Selasa, 06 Desember 2016

Musik, Himne, dan Pendidikan Kristen



Musik, Himne, dan Pendidikan Kristen
Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.           

Pernah suatu ketika, secara spontanitas saya menghentikan penggunaan drum bass yang menghentak-hentak dalam suatu pujian di tengah kebaktian staff dan karyawan di sekolah. Entah keberanian apa yang menghinggapi saya, tapi yang jelas hal itulah yang saya lakukan ketika itu. Tradisi pujian yang lebih banyak lagu-lagu himne adalah bagian dari kehidupan gereja kami, resonansi itulah yang menggema juga dalam pelayanan pendidikan di sekolah kami.
Musik dan pujian adalah aspek penting untuk mempersiapkan hati kita bagi kebenaran Firman Tuhan. Bila mengingat kata-kata itu, seakan hati saya berada di Crowne Center, Pensacola Christian College (PCC), Florida, Amerika Serikat, sewaktu saya menjadi mahasiswa graduate student disana. Kebaktian di aula tersebut disiarkan langsung di televisi lokal merupakan kebaktian yang wajib dihadiri oleh setiap mahasiswa disana. Di tengah megahnya aula tersebut, kehikmatan ibadah semakin menyentuh nurani, apalagi ketika himne demi himne dinyanyikan bersama dengan antusias dan menyentuh hati. PCC sangat serius menangani urusan musik dan pujian. Semua pujian  dalam kebaktian hanyalah himne. Paduan himne tersebut terpadu merdu diperdengarkan dengan alat musik klasik, paduan suara, kelompok vokal, semuanya indah, hikmat, membangkitkan spiritual, dan membangunkan jiwa. Semua mahasiswa dilatih untuk menaikkan pujian dengan kebiasaan menggunakan lagu-lagu himne. Kebiasaan ini pulalah yang membekas, memberanikan saya untuk menghentikan penggunaan drum bass pada waktu kejadian tersebut di atas.
Ikatan kuat musik dan urusan spiritual sudah terkait sejak dimulainya keturunan anak manusia. Alkitab dalam kitab Kejadian menyebutkan Jubal salah satu keturunan Adam adalah orang yang menemukan harpa dan organ, dalam suatu kesempatan John Calvin menjelaskan bahwa bakat Jubal sebagai “Excellent Gifts of the Holy Spirit.” Sedangkan bagi Agustinus, musik tidak terlepas dengan kekristenan. Agustinus mendefinisikan himne sebagai “pujian yang bermakna” mengandung pujian dari Tuhan. Jika kita memuji Tuhan tanpa lagu yang bermakna, kita tidak memiliki himne. Bila kita memuji dan  tidak ada hubungan dengan kemuliaan Tuhan, bahkan jika kita menyanyikannya dengan keras sekalipun, kita tidak memiliki himne. Karenanya himne memiliki tiga elemen: lagu (song) dan pujian (praise) kepada Tuhan (God).”
Walter Savage Lander (1775 –1864), sastrawan dan penulis Inggris pernah mengatakan bahwa musik adalah pemberian Tuhan dan satu-satunya seni dari surga untuk diberikan kepada bumi dan satu-satunya seni yang dapat dibawa dari bumi ke surga. “Music is God’s gift man, the only art of heaven given to earth, and the only art of earth we take to heaven.”[1] Dalam De Musica, Agustinus menyatakan bahwa bagi umat Kristen musik harus melebihi kenikmatan melodi. Kenikmatan untaian nada tidaklah bermakna sampai kita memasukkannya ke dalam aktivitas mental dan menggunakannya ke proses kualitas jiwa menuju kemuliaan. “Sound is meaningless until we include them in our own mental activity and use their fermenting quality to turn our soul toward everything noble, superhuman, and ideal.”[2] Sedangkan dalam pandangan Aristoteles, musik dapat mencerminkan karakter, membentuk dan mempengaruhi karakter.
Musik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia, tak dapat dilepaskan dari Allah pencipta. Bagi orang Kristen, iman mereka adalah nyanyian iman. DL. Moody pernah menuliskan bahwa “singing does at least as much as preachint to impress the Word of God upon people’s mind. Ever since God first called me, the importance of praise expressed in song has grown upon me”. Para penulis pujian himne menunjukkan iman yang mempengaruhi kehidupan mereka. Para penulis melantunkan pergumulan hidup mereka dalam penyertaan bersama Tuhan, sehingga mempengaruhi musik-musik yang dihasilkan. Isaac Watt terinspirasi dalam Mazmur 98, dalam menuliskan Joy the the Lord. Karya pujian A mighty Fortress is our God merupakan pujian reformasi dari Martin Luther yang terinspirasi Mazmur 46. Melalui dukungan lagu ini, gerakan reformasi semakin kuat bergema dan gerakannya semakin meluas. George Beverly Shea menulis lagu I’d rather have Jesus terinspirasi dengan Markus 8:36, “apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya”
Lagu Himne lahir karena pengalaman hidup bersama Tuhan, dari syair yang dituliskan nyata benar bahwa kita dapat membaca pergumulan dan kehidupan bermakna dari para pejuang iman. Lagu-lagu musik himne begitu dekat dengan kitab Mazmur. Kitab Mazmur menjadi satu-satunya sumber yang paling produktif untuk teks bagi komposisi musik Barat. Kitab Mazmur telah menjadi pusat ibadah dan merupakan suatu antologi puisi yang dituls oleh berbagai penulis dalam satu periode zaman yang mencakup waktu sekitar seribu tahun, dan Daud menulis kitab Mazmur lebih dari 150 pasal Mazmur yang ada.[3]
Kata kunci dalam kitab Mazmur adalah ibadah, dan ibadah ini disertai dengan latar musik sebagai penyembahan. Puisi merupakan bentuk ekspresi yang paling tepat untuk melukiskan perasaan, dan intensitas emosi akan memuncak bila ditambah dengan alunan musik yang mendukung. Kata Mazmur berasal dari kata berbahasa Yunani psalmoi yang berari “suara dawai kecapi” yang mengintatkan kita bahwa mazmur adalah sesuatu yang dinyanyikan.[4]
Banyak komponis besar dilahirkan dari anak-anak Tuhan, Johann Sebastian Bach (1685-1750) mengabdikan hidupnya untuk melayani Tuhan, melalui musik. Karya-karya besarnya adalah musik ibadah, gubahan musik, dan sejumlah kantata. Salah satunya Cantata 131 yang diambil dari Mazmur 130 yang mengambarkan penyesalan yang mengharukan.[5] Kekristenan dekat dengan karya musik klasik, yang akhirnya membawa kita untuk menghargai sejarah musik serta melihat keteladan hidup anak-anak Tuhan yang menghasilkan karya karya klasik tersebut, walaupun beberapa diantaranya anak Tuhan yang bersahaja. Mereka itu adalah Antonio Vivaldi (1678- 1741), Franz Joseph Haydn (1732-1809), Wolgang A. Mozard (1756-1791), Heinrich Schutz (1585-1672) dan Ludwig Van Beethoven (1770-1827).
Masih ingatkah dengan kisah George Frederick Handel? seorang jenius musik yang berbakat. Pada usia 17 tahun, Handel (1685–1759) telah memegang posisi organis Katedral di Halle, kota kelahirannya, setahun kemudian menjadi seorang pemain biola dan harpa di Kaiser Opera House di Hamburg. Bakat dan pertunjukkan konser-konsernya membuat ia termasyur di Eropa dan seluruh dunia. Kemasyurannya membawanya ke Inggris, dengan berbagai pertunjukan konsernya. Namun kompetisi pertunjukkan yang semakin ketat dan perubahan arah politik membuatnya mengalami banyak penolakan dan kesengsaraan. Beberapa kali ia ditemukan tanpa uang sepeserpun dan berada di ujung kebangkrutan. Masalahnya bertambah karena kesehatannya menurun. Ia mengalami kejang dan stroke yang mengakibatkan lengan kanannya lumpuh dan membuatnya putus asa. Akhirnya tahun 1741, Handel memutuskan untuk pensiun usianya baru lima puluh enam tahun. Kemudian ia membuat konser terakhir dipenuhi rasa kecewa, putus asa dan kasihan pada dirinya sendiri untuk membayar utang  yang membelitnya. Tetapi bulan Agustus pada tahun itu, seorang sahabat yang kaya raya bernama Charles Jennings mengunjunginya dan memberikan semangat untuk membuat syair opera berdasarkan kehidupan Kristus. Karya tersebut menarik hati Handel sehingga menggugahnya untuk bertindak, selama tiga minggu lebih ia menulis tanpa henti dan akhirnya dalam waktu 24 hari ia menyelesaikan naskah 260 halaman karya yang berjudul Messiah. Kini Messiah karya Handel dianggap sebagai karya monumental dari seorang komposer besar. Sir Newman Flower seorang penulis biografi Handel, mengatakan catatannya tentang oratorio Messiah, “mengingat besarnya pekerjaan itu dan waktu yang sedemikian singkat, karya itu akan tetap menjadi, mungkin selamanya, karya terbesar dalam sejarah penulisan musik.”[6]
Memberikan musik dan pujian terindah bagi Tuhan merupakan bagian dari pendidikan Kristen. Beredarnya lagu-lagu rohani adalah sesuatu anugerah untuk memuliakan Tuhan. Memperdengarkan lagu-lagu terindah bagi Tuhan merupakan tantangan tersendiri berkaitan dengan syair harus sesuai dan tepat dengan doktrin kebenaran Alkitab. Penggunaan musik himne dalam sekolah Kristen adalah suatu tantangan sekaligus merupakan suatu keputusan penting. Pendidikan Kristen harus dapat menggunakan musik himne untuk membangun relasi dengan Tuhan, pujian yang dapat meningkatkan iman manusia, karena pujian adalah nyanyian iman.
Masih ingatkah dengan lady Gaga, seorang penyanyi dengan tingkah laku dan gaya yang kontroversial. Ia sempat dicekal untuk manggung konser di Indonesia di tahun 2012. Tidak saja kelakuannya, lirik, dan musiknya seronok, sebuah judul do what U want. Dalam lagu tersebut Gaga melantunkan lirik  “So do what U want,  What U want with my body, Do what U want, Don’t stop, Let’s party”. Ground motive lagu yang dibawakan adalah kebebasan, mengumbar nafsu birahi dan sejenisnya. Sudah seharusnya musik dibuat untuk memotivasi,  meningkatkan hal yang lebih baik, Boethius dalam kalimat awal dari de Institutione Musica menyebutkan musik adalah bagian dari sifat manusia, musik dapat memiliki kekuatan untuk meningkatkan atau merendahkan karakter manusia. Dua pandangan, Boethius dan Agustinus berbeda dalam mengaitkan nilai moral dan spiritual yang melekat pada musik, namun terhadap keterkaitan antara musik dan sisi moral manusia, mereka memiliki satu pandangan, keduanya menyiratkan bahwa musik tidak bisa netral secara moral[7].

Penutup
Nada dan ritme yang terdapat dalam musik adalah pemberian Tuhan, bunyi natur alam, hewan, tumbuhan ciptaan Tuhan menjadi inspirasi manusia menuliskannya dalam lagu yang merdu. Martin Luther pernah menyebutkan musik sebagai karunia dari Tuhan setelah teologi “a noble gift of God next to theology” lebih lanjut sebuah anjuran bagi sekolah Kristen “we must teach music in schools; a school master ought to have skill in music… neither should we ordain young men as preacher unless they have been well exercised in music”[8]. Bagi sekolah Kristen pembelajaran musik khususnya lagu-lagu himne adalah suatu hal penting, karena kidung pujian yang terkandung dalam himne menyertai pelayanan amanat injil sarat dengan kekuatan jiwa, sarat dengan the story behind the song dalam penyertaannya bersama Tuhan.
Beberapa sekolah Kristen sangat menekankan penggunaan lagu himne dan sangat selektif terhadap musik dan lagu rohani yang populer lainnya. Mereka mengacu pada  Gospel hymn yaitu pemberitaan Firman Tuhan dalam bentuk pujian, dengan doktrin yang bersumber pada kebenaran Firman Tuhan. Sudahkah kita membangun amanat penginjilan pelayanan di sekolah dengan dukungan pujian dan musik dalam Gospel hymn ataukah hanya membangunnya dari musik rohani yang populer? Dalam confessions, Agustinus pernah menyatakan kesaksiannya “How deeply was I moved by the voices of your sweet singing Church? These voices flowed into my ears and the truth was distilled into my heart, which overflowed with my passionate devotion. Tears ran from my eyes and happy I was in those tears.”[9]


[1] Foreworth J. Strantton Shufelet dalam 101 Hym stories: The Inspiring True Stories Behind 101 Favorite Hyms, Kenneth W. Osbeck (Grand Rapids: Kregel Publication, 1982)
[2] Paul Hidermith, A composer’s World, (Cambrige, 1952), hlm. 5
[3] Jane Stuart Smith and Betty Carlson, Karunia Musik Para Komponis Besar dan Pengaruh Mereka, terjemahan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2003), hlm.2
[4] ibid., hlm.3
[5] ibid., hlm 5.
[6] John C. Maxwell, Encouragement changes everything, Dorongan Semangat Mengubah Segalanya, terjemahan (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2011), hlm. 27-28
[7] Frank E. Gaebelein, The Pattern of God’s Truth. (Chicago, Illinois: Moody Press, 1972). hlm 78
[8] Hugh Thomson Kerr, ed. A compend of Luther’s Theology (Philadelphia, 1943) hlm. 147
[9] Augustine, Conffessions 9.6.14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar