Rabu, 19 Oktober 2016

Buku PAK dan Komitmen Misi Injili



Buku PAK dan Komitmen Misi Injili
 Dr. Khoe Yao Tung, M.Sc.Ed, M.Ed.
Disampaikan pada konsultasi penulisan buku Pendidikan Agama Kristen
Sekolah Kalam Kudus, 28 Maret 2016.


Saya bersyukur dapat mendampingi guru-guru pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam memberikan konsultasi penulisan buku pendidikan Agama untuk pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di kalangan sekolah Kristen Kalam Kudus di seluruh Indonesia. Pembuatan meliputi standar kompetensi lulusan, scope and sequence bahan yang diberikan, termasuk memastikan sistematika dari penulisan buku Agama tersebut.
Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Kristen, serupa dengan keprihatinan di balik istilah dan konsep PAK di sekolah. Di Inggris dan di banyak negara lain pendidikan agama menghadapi masalah serupa yaitu berlangsungnya pendidikan agama seperti pendidikan "etika". Pendidikan Agama[1] merupakan salah satu mata pelajaran wajib di Inggris teramasuk Wales. Pendididikan Agama dialokasikan merujuk pad satu jadwal waktu tertentu di sekolah di mana persoalan-persoalan iman hanya dibahas secara komparatif. Dewasa ini, kendatipun banyak tekanan untuk menuntut perubahan, agar tidak mengajarkan hanya sebatas etika dan komparatif, karena kekristenan wajib mendapatkan perhatian khusus dalam kelas PA di sekolah negeri, sebagai pijakan dasar sejarah budaya Inggris.
Banyak hal baik dapat dilakukan pada pelajaran agama ketika tujuannya menggugah "pertanyaan yang menantang tentang arti dan tujuan utama kehidupan, keyakinan akan Tuhan atau iman sejati, masalah benar dan salah dan maknanya bagi manusia". Menurut John W. Taylor[2] model integrasi yang terjadi dalam pembelajaran di sekolah Kristen masih berbentuk Fase Isolasi (disjunctive), artinya pereduksian pembelajaran agama dilakukan dengan bentuk slot jam pelajaran, ketika kehidupan kekristenan hanya diisolasikan (terdegradasi) dalam bentuk jam pelajaran terpisah  sama halnya dengan pelajarn lainnya. Kehidupan iman murid dilakukan dalam bentuk pelajaran agama (“Bible classes”, “worldview”), aktivitas ekastrakurikuler, ataupun weekend religious function, sama dengan pelajaran lainnya.
Di sekolah-sekolah Kristen di Amerika Serikat, komitmen menumbuhkembangkan iman dalam Christian nurturing dan Christian Formation terjadi pada intesifikasi Bible class berbentuk devotion setiap hari dalam waktu yang lebih lama, dengan aktivitas pemberitaan Firman Tuhan, doctrinal, pujian dan drilling ayat emas.
Terdapat dua keprihatinan substansial tentang Pendidikan Agama (PA) dalam perspektif iman Kristen. Pertama, kelompok besar religius sekuler seperti  British Humanist Association, yang telah mereduksi makna kelas PAK menjadi sekadar program perbandingan agama agama sebagai "mata pelajaran inklusif, tidak memihak, objektif, adil, berimbang, dan relevan yang memungkinkan murid-murid mengeksplorasi berbagai agama dan sudut pandang nonreligius". Pendekatan demikian bisa terjadi, mengingat tidak adanya sifat komitmen iman dalam semua pengetahuan, tetapi itu juga gagasan sekelompok pendidik sekuler akan  gagasan bahwa semua posisi subjek pelajaran setara dan memiliki kedudukan yang sama.
Sebenarnya, keprihatinan terbesar kita adalah konsep PA yang melestarikan pandangan palsu bahwa ada beberapa kurikulum yang disusun atas dasar agama dan kepercayaan dan sisanya tidak. “Ada pendidikan agama, dan kurikulum selebihnya yang bukan pendidikan agama." Jika PA secara tidak sadar menyimpan Pra anggapan sekuler dalam benak murid-murid, sesungguhnya itu sama dengan memasukkan mereka pada pemahamah perspektif religius sekuler, dengan demikian kita dapat memasukkan "etika" ke pelajaran tertentu tanpa  menimbulkan salah konsepsi. beberapa hal dipengaruhi etika, tetapi banyak hal lainnya seperti sains, matematika, dan kesusasteraan adalah netral secara etis.

Sekularisasi Kepemimpinan Pendidikan
Keadaan di mana sekularisme telah menjadi agama, sudah mengakar di banyak sekolah negeri di seluruh dunia tidaklah terjadi secara kebetulan. Keadaan tersebut merupakan tujuan yang disengaja oleh banyak bapak pendidikan modern Horace Mann dan John Dewey telah memberikan sumbangsih besar dalam pendidikan modern kontemporer di Amerika Utara, belahan lain dunia Barat, dan sekarang merembet ke seluruh dunia. Beberapa kontribusi Mann dan Dewey, seperti motivasi, dorongan semangat bertanya dalam pendidikan, sangatlah berharga. Kendatipun demikian, keduanya merupakan pendiri pendidikan modern, bertentangan dengan kekristenan dan secara sadar telah membawa anak-anak menjauh dari Tuhan, menjauh dari perspektif dunia yang memuliakan-Nya.

Horace Mann aktif dalam pengembangan pendidikan di Massachusetts dari tahun 7827 hingga ia meninggal pada tahun 1859. Meskipun ia menentang keras sekolah swasta didanai pemerintah dan memperjuangkan pendidikan yang dibiayai oleh pembayar pajak di sekolah milik pemerintah, ia tidak pernah mengklaim bahwa sistem pendidikan pemerintah ini mengusung konsep netralitas moral. Menurut Richard Baer (1987) dari Cornell University, Mann menulis dalam Common School Journal edisi 1 Agustus 1840, bahwa buku-buku yang menghilangkan petunjuk jelas tentang apa yang diyakini penulis sebagai kebenaran itu benar-benar cacat. Mann mengklaim pesan yang mengusung satu pemahaman tertentu sangat penting dalam bahan pendidikan, seperti buku kewarganegaraan.

Masalah mendasar bagi umat Kristen adalah bahwa kepercayaan dan nilai yang didukung Mann dalam sistem pendidikannya menanamkan kepercayaan-kepercayaan yang bukan hanya berbeda dari pandangan dunia Kristen dan hidup Kristen, tetapi secara mendasar bertentangan dengannya. Baer (1987) menanggapi bahwa: Horace Mann dan para pendukung pendidikan umum lainnya bermaksud mereformasi masyarakat dengan mengubah nilai anak-anak, Mann memiliki sedikit simpati pada kaum Calvinis atau Katolik, dan ia bertekad untuk menggunakan semua sarana hukum-termasuk kekuasaan negara dalam pendidikan-untuk memastikan bahwa anak-anak diajari kebenaran seperti yang dipahaminya (Baer 1987, 39). Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, John Dewey adalah filsuf pendidikan yang bahkan lebih berpengaruh yang kepercayaan anti-Kristennya dianggap sebagai pelopor perkembangan kurikulum.

Kita memang salah jika mengatakan Dewey tidak berkontribusi pada pendidikan. Kasih anugerah dan berkat Tuhan, memampukan Dewey menyadarkan banyak pendidik terhadap keunikan seorang pribadi dan rasa ingin tahu sebagai bagian dari makna menjadi gambar dan rupa Allah. Kendatipun demikian, sebagaimana yang akan kita lihat, prinsip-prinsip mendasar yang ia dukung dan yang dewasa ini menjadi pusat praanggapan yang mengendalikan pendidikan umum modern itu ternyata benar-benar sekuler, humanis, dan anti-Tuhan.

Dewey tidak menyembunyikan intoleransinya terhadap kekristenan. Sebagai ketua pertama American Humanist Association, pada tahun 1933 ia menandatangani Manifesto Humanis, yang mendeklarasikan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada tempat untuk kepercayaan kepada apa pun di luar diri kita dengan pemikiran modern kita. Seluruh pendekatannya terhadap pendidikan didasarkan pada kepercayaan bahwa anak, bukan Tuhan, menjadi pusat pendidikan: “Anak adalah matahari yang menjadi pusat perputaran semua sarana lendidikanl anak menjadi pusat penataan semua sarana pendidikan" (Dewey 1976 (1899), 23).

Richard Riley adalah Menteri Pendidikan AS dari tahun 1993 hingga 2001. Menurut Elliott (2072), Riley tidak menyesal menggunakan pendidikan untuk membujuk para siswa agar berkomitmen pada sistem kepercayaan konstruktivis non-Kristen dalam memahami dunia. "Pengetahuan hanya akan sekadar menjadi pengetahuan jika kepemimpinan pendidikan yang bertanggung jawab nenyatakannya sebagai pengetahuan dan dengan demikian para guru diminta untuk 'memimpin' kaum muda menciptakan pengetahuan itu dalam diri mereka sendiri" (Elliott 2012, 5).

Richard Rorty, yang mengajar di Princeton, Stanford, dan University of Virginia sebelum meninggal dunia pada tahun 2007, adalah seorang posmodernisme garis keras. Ia juga menjadi tokoh terkemuka dalam pembentukan pendidikan kontemporer. Seperti Dewey, Rorty tidak menutup-nutupi ketidaksukaannya terhadap posisi iman yang mendukung pandangan yang jelas tentang kebenaran, seperti Kristen Yang percaya pada Alkitab. Ia secara terbuka menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya adalah menghilangkan perspektif komitmen terhadap keimanan dan bekerja demi mendukung perspektif iman posmodern dalam diri para siswa. Dalam kutipan berikut, ganti istilah "fundamentalis" yang dipakainya dengan nama agama, seperti Kristen atau Islam, yang percaya pada kebenaran eksternal dan Anda akan memahami tentangan keras Rorty terhadap kekristenan dan komitmen iman dogmatisnya untuk menyelenggarakan pengajaran dan pembelajaran di seputar iman konstruktivisme radikal dan posmodernisasi.

Sarana komitmen iman
Tantangan yang sama dihadapkan pada sekolah Kristen dalam Pendidikan Agama Kristen" atau kelas 'Alkitab" mereka. Perhatian khusus diperlukan untuk memastikan bahwa perspektif dan isi materi semua pelajaran (agama/Alkitab) mendukung dan memperkuat landasan religius setiap mata pelajaran bukannya menurunkan mutunya sebagai pengganti yang tidak dikehendaki atas pengakuan peran kepercayaan dalam semua bidang utama pembelajaran dan setiap aspek kehidupan di komunitas sekolah. Sebagian karena alasan inilah posisi Alkitab di sekolah Kristen merupakan hal penting bukan menggantikan tetapi komitmen iman.
Pendidikan Agama Kristen di sebuah sekolah Kriten, memegang komitmen iman dalam tujuan pendidikan Kristen, perannya semakin penting ketika jam pelajaran yang diberikan juga berintegrasi dengan berbagai aktivitas dan kegiatan yang memberikan spiritualisme kehidupan anak di sekolah. Muatannya bukanlah komparasi dan pengetahuan agama, atau sekedar etika Kristen namun penanaman iman Kristen baik doctrinal sehingga murid memahami rencana kehidupannya dalam iman Kristen.

Referensi:
Richard J. Edlin, Hakikat Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Penabur. 2015


[1] Di Indonesia sejak Kurikulum tahun 1966, agama dimasukkan dan dialokasikan sebagai salah satu mata pelajaran hingga sekarang.
[2] Associate Director Pendidikan pada Konferensi Umum Advent Hari Ketujuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar