang berimbas pada perilaku kehidupan masyarakat. Pandangan sosiologi Karl Marx sangat dipengaruhi filsafat “konflik” Hegel dan materialisme masa itu. Penekanan metafisika dalam pandangan Marx adalah materi dan menolak keberadaan Tuhan. Sedangkan pembelajaran Sosiologi dalam perspektif Kristen harus dimulai dari pengakuan akan Allah menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya.
Kesetaraan adalah kata kunci dalam hubungan sosial manusia dengan manusia lainnya, kesetaraan hubungan manusia pertama dengan penolongnya, kesetaraan antara Adam dan Hawa perempuan penolong baginya. Kesetaraan hubungan antar manusia atas perintah Tuhan untuk saling mengasihi sesama manusia (Mat. 22:39), perintah ini menjadi salah satu dasar pembelajaran sosiologi dalam perspektif Kristen. Pada dasarnya sosiologi  dalam perspektif Kristen meliputi empat topik pembahasan. Pertama,  struktur keluarga dalam proses sosial berdasarkan pada mandat budaya yang ditetapkan dengan Allah, suatu perintah dan tuntutan yang harus dipatuhi dengan sikap ketaatan mutlak untuk membangun peradaban manusia. Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1 : 26-28).
Kedua, struktur sosial masyarakat dalam hubungan suami istri berada dalam kesetaraan dalam struktur normatif yang telah ditetapkan Allah. Firman Tuhan menegaskan suami adalah kepala keluarga menjadi dasar hubungan sosial antar masyarakat. “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5 :22-27).  
Ketiga, perubahan sosial yang didasarkan pada hidup baru  dalam Kristus “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” (1 Pet. 2: 11). Orang Kristen yang lahir baru adalah milik Allah sendiri dan ia berada diantara orang-orang di dunia ini sehingga menjadi orang asing. Orang beriman kini hidup dalam negeri yang bukan menjadi miliknya, dan kewarganegaraan orang beriman adalah bersama Kristus di sorga. Orang beriman harus mengembangkan cara berpikir Christian mind, yaitu akal budi manusia yang memandang dunia seperti Kristus memandang dunia[3]. Mereka harus memberikan pengaruh dan perubahan bagi dunia tempat tinggalnya sekarang.
 Dan keempat, tipe lembaga sosial yang didasarkan pada kesetaraan dan kedaulatan dalam setiap struktur lembaga dalam pemerintahan yang didasarkan pada keteraturan dan ketaatan pada struktur pemerintahan yang telah ditetapkan oleh Allah “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1 Pet.  2:13-14).
Pendidik Kristen harus memberikan pengaruh atas berbagai gejala sosial dalam kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Kehadirannya harus menjadi syalom dan memberikan warna kekristenan dalam gejala sosial yang tidak sesuai dengan kekristenan. Pendidik Kristen harus mengajarkan murid-muridnya akan berbagai dosa yang menjadi penyakit dalam  masyarakat. Mereka harus mempunyai sikap tegas dalam berbagai gejala sosial seperti perkawinan sejenis, aborsi. perjudian, prostitusi, kepemilikan senjata api dan lain sebagainya. Dan inilah tugas dan panggilan sekolah Kristen dalam menyuarakan sikap dan tindakan dalam hubungan kemasyarakatan. Panggilan yang juga memberitakan kabar baik dan suka cita tentang injil dalam masyarakat.

Penutup
Ilmu sosial dalam perspektif Kristen merupakan pengetahuan tentang hubungan dan peran seorang Kristen dalam masyarakat, mereka memiliki pandangan-pandangan kekristenan dalam masyarakat. Pembelajaran sosiologi dalam perpektif Kristen, merupakan runtutan hubungan antara manusia dalam waktu Allah, dalam grandstory Allah. Pemahaman ini akan memberikan bekal bagi murid-murid Kristen untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama, dalam setiap relasi ada kebersamaan Tuhan didalamnya hubungan tersebut. Sekolah harus membentuk Christian mind dalam setiap muridnya. Orang Kristen harus menjadi teladan dalam menjalin relasi antar keluarga, gereja, masyarakat, hirarki lembaga pemerintahan, dan negara.


[1] Bapak sosiologi modern
[2] Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita, bukan dalam angan-angan (impian)
[3] John Bolt. The Christian Story and The Christian School (Grand Rapids, Michigan: Christian School International, 1993), hlm. 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar