Ilmu Sosial dan Pendidikan
Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.
Pernah dengar kisah Victor Frankl (1905 – 1997)
“sang” logotherapy? Mulanya Frankl
adalah warga Austria serta korban selamat dari Holocaust yang menakutkan. Dalam bukunya, Man's Search for Meaning (pertama kali
terbit pada 1946) Frankl mencatat pengalamannya sebagai seorang tahanan kamp konsentrasi
dan menguraikan metode psikoterapisnya untuk mencari makna dalam segala bentuk
keberadaannya. Ia menggunakan kode-kode bunyi di tengah keterasingan dan kekejian
kamp tawanan yang kejam. Frank memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup dan selamat
dari Holocaust, namun istri beserta kedua orangtuanya
dibunuh di kamp konsentrasi. Di antara saudara-saudara dekatnya, hanya saudara
perempuannya yang telah bermigrasi ke Australia, yang selamat. Trauma penderitaannya
Frankl (bersama penderitaan banyak orang lainnya) di kamp-kamp konsentrasi, memberikan
kesimpulan bahwa dalam situasi yang paling absurd, penyiksaan, aniaya, dan
dehumanisasi sekalipun, kehidupan dapat bermakna dan bahkan penderitaan pun dapat
bermakna.
Frankl dalam karyanya
mengemukakan bahwa hal yang paling berarti adalah nilai, dan makna kehidupan.
Dalam kamp penyiksaannya ia belajar bahwa ”manusia dapat kehilangan segala
sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasannya. Kebebasan manusia adalah hal
yang mendasar. Kebebasan itu adalah kebebasan memilih suatu sikap atau cara
bereaksi terhadap lingkungan, kebebasan memilih untuk diri kita sendiri.” “When we are no longer able to change a
situation, we are challenged to change ourselves.” Manusia dapat bebas
menentukan eksistensi terakhirnya yaitu kebebasan spiritual. Ketika Frankl
kembali dari kamp konsentrasi ke kota Wina, ia menjadi psikiater dan neurolog di
universitas. Frankl merangkum karyanya akan pentingnya kemauan bagi makna eksistensi
manusia dalam suatu sistem yang dikenal dengan logotherapy. Frankl berkesimpulan bahwa bahkan dalam situasi yang
paling menakutkan, penyiksaan mendera, dan dehumanisasi, kehidupan dapat bermakna
dan bahkan penderitaanpun dapat bermakna. Kesimpulannya ini kelak menjadi dasar
yang kuat bagi pemikiran psikiatri yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, logotherapy. Dalam realiasinya kehidupan yang bermakna dapat diperoleh dengan menerapkan
nilai hidup tentang kehidupan dengan nilai kreatif (creativity value), kehidudpan dengan nilai penghayatan (experiental value), dan kehidupan dengan
nilai bersikap (attitudinal value).
Menurut teori ini eksistensi manusia
ditandai oleh kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung
jawab (responsibility). Kehidupan manusia yang bermakna berlangsung dalam relasi
penting antar manusia, sesuatu yang menjadi dasar pemikiran dan pengalamanan dihidupi
oleh Vicktor Frankl. Relasi sosial antar manusia menjadi kebermaknaan dalam
kehidupan manusia. Sejak manusia diciptakan oleh Allah, manusia adalah mahkluk
sosial. Alkitab dalam Kejadian 2 : 18,
menyebutkan bahwa “Tuhan Allah berfirman
‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia’ Firman Tuhan memperlihatkan bahwa manusia
memiliki relasi dengan Allah, kepada dirinya sendiri, kepada orang lain dan
kepada semua ciptaan. Hal ini sering
kali menyimpang dari sosok manusia yang telah jatuh ke dalam dosa pada zaman
sekarang ini, manusia selalu menyajikan suatu hubungan yang berpusat kepada
keuntungan diri sendiri. Hubungan dengan
alam lingkungannya yang cenderung mengekploitasi (bukan memelihara), hubungan
dengan dengan manusia lain cenderung bermotivasikan merugikan manusia lainnya
(bukan suatu hubungan yang murni) dan seringkali orang memisahkan diri dari
siapapun atau dalam hal apapun (individualistis).
Manusia yang sudah ditebus dalam kasih
anugerah Tuhan, memiliki tugas dan panggilan untuk dapat mengembalikan arah
budaya yang menyimpang kembali kepada kepada proses pembudayaan yang berpusat
kepada Allah dan untuk kemuliaan Allah.
Mandat budaya yang harus dijalankan manusia tidak hanya mencakup
bagaimana manusia mengelola alam lingkungannya (yang berupa fisik) tetapi juga
mencakup hal-hal yang non fisik dalam hal ini antara lain adalah kebudayaan
yang didalamnya mencakup ide pengetahuan (mentifact),
adat istiadat (sosial fact) serta
benda-benda yang dihasilkan untuk mendukung kehidupan manusia (artefact). Proses pembudayaan yang
dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari hakekat manusia sebagai mahluk
sosial yang telah Tuhan tetapkan.
Istilah sosiologi
berasal dari bahasa latin, yaitu sosius
dan logos yang berarti ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini masyarakat
merupakan kumpulan dari individu yang di dalamnya terdapat keterkaitan, hubungan,
kepentingan bersama, dan budaya. Sebagai ilmu pengetahuan sosiologi adalah ilmu
tentang kemasyarakatan yang tersusun atas hasil pemikiran ilmiah yang dilakukan
secara kritis, baik untuk orang lain ataupun masyarakat umum lainnya. Ilmu sosial
bermula di Eropa, Auguste Comte[1]
(1798 -1859) seorang ahli filsafat Perancis beraliran positivisme[2]
menjadikan sosiologi statis dan dinamis dengan perbedaan mendasar diantara
keduanya. Beberapa karakteristik ilmu
sosial antara lain nonetis yaitu pembahasan dengan penjelasan masalah yang
mendalam, kumulatif yaitu memperlengkapi dan memperkuat teori yang sudah ada,
teoritis yaitu menyusun abstraksi dari hasil observasi yang nyata di lapangan,
dan observasi artinya sosiologi berjalan sesuai dengan observasi praktik
lapangan, pemikiran dan logika akal sehat. Ada empat tokoh sosialis yang sangat
berpengaruh di dunia antara lain Herbert Spencer (1820-1903), Emile
Durkheim (1858-1917), Max Webber (1864-1920) dan Karl Marx (1818 - 1883).
Pemikiran Herbert Spencer sangat
dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Spencer mengemukakan evolusi sosial
adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat untuk waktu yang lama, awalnya
dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen, kemudian secara bertahap menjadi
kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju, selanjutnya menjadi masyarakat
modern yang kompleks. Emile Durkheim berpendapat bahwa kehidupan sosial
individu dalam masyarakat tergantung dari fakta sosial, yaitu fakta yang sifatnya
mengikat, mempengaruhi keputusan individu, komunitas, dan masyarakat. Sedangkan
Max Webber berpendapat bahwa kehidupan sosial individu tergantung dari tindakan
sosial, yaitu tindakan yang berimbas pada perilaku kehidupan masyarakat. Pandangan
sosiologi Karl Marx sangat dipengaruhi filsafat “konflik” Hegel dan
materialisme masa itu. Penekanan metafisika dalam pandangan Marx adalah materi
dan menolak keberadaan Tuhan. Sedangkan pembelajaran Sosiologi dalam perspektif
Kristen harus dimulai dari pengakuan akan Allah menciptakan manusia dalam
gambar dan rupa-Nya.
Kesetaraan adalah kata kunci dalam
hubungan sosial manusia dengan manusia lainnya, kesetaraan hubungan manusia
pertama dengan penolongnya, kesetaraan antara Adam dan Hawa perempuan penolong
baginya. Kesetaraan hubungan antar manusia atas perintah Tuhan untuk saling mengasihi
sesama manusia (Mat. 22:39), perintah ini menjadi salah satu dasar pembelajaran
sosiologi dalam perspektif Kristen. Pada dasarnya sosiologi dalam perspektif Kristen meliputi empat topik
pembahasan. Pertama, struktur keluarga
dalam proses sosial berdasarkan pada mandat budaya yang ditetapkan dengan
Allah, suatu perintah dan tuntutan yang harus dipatuhi dengan sikap ketaatan
mutlak untuk membangun peradaban manusia. Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1 : 26-28).
Kedua, struktur sosial masyarakat dalam
hubungan suami istri berada dalam kesetaraan dalam struktur normatif yang telah
ditetapkan Allah. Firman Tuhan menegaskan suami adalah kepala keluarga menjadi
dasar hubungan sosial antar masyarakat. “Hai
isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah
kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah
isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan
diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan
jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang
serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5 :22-27).
Ketiga, perubahan sosial yang
didasarkan pada hidup baru dalam Kristus
“Milikilah cara
hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila
mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari
perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat
mereka” (1 Pet. 2: 11). Orang Kristen yang lahir baru adalah milik Allah
sendiri dan ia berada diantara orang-orang di dunia ini sehingga menjadi orang
asing. Orang beriman kini hidup dalam negeri yang bukan menjadi miliknya, dan
kewarganegaraan orang beriman adalah bersama Kristus di sorga. Orang beriman
harus mengembangkan cara berpikir Christian
mind, yaitu akal budi manusia yang memandang dunia seperti Kristus
memandang dunia[3]. Mereka harus memberikan
pengaruh dan perubahan bagi dunia tempat tinggalnya sekarang.
Dan keempat, tipe lembaga sosial yang
didasarkan pada kesetaraan dan kedaulatan dalam setiap struktur lembaga dalam
pemerintahan yang didasarkan pada keteraturan dan ketaatan pada struktur
pemerintahan yang telah ditetapkan oleh Allah “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada
raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang
diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati
orang-orang yang berbuat baik” (1 Pet.
2:13-14).
Pendidik Kristen harus memberikan
pengaruh atas berbagai gejala sosial dalam kemasyarakatan yang tidak sesuai
dengan kebenaran firman Tuhan. Kehadirannya harus menjadi syalom dan memberikan warna
kekristenan dalam gejala sosial yang tidak sesuai dengan kekristenan. Pendidik
Kristen harus mengajarkan murid-muridnya akan berbagai
dosa yang menjadi penyakit dalam
masyarakat. Mereka harus mempunyai sikap tegas dalam berbagai gejala
sosial seperti perkawinan sejenis, aborsi. perjudian, prostitusi,
kepemilikan senjata api dan lain sebagainya. Dan inilah tugas dan panggilan
sekolah Kristen dalam menyuarakan sikap dan tindakan dalam hubungan
kemasyarakatan. Panggilan yang juga memberitakan kabar baik dan suka cita
tentang injil dalam masyarakat.
Penutup
Ilmu sosial dalam perspektif Kristen
merupakan pengetahuan tentang hubungan dan peran seorang Kristen dalam
masyarakat, mereka memiliki pandangan-pandangan kekristenan dalam masyarakat.
Pembelajaran sosiologi dalam perpektif Kristen, merupakan runtutan hubungan
antara manusia dalam waktu Allah, dalam grandstory
Allah. Pemahaman ini akan memberikan bekal bagi murid-murid Kristen untuk
memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama, dalam setiap relasi ada
kebersamaan Tuhan didalamnya hubungan tersebut. Sekolah harus membentuk Christian mind dalam setiap muridnya. Orang
Kristen harus menjadi teladan dalam menjalin relasi antar keluarga, gereja,
masyarakat, hirarki lembaga pemerintahan, dan negara.
[1] Bapak sosiologi modern
[2] Positivisme adalah cara pandang dalam
memahami dunia dengan berdasarkan sains. Filsafat bermakna sebagai suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita,
bukan dalam angan-angan (impian)
[3] John Bolt. The Christian Story and The Christian School (Grand Rapids,
Michigan: Christian School International, 1993), hlm. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar